HmD 8 - Reina

1679 Words
HmD 8 - Reina Rei baru saja selesai berendam. Dia hampir saja tertidur karena terlalu nyaman berendam dengan aroma terapi yang membuat dirinya tenang. Kakinya bahkan sampai pucat karena dia terlalu lama berendam. Dengan segera tangannya meraih handuk yang terlihat agak kekecilan untuk membalut tubuhnya, Rei beranjak, melilit tubuhnya dengan handuk itu dan melangkah masuk ke dalam kamar, setelah sampai dia memakai dalaman yang sudah siapkan. Lidahnya berdecak kasar saat merasa bra yang dia kenakan sudah terasa sesak. Entah sudah sejauh mana dia tumbuh. Dan Rei benci jika dua benda itu semakin besar di saat seperti ini. Dia harus membeli lagi segala keperluan bagian ada agar merasa lebih nyaman, dan sekali lagi, Rei benci dadanya terlalu besar, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Setelah memakai semua itu, kakinya melangkah kearah lemari. Membukanya dan menyapu segala isi lemari, melihat apa yang harus dia kenakan sore ini, dan pilihannya jatuh pada celana denim dan kaus ukuran jumbo yang pantas di pakai oleh Galuh. Rei suka memakai pakaian yang kebesaran, karena hal itu bisa menutupi lekuk tubuh yang sudah mulai tumbuh dan seolah ingin tampil paling depan. Padahal jika di pikir usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Rei memilih duduk di atas meja rias, mengambil lip tint berwarna merah muda kesukaan Galuh, dan sedikit bedak untuk menoleh pipinya. Tipis saja karena halus tidak suka jika dia terlihat terlalu menor. Setelah menatap kembali pantulan wajahnya di cermin, barulah Rei beranjak. Dia siap untuk pergi malam ini. Di raihnya ponsel yang tergeletak di sisi kanannya. Lalu menelpon nomor Galuh tanpa pikir panjang. "Ya, Rei?" Seperti biasa, tanpa menunggu lama Galuh akan segera menerima panggilannya. Karena pria itu tahu, Rei tidak suka menunggu. "Kita ke mall dulu nanti sebentar." "Tumben?" "Ada, gue butuh sesuatu yang agak banyakan. Gara-gara Lo, ukuran gue jadi nambah lagi." "Maksudnya?" "Halah intinya nanti ke mall." "CK. Iya deh iya, tuan ratu mah bebas." Rei mengulum senyum karena ucapan Rei. "Jadi mau jam berapa?" "Jemput sekarang aja, biar nggak kelamaan di jalan, lagian mau mampir mampir juga nanti." "Gue belom mandi astaga, lagian masih setengah enam ini." "Mandi buru, yang bersih, pake sampo, bila perlu luluran?" "Tumben?" Rei ingin tertawa saat itu juga, tapi dia tahan sebisa mungkin karena tentu saja dia tidak ingin Galuh Sadar. "Banyak tanya astaga, iya aja, apa susahnya sih!" "Dih, ngegas, baru doang juga." "Dah buru, gue telpon Daddy dulu." Rei akan memutuskan panggilan itu, tapi buru-buru dia mengingatkan Galuh kembali. "Inget yang bersih, kudu wangi atau nggak jalan." "Iya iye, bawel amat astaga, nanti berendam sama parfum sekalian nih gue." "Itu lebih baik." Rei mengakhiri panggilan itu, lalu beranjak keluar. Di sana tidak ada siapa-siapa sepertinya Daddy masih belum pulang. Dia menyeret langkah menuju dapur, bi Tasya sudah selesai memasak. Dan saat dia sadar melupakan sesuatu, Rei segera berlari kembali kedalam kamar. Lalu mengambil kimono yang dia lupakan tadi. Jika saja tidak ingat. Rei bisa dapat ocehan panjang dari BI Tasya yang gak bisa dia tolak. "Lupa lagi?" tanya bi Tasya saat melihat Rei kembali ke dapur dengan membawa kimono miliknya. "Hampir." Balas Rei dengan memasang cengiran khas dirinya yang selalu saja lupa akan setiap hal, hampir setiap hal. Jika tidak ada orang di sekitar yang menginginkan dirinya mungkin dia bisa berada dalam masalah. Ingatannya memang sedikit kabur, berbanding terbalik dengan Galuh yang memiliki ingatan yang sangat luar biasa. "Jangan kebiasaan, Rei, sampek tua loh nanti kalo selalu lupa." "Emang bawaan, mau gimana lagi." "Nah, cari cowok yang bisa imbangi kamu kalo gitu." "Udah." Inget banget malah, sangking ingetnya, sampek kadang, Galuh menjadi alarm terbaik untuk mengingatkan segala jadwal miliknya. "Daddy belum pulang, Bi?" Tanya Rei saat tak menyadari keberadaan Daddy di rumah ini. "Kata kamu pulang malem?" "Iya sih, Daddy bilangnya gitu?" Rei terdiam sejenak, jika sudah seperti ini berarti Rei harus meminta izin, atau tepatnya memaksa Daddy untuk mengizinkannya melalui telpon Baiklah, sepertinya lebih baik seperti itu dari pada harus berdebat secara langsung yang jelas malah lebih menyusahkan untuk dirinya. "Kamu mau keluar? Rapih banget." "Iya pengen ke rumah mamah nanti, sekalian ke mall mau belanja." "Tumben?" "Apanya?" "Itu bagian belanja, biasanya juga bibi yang suruh belanja." Rei mengulum senyum, memang sebelum ini dia selalu meminta bi Tasya untuk membelikannya kebutuhan yang perlu untuk dirinya, seperti cemilan dan segala makanan ringan untuk menemani ia belajar. Namun sekarang, Rei malah lebih nyaman jika membeli bra sendirian dari pada meminta bi Tasya secara langsung, karena itu memalukan. Apalagi saat ukurannya semakin bertambah dalam waktu yang singkat. "Enggak deh, mau beli sendiri, lagian sekalian juga." Bi Tasya yang tengah sibuk mencuci perkakas yang dia gunakan untuk memasak tadi, berhenti sejenak. Dia menoleh, menatap Rei sebentar sembari mengangguk. "Sama siapa?" "Sama Ojol aja nanti." "Hem, jangan lupa izin sama Daddy." "Iya bi, tenang aja." Rei beranjak, lalu segera saja dia menelpon Daddy dengan ponselnya. Sedikit lama dia menunggu, sepertinya Daddy tengah sibuk dengan urusannya. Hingga panggilan ke tiga panggilan itu diangkat oleh Daddy. "Kenapa Rei?" "Aku mau keluar malam ini. Boleh kan? Boleh lah, jelas boleh, fix boleh!" "Apaan Rei, Daddy belum jawab juga." Suara hingar-bingar keramaian membuat Rei mengerutkan kening, dia menebak pasti Daddy ada di club' yang selalu dia kunjungi, tapi anehnya kemana suara musik keras yang selalu memenuhi tempat itu. "Daddy dimana?" "Kafe. Enggak kamu mau kemana tadi?" "Kafe mana? Tumben ke kafe, biasanya juga clubing." "Jangan mengalihkan pembicaraan deh!" "Jawab aja dulu!" Daddy mendengkus kecil, lalu tak lama setelahnya dia meminta dihubungkan dengan panggilan video, yang di terima langsung oleh Rei. Kedua alisnya bertaut saat melihat kondisi suasana tempat Daddy berada. "Percaya?" Rei hanya mengangguk, mau tak mau dia percaya dengan ucapan Daddy. "Jadi sekarang jawab, mau kemana kamu?" Sepertinya Daddy memakai headset, karena terlihat tonjolan hitam di telinganya, mungkin Daddy tidak ingin pembicaraannya dengan dirinya terganggu atau di curi dengan oleh mereka yang ada di sana. "Mau ke rumah mamah." "Tumben." Ayolah, sudah berapa banyak orang yang mengatakan 'tumben' kepadanya, jika di hitung hampir semua yang bertemu dan berhubungan dengan dia mengatakan hal tersebut. Memang apa yang salah dengan dirinya sampai semua mengatakan hal itu. "Kangen, mau nginep juga." "Kangen boleh, nginep jangan." Balas Daddy yang membuat Rei menggembungkan pipinya kesal. "Semalam doang Daddy, pelit amat lah!" "Nggak ya Rei." "Semalam, boleh atau nggak Rei tetep nginep!" Inilah yang akan Rei dapat tiap kali dirinya meminta izin untuk menginap, padahal hanya ini satu cara agar dia bisa tidur di luar tanpa gangguan Daddy. "Sekali nggak tetep enggak!" ucap Daddy dengan tenang. "Kamu itu cuma alasan nginep, padahal mau keluyuran sama temen-temen kamu kan? Emang nggak ada hari lain, siang hari gitu contohnya?" Rei kalah, dia tidak bisa membantah kali ini, siasatnya sudah ketahuan, dan dia tidak bisa menghabiskan malam dengan kesenangannya. Dia hanya akan bertemu Galuh beberapa jam saja, dan itu menyebalkan. "Nggak nginep tapi pulang malam, aku mau belanja, nonton, makan jajan dan beliin adek jajan juga!" "Jam sepuluh." "Dua belas." "Sembilan atau nggak sama sekali!" Negosiasi dengan Daddy memang sepayah ini, dia benci mengakuinya tapi Daddy memang egois. "Ya udah jam sepuluh. Aku berangkat sekarang kalo gitu. Bye!" Rei baru aja akan mematikan panggilan telponnya, namun urung saat mengingat satu hal. "transfer lima juta ke rekening Rei sekarang." "Buset, buat apaan duit sebanyak itu!" Rei yakin Daddy pasti tersedak air liurnya sendiri, terdengar suara batuk di sebrang sana. "Mau belanja, celana, baju, jajan, dan bh, punya Rei udah kekecilan semua!" "Anak cewek! astaga. Ya udah iya, lima juta kan?" "Hem. Lebih malah boleh banget!" "Maunya kamu!" Rei terkekeh sembari mengakhiri panggilannya, dia menatap layar ponsel sejenak sebelum nama Galuh menelpon dirinya. "Gue udah di depan rumah!" "Ngapain!" "Jemput elo lah!" "Eh nggak ada, tunggu gue di gang kayak biasa!" "Eh!" "Nurut nggak?" "CK, iya deh iya!" Rei berlari masuk kedalam kamar setelah Galuh menuruti keinginannya, dia keluar dengan menenteng sepatu Vans miliknya, dan berjalan ke dapur, tentu saja untuk berpamitan pada bi Tasya dan mengatakan jika dirinya akan pulang larut malam ini. "Nggak di bolehin nginep?" Bi Ratna selalu menebak dengan sempurna, jelas saja karena wanita itu sangat paham dengan tingkah dan kelakuan kedua anak bapak itu. Rei mengangguk kecil, lalu menyalami tangan bi Tasya sebelum berlalu pergi. Dia berjalan menyusuri jalanan depan rumah, sore itu terlihat lengang, mungkin tetangganya masih sibuk dengan urusan masing-masing, terlebih hari juga hendak malam, jadi bisa jadi mereka menggunakan waktu itu untuk berkumpul bersama. Hingga sampai di depan simpang jalan, dia melihat sosok Galuh dengan motor kesayangannya. CB100, motor antik yang sudah dia modif sedemikian rupa, katanya sih itu adalah kenangannya dan hasil dia menabung selama dua tahun di awal dirinya merintis karir. "Capek?" Galuh turun langsung menghampiri Rei yang terlihat terengah dengan napas pendek. "Gue bilang juga apa, gayaan sok jalan sih!" Rei mengangkat tangannya tepat di hadapan Galuh. "Nggak usah bawel!" Protes Rei. Dia benci jika harus di sangkal, padahal dia melakukan hal itu agar hubungan mereka mulus tanpa ketahuan dari segala pihak, entah itu bi Tasya atau supir pribadinya yang ada di rumah. "Ya tapi, Lo malah kecapean gini, tau gitu gue jemput di depan rumah Lo aja tadi." "Galuh!" Rei mengangkat kepalanya, dia menatap pria itu sejenak. "Please, nggak usah komen ataupun bawel yang bikin kepala gue pusing." "Bisa kan?" Galuh mengangguk cepat, dia memilih bungkam sembari menunggu Rei yang sudah menegakkan tubuhnya, lalu mengulurkan tangan, pria yang seolah mengerti itu dengan cepat memberikan helm yang memang dikhususkan untu Rei selama ini. Seperti halnya pria lain, Galuh membantu Rai memakaikan helm itu, dan melihat dengan senyum di bibirnya. "Jalan sekarang?" "Hem. Mampir dulu di C&c, haus gue." "Oke!" Galuh terlebih dahulu menaiki motor kesayangannya. Lalu menunggu Rei untuk segera menyusul. Setelah gadis itu duduk dan melilitkan tangannya di perut Galuh, barulah pria itu menjalankan motornya dengan pelan. "Kita mau kemana ini?" "Ke mana aja, aku lagi pengen sama kamu." Rei meletakkan dagunya di atas pundak Galuh, dari sana dia bisa menghidu dalam-dalam aroma yang menguat dari tubuh kekasihnya. Sungguh membuat dirinya lupa akan keadaan jika saja dia tidak ingat saat ini tengah berada di atas motor. Rei ingin segera berlalu, dan menghabiskan waktu bersama Galuh, tapi dia menahannya, dia ingin semua berjalan seperti biasanya, dan lagi Rei gak ingin tergesa-gesa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD