HdM 10 - Reina

2000 Words
HmD 10 - Reina Dalam hidupnya ada berapa hal yang paling Rei benci dan bisa memicu kemurkaan dirinya. Bagaimana saat dia dianggap anak haram, di kucilkan karena ayah dan ibunya bercerai, dan di cemooh karena dia memiliki dua ayah, saat ibunya menikah lagi. Beberapa hal itu yang terkadang membuat Rei membenci hidupnya, dia seolah anak buangan yang tidak pernah diharapkan, tapi seiring berjalannya waktu dan bagaimana dia belajar untuk bersikap masa bodo, tentu dengan dukungan sang Daddy dan Galuh. Rei sama sekali tidak peduli dengan mereka lagi, bagi Rei, hidupnya sudah bahagia. Memiliki Daddy yang sayang kepadanya, Galuh yang a dia tidak terlalu suka menjelaskannya, tapi Rei tetapi bersyukur karena mamah mendapatkan orang yang mau menerima dirinya apa adanya. Rei berharap demikian, mendapat pria yang mau menerima dirinya apa adanya, seperti halnya Galuh, ya pria itu menerima semua kekurangannya dan menutup dengan kelebihan yang dia miliki. "Ada duit nggak?" Mereka baru saja keluar dari kafe C&c, lokasinya yang satu arah dengan rumah mamah membuat Rei memaksa untuk istirahat di sana. Haus dan lelah begitu melanda, padahal jika dipikir dia hanya berlari 500 meter saja, tapi rasanya sudah berlari lebih dari satu kilo meter. "Buat apaan?" Balas galuh, pria itu masih sibuk mengendari motornya, menyalip dengan lincah kendaraan yang mulai padat, kelincahan yang dimiliki Galuh tentu saja tidak perlu diragukan lagi, sering ikut even touring tentu membuat pria itu memiliki skill di jalanan. Walau kadang Rei masih melarang Galuh untuk memacu motor dengan kecepatan tinggi. "Beli martabak telor kesukaan papa, adek juga pesen risol sama gorengan." Mereka berhenti sejenak saat lampu lalulintas berwarna merah. Ada satu menit tersisa sebelum berubah menjadi warna hijau. Halus memanfaatkan hal itu untuk menegakkan tubuhnya, punggungnya terasa pegal karena sejak tadi Rei bersandar di sana dengan tangan bertumpu di pahanya. Galuh menggunakan paha Rei untuk menjadi tumpuan siku kanannya, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk mengusap pelan betis dan lutut Rei, sesuatu yang selalu Rei sukai, entah kenapa, walau rasanya aneh menjadi pusat perhatian banyak orang, tapi Rei tetap menyukainya. "Mau beli di mana?" Tanya Galuh sembari menoleh kebelakang, dipandanginya sosok gadis yang masih betah bersandar di bahunya itu. "Ya ada duit dulu nggak?" Halus terkekeh pelan, dia mengangkat tangan kirinya untuk mengusap helm yang dikenakan Rei. "Jangan ngejek deh, kapan sih gue ggak ada, buat lo mah udah ada jatahnya sendiri." Inilah yang Rei suka dari Galuh. Bukan, bukan Rei matre atau mata duitan, tapi dia suka saat Galuh menjadikan dirinya sebagai prioritas utama, bahkan menyiapkan segala hal yang seharusnya belum menjadi haknya. Terdengar aneh sih, tapi wanita mana yang tidak suka menjadi prioritas utama dari Soreng pria, tentu saja semua wanita suka. Pun dengan Rei yang terbilang masih labil dalam memilih keputusan. "Iya deh percaya yang udah siap sedia mah." Rei mencibir pelan, tak urung dia memindah kedua tangannya untuk memeluk pinggang Galuh, mengeratkan pelukannya sembari menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu . "Hem, tinggal nunggu Lo lulus." "Gue masih pengen kuliah dulu Bamban!" "Kuliah sambil nikah nggak masalah kan?" "Ya nggak masalah, yang jadi masalah itu, gue masih muda, masih labil, masih suka meledak, masih suka manja, masih belum bisa apa-apa dan masih, masih, masih banyak lagi yang gue belum bisa." Galuh terkekeh pelan. Dia melirik kearah lampu lalulintas di atasnya. Masih ada beberapa detik lagi sebelum hijau, dia memilih untuk bersiap, memegang stang motornya sebelum bersiap untuk menjalankannya. "Gue cari istri bukan cari pembantu." "Lah gue tanya tugas istri apaan emang?" "Nyenengin suami." "Dengan cara?" "Ranjang!" "Masum! Otak m***m mah nggak akan lari kemana-mana selain s**********n, bo-kep aja sih tontonannya, makanya otak Lo ngeres!" Galuh terkekeh pelan, sulit memang memiliki kekasih yang umurnya bahkan jauh di bawahnya, mereka terpaut enam tahun. Dan Rei masih menempuh pendidikan, jelas nekat bukan untuk usia mapan Galuh berpacaran dengan anak labil seperti dirinya? Hanya saja Galuh malah menyukai itu, bagi pria itu, Rei adalah segalanya, tanpa Rei Galuh bukanlah apa-apa, Rei adalah tempat dimana dia bisa mencurahkan perasaanya tanpa harus sungkan atas takut di tertawakan dan dijauhi. Rei adalah tempat dimana dia bisa berkeluh kesah tanpa takut rahasianya akan tersebar. "Lah emang tujuan nikah apa?" "Membangun rumah tangga." "Terus?" Rei terdiam sejenak, ada yang aneh dengan pertanyaan Galuh, dan dia tahu kekasihnya itu tengah memancing dirinya. Mendesah malas Rei malah memberi satu cubitan keras untuk Galus yang membuat pria itu memekik sakit. Bakan suaranya mampu menarik perhatian pengguna jalan lain. "Nggak usah mancing-mancing ya, gue hajar ni nanti!" "Loh, gue ngomong apa adanya kan? Kenyataan Rei." "Oke, kenyataan, sekarang gini aja deh nggak usah muluk-muluk, Lo ajak gue nikah, masalahnya Lo berani minta gue dari Daddy nggak bos!" Tantang Rei dengan seringai mengejek. Dia yakin Galuh pasti tak akan berani berhadapan dengan daddy, apalagi sifat Daddy yang super overprotektif terhadap dirinya. Belum lagi Daddy memiliki penghasilan yang sungguh luar biasa, dan tentu saja Daddy tidak akan mudah mengijinkan Rei. Kecuali... "Gampang Daddy mah, buat lu bunting pasti di nikahin kita!" Nah ini, Rei benci mulut Galuh yang asal mangap tanpa pikir panjang apa konsekuensi yang akan dia dapat sampai berani melakukan hal itu. "Dan Lo bakal dikirim ke neraka dulu sebelum menjadi anak mantunya!" Galuh tertawa sangat keras, padahal apa yang dia ucapkan hanya bercanda. Tentu saja soal membuat Reina bunting. Dia masih memiliki otak untuk tidak merusak kekasihnya. pacaran seperti itu bukanlah gayanya, jadi dia tidak akan pernah merusak Rei sampai mereka bersama nanti. "Kenapa Lo ketawa?!" "Kagak! Lagian mana tega gue rusak cewek secantik Lo, gue nggak akan sejahat itu hanya untuk meraih sesuatu yang bisa gue raih lewat jalur lain." "Jalur prestasi?" Pancing Rei sembari memincingkan matanya. "Iya lah, lebih baik gue pake jalur itu dari pada harus ngerusak Lo?" Rei mengulum senyum, tak urung dia menoleh dan berkata sangat lirih di samping telinga Galuh yang tertutup helm. "Bukannya Lo udah mulai dengan cara lain, merusak gue dengan perlahan?" "Heh! Mana ada!" Sentak galuh sedikit keras, bahkan pria itu sampai menoleh kearah Rei dengan tatapan bingung. "Mana pernah gue ngelakuin itu?" "Yakin nggak pernah?" "Eh... Em... An-anu. Ya pernah sih, tapi nggak sejauh itu lah." "Walau nggak jauh ya sama aja lah Bambang!" Rei menoyor kepala Galuh sedikit keras. "Secara nggak langsung Lo bikin pertumbuhan gue makin cepet, b**o! Awas aja Sampek kendor kek buah pepaya, gue bejek-bejek Lo!" Galuh terdiam mematung, dia mencoba mencerna kalimat Rei yang terlalu menjurus, tidak bisa di pungkiri untuk ukuran anak muda jaman sekarang, hubungan mereka memang sudah terlampau jauh, Galuh sadar itu, apalagi hasrat dalam dirinya selalu mendorong hal itu. Hanya saja Galuh masih memiliki batasan untuk tidak melakukan hal lebih dari sekedar tanda kutip. Tak perlu di sebutkan karena hal itu bisa mengundang banyak persepsi dari kalangan banyak orang. Mereka hanya menikmati masa muda mereka, dan Rei bukan gadis bodoh yang mau melakukan apa saja untuk sang kekasih, hanya saja apa yang selama ini Galuh lakukan untuk dirinya membuat dia luluh. Pria itu memang berbeda, dia tidak seperti pria b******k di luaran sana yang mendekati setiap gadis polos hanya untuk kesenangannya saja. Galuh jelas berbeda, Rei yakin itu. Bahkan selama tiga tahun mereka saling kenal, tidak ada sedikitpun sikap Galuh yang berubah. Pria itu masih sama, menjadi orianyang memprioritaskan dirinya di urutan paling pertama. Bahkan dalam segala hal. Galuh adalah sosok Daddy keduanya yang pernah Rei temui. Dan karena hal kiri juga Rei memberi sedikit hadiah untuk Galuh, sebagai bukti tanda jadi tanpa pikir panjang. Walau memang konyol dan berbahaya, tapi nyatanya sampai saat ini Galuh masih mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal gila. Padahal Rei pernah memancing Galuh untuk melakukannya, tapi Galuh tepatlah pria yang memiliki prinsip. "Yoga sama nge-gym lah biar kencengan lagi.!" "Duit siapa? Lo kira murah?" "Lah urusan duit Lo pusing, gunanya punya cowok banyak duit buat apa coba? Lo lupa rekening yang gue siapin buat Lo udah ada berapa sekarang?" Galuh memang selalu memikirkan segala hal dengan matang, bahkan urusan keuangan pria itu selalu saja terperinci dan tidak asal ambil langkah. Segala tabungan, kebutuhan bengkel, keuntungan dan gaji para mekanik sudah dia pisah sedemikian rupa, dan di antara itu semua, ada satu tabungan yang memang di khususkan untuk Rei. Katanya sih untuk menikahi Rei kelak, makanya Galus menabung mulai sedari dini. Dan tentu saja untuk kebutuhan Rei lainnya. "Nggak usah aneh-aneh, itu tabungan buat hal yang lebih penting." Balas Rei dengan dengkusan kasar. "Lah bagi gue Lo kan penting? Sepenting menjaga harga diri gue sendiri." "Nggak usah berlebihan, lagian rajin joging sama olahraga udah cukup juga, duit itu buat hal-hal mendesak aja nggak usah dihambur-hamburkan." "Terserah di elo deh. Toh nanti itu juga jadi hak Lo." "Gal?" "Hem?" "Yakin banget mau tetep sama gue? Emang Lo nggak bosen gitu?" Sejujurnya Rei tidak ingin menanyakan hal ini, karena bagaimanapun juga ini adalah hal sensitif untuk di bahas, hanya saja dia penasaran mereka menjalin hubungan sudah terlalu lama dan hanya sembunyi-sembunyi tanpa di ketahui Daddy. Galuh juga orang yang tumbuh besar hanya dengan seorang kakak, lalu apakah dia tidak bosan terlalu menjalin hubungan terlalu lama dengan dirinya. "Kenapa harus bosan?" "Ya bayangin aja, kita udah jalan hampir 3 tahun, dan bakal ada tahun-tahun ke depan lagi sampai gue lulus, emang lu masih sanggup?" Galuh tidak langsung menjawab, dia membelokkan motornya kearah jalan menuju rumah mamah Rei, dan saat akan tiba di penjual martabak langganannya, Galuh memelankan laju motornya. "Bosen? Pertanyaan Lo lucu Rei." Dari nada suaranya Galuh terlihat tidak senang, tapi Rei hanya ingin tahu. Sampai mana Galuh bisa menjelaskan. "Sekarang gini aja, sejauh ini apa pernah gue selingkuh? Ngeluh dengan kemauan Lo. Atau parahnya gue cuek sama Lo?" Rei terdiam, apa yang Galuh katakan benar adanya. Pria itu sama sekali tidak pernah menunjukkan sifat yang memperlihatkan jika dirinya bosan, atau jenuh dengan satu hubungan. Malah sebaliknya, Galuh terlihat begitu antusias dan terus saja memuja dirinya tanpa harus Rei minta atau paksa. Bahkan di setiap pertengkaran sekalipun, Galuh selalu menjadi orang pertama yang akan mengalah diantara mereka. "Kalaupun gue bosen, gue udah bilang ke Lo, gue udah melakukan hal konyol yang mungkin aja bisa bikin Lo merasa gue berubah. Ujung-ujungnya kita bertengkar hebat dan bubar, tapi selama ini?" Rei tak ingin Galuh melanjutkannya, dia memilih mengeratkan pelukannya dengan sedikit mencengkram erat pinggang Galuh. Rei yakin akan ada ucapan yang mungkin bisa membuat Galuh merasa bimbang jika ini di teruskan, maka Rai ingin semua berlalu. "Tapi bukan karena gue udah udah kasih Lo sesuatu yang bikin Lo nggak bosen sama gue kan?" "Itu salah satu alasannya sih." Galuh terkekeh pelan, dan seketika itu juga Rei mencubit pinggang galuh, tak urung dia juga mengigit bibir bawahnya untuk menahan senyumnya. Dia memang sudah sering melakukan hal gila bersama Galuh. Hanya sebatas skin ship tanpa melakukan hal lebih dari itu. Tentu saja karena Rei tidak ingin dia melakukan perbuatan gila yang membuat daddy malah, terlebih, Galuh juga sangat menjaga prinsipnya untuk tidak merusak Rei. Maka hanya dengan sentuhan saja mereka berakhir. Dengan usil kekasihnya itu mengarahkan kaca spion kearah wajah Rei. Diamatinya lamat-lamat wajah Rei yang setelah sadar malah membuang wajah ke samping. "Jangan kebiasaan ya, Gal!" "Apaan?" "Itu ngapain kamu liatin aku?" "Mana?" Tanya Galuh berpura-pura bodoh di hadapan Rei, dia suka melihat wajah merona Rei. Ada sesuatu yang membuat dia ingin memiliki Rei seutuhnya, tentu saja setelah Rei lulus dan hubungan mereka sah. "Itu spion, kenapa diarahin ke gue?" "Siapa tau Lo pengen ngaca kan?" "Halah, bilang aja Lo mau ngeliatin gue kan?" "Nggak ada." "Halah! Ngaku nggak!?" Rei mengancam dengan memberi satu cubitan di pinggang Galuh yang membuat pria itu memekik kesakitan. "Iya iya, ngaku deh gue!" Rintih Galuh dalam diam, dia yakin pinggangnya akan merah-merah setelah pulang nanti. Rei mengeratkan pelukannya. Jalanan yang mulai lengang membuat dirinya tidak perlu malu lagi untuk melakukan hal itu. "Gue jadi pengen ke kos Lo deh, Gal." "Heh? Ngapain?" "Main aja." "Lain kali aja jangan sekarang." "Kenapa?" "Gue belum siap, takut khilaf!" "Hoo dasar omes banget sih Lo, sumpah! Bete gue!" Galuh tertawa puas mendengar ucapan Rei barusan, bahkan ekspresi wajahnya sungguh membuat dia merasa gemas dengan Rei.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD