HdM 9 - Deon

1784 Words
HmD 9 - Deon "Anak kamu?" Deon mengangkat kepalanya saat suara Lika menyambangi telinganya. Dia mengangguk sebentar dengan tatapan masih menatap layar ponsel yang sudah menggelap. "Udah lama gue nggak liat Reina, udah sebesar apa sekarang?" Lanjut Laksa yang tengah menikmati kue pesanannya. Deon terkekeh pelan, benar kata Laksa, dia bahkan tidak menyadari jika putrinya terus tumbuh, bahkan kini tinggi badannya sudah hampir menyusul dirinya, dia tidak yakin apa semua itu karena hormon, atau dia yang salah memberinya makan hingga putrinya tumbuh lebih cepat dari perkiraannya, dulu Rei terlihat kecil dan sangat menggemaskan, tapi sekarang, Rei sudah tidak bisa dia anggap sebagai putri kecilnya, karena nyatanya Rei sudah tumbuh menjadi seorang gadis. Dia terkekeh pelan, untuk seorang Daddy melihat tumbuh kembang anaknya sehari-hari tentu menjadi sebuah kesempatan yang luar biasa, bahkan barusan dia mendengar sesuatu yang sungguh tidak pernah dia pikirkan sebelumya. "Sebesar dia minta duit ke gue buat beli bra yang udah kekecilan." Balas Deon dengan mengulum senyum lebar. Putri kesayangannya sudah tumbuh besar, tanpa ada satu hal yang dia sesalkan. Untuk ukuran seorang ayah, haruskan Deon bangga melihat bagaimana Rei tumbuh menjadi sosok yang sangat cantik. Walau kelakuannya terlihat seperti cowok, dengan penampilan yang selalu membuta Deon geleng kepala. Mungkin efek lingkungan, dan karena pengaruh pergaulan Deon juga yang membangun karakter Reina jadi seperti itu. "Serius?" Deon mengangguk, sangat serius sampai-sampai dia sungguh bahagia mendengar ucapan itu, ah sebentar lagi Rei pasti akan membawa seorang cowok kerumahnya untuk dikenalkan dengan dirinya, dan mengatakan jika dia adalah kekasihnya. Tinggal bagaimana Deon menyikapinya. Dia tidak akan posesif asal cowok itu jelas asal usulnya dan mau bertanggung jawab. Menjaga dan mau menerima Rei dengan segala kekurangannya. "Gila sih, udah gede aja anak Lo, udah berapa taun coba gue nggak ketemu." "Selama gue nggak ke Palembang, dan selama Lo nggak Bandar Lampung." "Iya juga sih." Laksa mengangguk kecil. "Udah lama banget berarti kita nggak ketemu." "Lama banget, Lo terlalu betah sampek lupa kalo gue punya putri cantik." "Enggak lupa, cuma sibuk aja. Lagian gue juga sebentar lagi bakal ngerasain apa yang Lo rasain." Laksa menoleh. Di tatapnya Lika yang ada di sebelahnya dengan senyum terukir jelas di kedua sudut bibirnya. "Nanti kita juga bakal gitu kan, be?" Tanya Laksa pelan. "Punya anak cewek yang merengek minta duit buat ini itu, terus yang manja dan ngambek kalo permintaannya nggak di turuti?" "Tergantung." "Hem. Apa mungkin anak kita nanti bakal berani minta uang ke ayahnya, seperti Rei minta ke Deon?" "Tergantung." "Be ... Kamu mah tergantung Mulu. Mati nih lama-lama kalo di gantung." "Ya emang tergantung kan, tergantung gimana kamu bersikap sama anak kamu, kalo ayahnya friendly kayak Deon. Mungkin anak kita berani minta ke ayahnya, tapi kalo tegas dan tukang ngekang, ya jangan harap deh." Lika terlihat menyindir Laksa yang selalu saja mengekang kebebasan dirinya. Bahkan melakukan apapun saja harus menunggu izin darinya. Deon sama sekali tidak peduli dengan perdebatan dua orang sepasang suami istri yang tengah memperdebatkan hal macam-macam. Dia hanya ingin segera membuka ponselnya dan membuka aplikasi m-banking miliknya, lalu mengirim nominal yang Rei inginkan, tak lupa dia memberi beberapa lebihan di sana, ya setidaknya bisa di gunakan untuk membeli pakaian yang putrinya inginkan. Sudah lama Deon tidak melihat Rei membeli baju baru. Setelah selesai, dia membuka aplikasi w******p dan mengetik chat untuk putrinya. "Done, sekalian Daddy lebihin, kamu belanjain dan kudu habis!" Deon terkekeh pelan, lu menyimpan kembali ponselnya kedalam saku celana, dia merasa gemas dan selalu suka saya Rei meminta hal demikian, toh dia bekerja keras juga untuk kebahagiaan putrinya, jadi asal itu untuk tujuan baik kenapa tidak. "Yon, menurut Lo, gimana sih jadi Daddy yang baik supaya anak nggak takut sama kita, tapi tetep segan." Deon mengulum senyum. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena nyatanya selama ini Deon tidak pernah belajar harus bagaimana dan seperti apa. Dia hanya mengingatkan, dan berusaha menjadi teman yang baik untuk putrinya, tidak ada sopan santun yang dia terapkan jika mereka bersama, tapi tetap jika sudah berada di luar, Deon menekankan agar Rei menjaga sopan santun, itulah gunanya dia bersekolah, mendapat pelajaran lain yang tidak dia dapat dari sang ayah. Dan Deon bangga, karena bagaimanapun juga Rei bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Bisa melihat waktu di mana dia bisa bermanja dan di mana dia bisa bertingkah mandiri. "Tinggal gimana cara Lo menyikapi anak Lo kelak, gue pribadi sama sekali nggak paham sama maksud Lo, tapi kalo Lo tanya gimana Rei bisa gini ke gue, ya jawabannya simpel, gimana cara Lo menjadi teman yang baik untuk anak Lo kelak. Nggak usah mengekang dan melarang yang sekiranya nggak perlu. Anak buruh bebas, anak juga butuh sesuatu yang bisa memuaskan rasa penasarannya. Cuma Lo juga harus menekankan mana yang baik dan mana yang enggak, mana yang boleh dan mana yang enggak." "Maksudnya?" Deon terdiam sejenak, dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskan, secara, dia sendiri tidak begitu paham. Toh sejauh ini dia merawat Rei dengan caranya sendiri. Mengalir dan secara tidak langsung dia malah menjadi sosok Daddy yang baik. Walau penampilannya tidak baik di mata banyak orang. "Intinya gimana cara Lo menjadi teman sekaligus ayah yang baik untuk anak Lo." "Susah nggak?" Kali ini Deon tak langsung menjawab, dia mengulum senyum dengan santainya, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Lo akan ngerasain sendiri kalo Lo udah punya anak nanti. Nggak akan sulit kalo udah ngejalanin sendiri, tapi terasa sulit kalo masih ada di bayangan." "Iya juga sih, tapi salut gue sama Lo, bertahan sampek sekarang tanpa seorang ibu, bener-bener sukses jadi ayah Lo." Ya Deon juga bangga dengan dirinya sendiri, dan sekarang, rasanya dia ingin memiliki seorang istri untuk putrinya, ya setidaknya untuk mengurus dan menjadi teman yang lebih dekat anaknya. Karena bagaimanapun ada batasan antara dirinya dan Rei. "Permisi." Mereka bertiga menoleh sejenak kerah seorang wanita yang datang membawa pesanan tambahan untuk Lika. Wanita itu ketagihan dengan kue yang ada di kafe ini dan meminta tambah pada laksa, tentu saja pria itu menuruti keinginan Lika tanpa harus pikir panjang. "Pesanan ibu Lika." Ujarnya pelan lalu meletakan piring kue yang wanita itu bawa ke hadapan Lika. "Silahkan di nikmati." Lika tersenyum. Matanya berbinar melihat kue yang terlihat begitu menggiurkan, dia tidak tahu apa namanya, yang jelas dari segi rasa ini sungguh luar biasa. Lika pecinta makanan manis, tidak salah Deon mengajak mereka untuk mampir di tempat ini. Wanita, yang tak rain adalah Ratna itu tersenyum, lalu segera beranjak pergi. Namun sayang, langkahnya harus berhenti saat tangannya di cekal dengan lembut. Dia yakin yang bernai melakukan hal itu hanyalah Deon seorang, dan benar saja. Saat dirinya menoleh, dia menemukan Deon yang menatap kearahnya dengan tangan melingkar di pergelangan tangan Ratna. "Sini dulu bentar." Deon beranjak, lalu memilih pindah tempat duduk di kursi kosong sebelahnya. Dia menarik pelan tangan Ratna hingga wanita itu mau gak mau menurutinya, walau dengan wajah kaku kental akan kemarahan. Deon tetaplah Deon yang tidak peduli dengan perasaan orang lain. Laksa yang sudah begitu paham dengan tingkah sahabatnya itu hanya mengulum senyum. Dari matanya dia bisa melihat bagaimana Deon menatap wanita itu dengan tatapan memuja. Yang berarti, sebentar lagi pria itu akan menemukan pawang untuk dirinya. "Duduk dulu, gue mau kenalin lo ke sahabat gue." Deon mengucapkan itu tanpa rasa bersalah di wajahnya, dengan santainya dia malah menautkan jemarinya diantara celah jari-jari tangan Ratna. "Dia Laksa, sahabat sekaligus orang yang paling berjasa di hidup gue, sedangkan di sebelahnya itu Lika. Istri dari Laksa, sekaligus orang yang berhasil meluluhkan hati seorang Laksa yang dulu terkenal dengan gay." "Eh banget, gue nggak gay anjir!" "Dan kalian, kenalin ini Ratna, pemilik kafe sekaligus orang tercantik yang ada di dalam kafe ini." Ratna sama sekali tidak peduli dengan ocehan Deon, dia masih memperhatikan Deon dengan tataan tajam dan bibir terkatup, entah apa pria itu pikirkan hingga menarik dirinya dalam urusan yang demikian. "Hay. Salam kenal aku Lika." Mau tidak mau Ratna menarik diri, mengalihkan tatapannya kearah Lika yang tersenyum begitu manis kearahnya. Kulit putih dengan bola mata berbinar. Rambut lurus yang diurai membuatnya terlihat sangat cantik. Ratna hanya tersenyum lalu mengangguk pelan. "Maklumi aja, dia emang pemalu, apalagi sama orang baru kenal." Ratna menoleh cepat, bahkan setelahnya tangannya pun ikut bergerak cepat untuk mencubit pinggang Deon dari bawah meja, agar tidak terlihat oleh dua pasangan di depannya sekarang. "Eh!" Deon memekik, dia menoleh kesamping menatap Ratna dengan tatapan memohon dsn ringisan kecil. "Kalian pacaran?" Lika membuka suara setelah melihat tingkah laku keduanya, dia sungguh heran apalagi Deon yang seolah secara terang-terangan menunjukkan sikap jika mereka memiliki sebuah hubungan. "Nggak!" "Dih, dosa lu nggak ngakuin gue!" "Emang enggak!" "Enggak dari mana, Lo lupa? Apa amnesia!" "Enggak ya enggak!" Deon menatap tak percaya kearah Ratna yang juga memberi tatapan tajam seolah dia tidak takut dengan apa yang akan Deon lakukan. Memilih mengalah Deon membuang tatapannya, berdebat dengan Ratna memang akan berakhir seperti ini. Dia tidak pernah bisa mengalah, jadi Deon memilih mengabaikannya. Percuma juga terlalu memaksa yang menang seharunya tidak seharunya. Ratna mendesis kecil, lalu menoleh kearah Laksa dan jika Lika, dia memasang senyum sebagaimana tidak pernah terjadi apa-apa. "Aku pamit dulu, masih ada kerjaan lain." Ucap Ratna berpamitan, dia harus bekerja karena kafe terlihat ramai sore itu. "Oh oke, senang ketemu kamu." Balas Lika dengan senyum yang tak kalah manis, berbeda dengan Laksa yang hanya menatap heran sosok itu. Ratna hanya mengangguk pelan, lalu berlalu begitu saja setelah memberi sapaan ramah. "Nanti pulang bareng gue!" Deon membuka suara tanpa perlu menoleh, dia enggan melihat Ratna saat kondisi seperti sekarang ini, sedangkan Ratna, wanita itu hanya menatap Deon dengan wajah datar dan berlalu begitu saja. Setelah Ratna pergi Laksa mengarahkan tatapannya pada Deon. "Jawab gue. Dia siapa?" "Calon gue." "Kenapa ketus?" "Belum jinak." "Eh si anying, Lo kira hewan pake dijinakkin segala?" Mengedikkan bahu acuh, Deon mengedarkan pandangannya, dia terlalu lama di sini dan sebentar lagi malam akan datang, dia ingin segera pulang, mengundang dua sahabatnya ini kerumahnya dan setelah itu kembali ke tempat ini untuk menjemput Ratna. Dia butuh bersama Ratna, tidak peduli jika wanita itu masih saja ketus terhadapnya. "Lo orang laper nggak?" "Eh pertanyaan gue belom di jawab ya!" "Gue tanya Lo orang pada laper kagak?" Deon mengabaikan nada protes dari Laksa, dia hanya ingin mengajak keduanya bertandang ke rumahnya. "Laper." "Rumah gue aja yuk. Bi Tasya masak banyak hari ini, sepesial buat kalian pada." "Yakin nggak papa? Bukannya kamu tadi bilang mau jemput Ratna?" Deon menatap Lika sebentar sembari mengulum senyum. "Tenang aja, Ratna nggak akan balik sebelum gue dateng, jadi mari ke rumah gue untuk makan dan ngobrol lebih jauh lagi." Laksa maupun Lika hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti Deon yang sudah berlalu, tak lupa dia membayar ke kasir sebelum pergi dan beranjak pulang. Ratna yang melihat itu hanya tersenyum miring dsn melanjutkan pekerjannya, dia yakin Deon akan datang sebentar lagi, karena pria itu egois.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD