HdM 4 - Deon

2004 Words
HdM 4 - Deon Kendaraan roda dua itu terparkir dengan sempurna di tempat parkir studio tato yang cukup ternama di daerahnya, banyak pengunjung dari luar negri yang sengaja datang untuk meminta buatkan tato di tubuhnya. Bahkan mereka sudah memesan dari jauh-jauh hari. Deon mamanya, pria berusia 37 tahun dengan rupawan yang terlihat gagah dan mempesona, lengan kiri yang di penuhi dengan goresan tato. Lalu kaki kiri pun sama halnya seperti tangan. Pria itu turun dari motor butut yang dia dapat dari modal pinjaman dan baru saja dia gunakan untuk menjemput putrinya tadi. Menjadi sesuatu momen yang sangat di nanti untuk para wanita yang ada di sekitar lingkungan studio tempat dirinya bekerja. Entah dari mana daya tarik deon berasal, padahal jika dilihat dari penampilannya saja Deon sudah terlihat sangat buruk dan bisa di bilang semrawut, tak rapih, dan juga breng-sek, karena tato yang ada di tubuhnya. Namun sayangnya, penampilannya yang kata orang jaman dulu tak urus, malah menjadi daya tarik tersendiri untuk orang di sekitar Deon. Padahal tak sedikit yang memandang Deong dengan sebelah mata, contohnya saja para guru Reina yang tak pernah suka dengan penampilan Deon. Terlebih pekerjaan pria itu yang terbilang sungguh tidak masuk akal. "Nih mang, thanks motornya, udah gue isi full tadi itu bensin, Pertamax juga malah!" Kata Deon sembari melemparkan kunci motor Astrea tahun 200 kearah mang Somat yang tak lain adalah tempat parkir di sekitaran studionya. "Eh kenapa pake di isi bensin segala mas?" Tanya mang Somat setelah menangkap kunci motor miliknya sendiri. Bukan sekali dua kali Deon meminjam motor milik tukang parkir itu dan selalu saja mengisi bahan bakar dengan kualitas bagus dan full, sesuatubyang terkadang membuat mang Somat tidak enak. Tapi seperti itulah Deon, dia entah kenapa selalu suka meminjam kendaraan mang Somat tiap kali dia merasa bahan bakar pembeliannya sudah jadwalnya habis. "Buat jalan mang Somat!" Deon menjawab dengan mengangkat sebelah tangannya lalu masuk kedalam studio yang terlihat ramai oleh kedatangan teman-temannya. "Wes, bapak satu anak ini sibuk banget rupanya!" Geri salah satu teman dekat Deon menyapa kedatangannya, pria tinggi dengan rambut ikal panjang sebahu itu beranjak dari duduknya untuk mendekati Deon. "Dari mana aja Lo?" Tanya Geri mendekat kearah Deon. "Biasa lah, kek nggak tau bapak satu anak ini. Jam segini pasti nyusul Reina lah!" Deon terkekeh pelan lalu memilih duduk di kursi kerjanya dengan santai. Kedatangan dua orang teman dekatnya memang menjadi salah satu kesenangan tersendiri untuk dirinya. Selain melepas penat, dia juga bisa bercanda dan bertukar pikiran walau hanya sejenak. "Oh iya, jadwal rutin ye kan?" Balas Geri menatap Roy yang ada di hadapannya. "Nah itu Lo tau, bapak Deon gitu. Mana tega dia liat anaknya naik angkot." "Tapi malah jemput pake motor butut!" "Astrea lagi? Kek nggak ada wibawanya sekali!" Mereka tertawa setelahnya. Dua orang itu memang selalu mengejek Deon dengan hal demikian, dan Deon tak pernah ambil pusing karenanya, toh mereka cuma bercanda dan nggak pernah serius dengan perkataan mereka. "Udah?" Tanya Deon setelah melihat kedua sahabatnya berhenti tertawa. Dia meraih satu bungkus rokok dan mengeluarkan isinya dari dalam kotak, menyulut dan menghisap dengan pelan sebelum menghembuskan secara perlahan. Dia menatap dua orang di hadapannya tadi. "Jadi, gimana urusan sama dua bule tadi Roy?" Tanya Deon saat mengingat sebelum pergi tadi dia memiliki tamu penting yang akan memboking dirinya untuk bulan depan, tepat di awal bulan untuk membuatkan tato di punggung, satu wanita bernama Angela, dan satu lagi adiknya bernama Martian. Mereka berdua mengetahui Deon dari akun YouTube miliknya yang selalu saja memposting cara kerja dia selama ini. "Aman, dia boking Lo di awal bulan, tepatnya tanggal 2, dan urusan tiket di tanggung, jadi lo tinggal terbang aja ke negara doi." "Kenapa nggak mereka aja yang datang ke sini?" Roy menggeleng pelan, dia berjalan mendekat lalu duduk di meja kerja milik Deon. "Dia sibuk salah Lo tau, banyak pekerjaan yang nggak bisa di tinggal sama mereka." "Lah buktinya mereka bisa datang kemari." "Karena mereka lagi liburan, rencana mereka mau bikin di sini, tapi berhubung jadwal Lo udah penuh, mereka minta bulan depan." Deon meraih satu buku catatannya, mencoba membuka semua orang yang sudah memiliki janji dengan dirinya. "Makanya jangan sibuk-sibuk amat lah jadi orang, kasian tuh pelanggan yang udah berharap banyak sama Lo." Ucap Geri yang masih duduk dengan santai di atas sofa. "Bukan gitu, gue emang lagi males banget bulan ini." Bukan hanya karena masalah Reina, Deon juga memiliki masalah lain yang harus segera dia selesaikan, tak ingin semua terbengkalai. Dengan seksama dia mulai membuka semua catatan yang masuk dan terjadwal dengan rapih. Lalu dia melihat satu nama benar-benar dia ingat. Jadi segera mungkin Deon meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang tertera di sana. "Nelpon siapa?" Tanya Geri melihat gelagat dari Deon, lalu saat Deon meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya Geri memilih diam. Deon menunggu hingga panggilan itu terangkat. "Yo, jadwal Lo buat tato di undur jadi agak sorean bisa?" "Aelah, ya kali di untur lagi, Yon?" "Ayolah, gue butuh waktu tambahan ini, gue kasih diskon lah nanti. Gimana?" Deon tidak bisa melepas tamu yang sudah datang tadi, mau bagaimana pun dirinya harus bekerja ekstra untuk memberi pelayanan yang memuaskan untuk sang pelanggan, terlebih dia juga tidak mungkin bisa jika harus terbang ke Amerika hanya untuk membuat beberapa tato dalam satu hari. Jujur Deon takut ketinggian. "Ais, Lo mah!" "Ayolah, kali ini aja, yo?" Dia tau sahabatnya Rio jelas akan mengerti dan memberi sedikit kelonggaran waktu untuk hari esok. Jadi sebisa mungkin Deon akan bekerja lebih untuk besok. Jika biasa Deon hanya akan membuat dua buat tato untuk dua orang pelanggan, mungkin besok berbeda, Deon akan membuat tiga atau bahkan empat untuk tiga orang pelanggan, beruntung besok dia hanya akan membuat tato untuk Rio sahabatnya, yang sudah membuat janji dari tiga bulan yang lalu. Terdengar helaan napas dari Rio, "Ya udah, tapi nggak lewat dari jam tiga?" "Deal!" Karena bagi Deon bahkan sebelum jam tiga pun dia sudah selesai mengerjakan pekerjaannya. Tato, adalah seni yang sudah sangat lama Deon gilai, bahkan sekat dirinya masih tergolong muda hingga terjerumus kedalam pergaulan bebas dan menghadirkan seorang Reina di dalam kehidupannya, Deon tidak menyesal. Walau pernikahan dirinya dengan mantan istri berakhir hanya karena mantan mertuanya tidak suka terhadap dirinya, dan melimpahkan semua tanggung jawab Reina kepada dirinya seorang, Deon tak peduli, sebisa mungkin dia akan membesarkan Reina dengan usahanya sendiri. Apapun itu, asal semua di dapat hari hasil keringat sendiri jelas akan berkah, tidak peduli orangan akan berkata apa, atau akan mengatakan jika hasil dirinya membuat tato adalah hasil yang tak layak untuk menghidupi anaknya kelak, tapi Deon yakin, asal dia tidak mencuri, tidak merampok, dan mengambil hak milik orang lain, hasil kerjanya tetap halal dan berkah, entahlah, semua hanya tuhan yang bisa menghendaki dan memutuskan. Sebagai manusia Deon hanya bisa bekerja dan berusaha. Deon meletakkan ponselnya, lalu menatap dua orang di hadapannya. "Bisa bantu gue hari ini?" Tanya Deon menatap kedua sahabatnya yang memang membantu dirinya di studio, bahkan bisa di bilang mereka adalah orang kepercayaan Deon. "Apaan?" Geri dengan malas membalas pertanyaan Deon. "Hari ini hendel pekerjaan gue. Gue mau keluar sebentar karena besok gua sibuk satu harian." "Maksudnya?" Roy masih belum mengerti dengan maksud perkataan sahabatnya itu. "Gue ada urusan, hari ini sisa pekerjaan gue Lo selesaikan. Gue mau ketemu seseorang." Deon beranjak meraih jaket milik Reina yang tadi dia kenakan dan diletakkan di kursi kerjanya dan berlalu begitu saja. "Oh ya." Pria itu berhenti lalu menoleh kearah dia sahabatnya. "Besok kita sibuk. Ada tiga pelanggan yang bakal dateng. Dan Lo Roy!" Deon menjeda sebentar untuk menatap sahabatnya. "Hubungi dua turis itu. Bilang besok gue free. Kalo mau buat tato tolong datang tepat waktu atau nggak ada kesempatan lagi." "Serius?" Deon hanya mengangguk. Bahkan saat Roy meraih ponselnya dia langsung berlalu, dia percaya sahabatnya akan mengurus semuanya, bahkan Roy sudah sangat paham tentang jam kerja Deon yang memang tak bisa ada kata terlambat. Dengan langkah santai Deon tidak peduli dengan banyak tatapan mata uang tertuju kearahnya, entah tatapan aneh atau tatapan mengejek sekalipun. Deon cuek saja dengan penampilannya yang terbilang aneh. Pria kekar dengan celana pendek hingga memperlihatkan tato naga di kaki kirinya, dan kaus oblong yang dilapisi jaket merah muda milik Reina dengan Hambal hello Kitty di bagian belakangnya. Dia terlalu pede dan bangga dengan apa yang putri kecilnya itu berikan. Walau di awal dia terlihat tidak senang tapi nyatanya Deon menyukainya. Lalu sekali lagi, Deon menuju tempat ma h Somat beristirahat, guna untuk meminjam motor Astrea itu lagi. "Mang, masih lama nggak?" "Eh, mas Deon, masih lama kok mas, kenapa?" "Mau pinjem motor lagi, mau pergi ke ke dekat sini, mau bawa mobil malas. Macet." "Oalah, ya mangga aja mas, saya juga masih lama." Ucap mang Somat lalu merogoh saku celananya dan memberikan kunci dengan gantungan ekor sapi yang di awetkan, Deon agak geli awalnya, tapi sekarang setelah terbiasa dia malah ingin memiliki satu untum gantungan kunci motornya, tapi tidak yakin Reina akan menyukainya. "Nggak papa kan aku bawa?" "Nggak papa mas, bawa aja." "Oke, pinjem dulu ya mang." Deon meraih helm GM (Gawan motor) atau sebut Saba helm bawaan motor dengan logo merek di belakangnya. Bagi Deon semua hal ini tidak masalah, intinya nyaman dan selamat, tidak perlu harus mewah toh jika fungsinya sama saja kan. Jalanan siang itu tentu saja padat, tapi Deon tidak ingin melewatkan jatah makanan manis di temani pemilik kafe manis yang masih saja jual mahal kepada dirinya. Memandang takut-takut seolah Deon adalah penjahat yang harus dia hindari, padahal jika mengenal lebih dekat Deon adalah orang yang ramah dan mudah bergaul. Walau memang penampilannya yang urakan tapi tetap saja, penampilan tidak bisa menilai itu semua. Deon memiliki pribadi yang luar biasa di kalangan orang terdekat. Dengan perlahan Deon menyusuri jalanan kota yang terlihat padat, banyak motor yang lalu lalang hingga menyebabkan kemacetan yang cukup panjang, bahkan suara klakson yang memekakkan telinga pun menjadi santapan yang sudah biasa bagi Deon. Kaki kirinya turun untuk menyanggah motor saat beberapa mobil berhenti di depannya, disusul pengendara yang terlihat tidak sabar untuk cepat sampai tujuan. Membuat kenyamanan jalanan semakin dipertanyakan. Bahkan mereka tidak memikirkan keselamatan mereka sendiri dengan berbuat hal yang bisa saja merugikan dirinya sendiri. Menerobos lampu lalu lintas contohnya. Deon hanya menggeleng pelan, begitu sabar dia menunggu, deng bibir bersiul riang dia mulai mengedarkan pandangannya. Lalu getar ponsel di dalam saku celananya membuat Deon segera merogoh dan meraih benda pipih itu dari sana. Nama Laksa tertera di layar ponselnya. Sahabat jauh yang menjadi orang kepercayaannya hingga kini. Sosok yang sudah menolongnya dari rasa putus asa dan mengulurkan tangan saat dirinya tidak memiliki apa-apa. Segera saja Deon menerima panggilan itu dengan senyum merekah. Bahkan senyumnya menjadi pusat perhatian orang yang ada di sekitarnya, terutama kaum hawa yang tidak hentinya mengagumi sosok Deon. "Halo my brother, tumben nelpon? Ada apaan nih?" "Kagak, gue lagi ada di Bandar Lampung nih. Lo bisa temuin gue?" "Hah? Serius? Sejak kapan?" "Barusan aja gue Sampek. Lo di mana?" "Gue lagi di jalan. Mau ke kafe makan kue. Mau ikut?" "Gue sama bini ini, rencana mau liburan beberapa hari, gue..." "Mau pake vila gue kan?" Tebak Deon yang seolah mengerti, tanpa Laksa mengatakannya pun dia sudah sangat paham. Deon memiliki salah satu vila di dekat pantai yang nuansanya jelas segar untuk sekedar liburan. Dan dengan senang hati dia akan meminjamkannya pada sahabatnya itu. "Ya... Kalo boleh nggak masalah." "Haha, udah kaya apa aja sih Lo! Pake aja nggak papa gue. Lo di mana sekarang? Biar gue jemput." "Di hotel horizon. Sama bini gue, yakin nggak papa?" "Em, gue bawa motor sih. Atau nggak Lo dateng di kafe yang mau gue tuju, nanti gue Sherlock, nggak jauh dari hotel kok, gimana?" "Boleh deh. Sekalian lepas kangen." "Nah itu. Sekalian gue mau kenalan sama bini Lo, nggak papa kan?" "Tujuan gue emang mau ngenalin kalian, ya udah, Sherlock aja, gue tunggu." "Siap!" Deon segera mengirimkan lokasi yang akan dia tuju pada Laksa. dan setelahnya dia berlalu saat melihat jalanan sudah mulai lengang, bahkan tak sampai lima belas menit Deon sudah sampai di tepat tujuannya, dengan senyum merekah karena akan bertemu dengan sosok yang akan dia temui nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD