HmD 3 - Reina

1709 Words
Tumbuh besar di lingkungan yang terbilang bebas, membuat gue menjadi sosok yang bisa di bilang keras, cuek dan nggak peduli sama hal-hal remeh macam alkohol dan lainnya. Jangan hujat gue, di sini gue cuma mengatakan apa yang selama ini gue rasakan, menyesuaikan diri dengan segala hal yang gue lihat tanpa harus mengikuti cara mereka. Terlebih, Daddy gue orang yang cukup keras dalam mendidik gue, walau kadang suka lebai, tapi di sisi lain Daddy adalah sosok yang luar biasa untuk gue. "Daddy telat 5 menit!" Ujar gue menatap Daddy yang tengah mengatur napas yang terengah karena berlari dari sebrang jalan menghampiri gue yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah. Gue heran, ini Daddy kenapa nggak nyebrang sambil bawa motornya kesini, malah lebih milih lari coba, bukannya menghemat waktu malah memperlambat aja. "Ya maaf." Daddy menghela napas panjang, laku berdiri tegak membuat gue harus mendongak hanya untuk mnatao matanya, Daddy itu punya tinggi tubuh yang nggak kira-kira, gue aja yang paling tinggi di sekolah cuma sebatas dadanya doang, gila nggak. "Ada urusan sebentar tadi." "Kumpul sama temen-temen Daddy?" Tanya gue dengan memincingkan mata, memperhatikan pakaian yang Daddy kenakan, kaus tanpa lengan hingga memperlihatkan lengan kekar bertato, dan gurat d**a tegas yang terlihat jelas karena kaus tipis yang Daddy kenakan. Gue yakin, dengan apa yang di pakai Daddy, pasti akan menjadi perhatian yang luar biasa untuk orang sekitar gue, apalagi kaum hawa yang masih menginjak usia masa remaja macam gue. Dan benar saja, apa yang gue duga, banyak sorot mata tertuju pada Daddy dengan bisikan kecil yang membuat gue jengah seketika. Lalu tatapan gue menemukan dua orang guru BK dan matematika yang berjalan kearah kami dengan tatapan terpukau luar biasa. Dasar betina, nggak bisa liat roti sobek sedikit aja yah, baru aja di kasih pandangan macam ini udah macam singa betina yang siap menyergap mangsanya. "Nggak, cuma ada kerjaan kecil tadi." Gue mengangguk kecil. "Terus kenapa pake kaus kayak gini, mau pamer apa gimana?" Daddy menundukkan wajahnya menatap kaos yang sedikit basah karena keringat, dan aromanya itu, benar-benar cowok banget. Nggak peduli dengan tato besar yang ada di lengannya, pesona Daddy itu emang nggak bisa terpatahkan, buktinya tunggal kasih senyum aja udah banyak wanita yang meleleh dan bisa di ajak kencan. Semudah itu memang, tapi sekali lagi sebanyak wanita yang Daddy kenal, beliau nggak pernah kepikiran untuk serius atau cari sosok ibu untuk gue. For your information, Daddy ini adalah duda yang berpotensi besar untuk mematahkan hati para gadis yang dia temui, yah setatus beliau emang duda, tapi karena perawakannya yang masih terlihat segar, Daddy masih terlihat begitu muda walau usianya sudah menginjak 37 tahun. Banyak yang mengira Daddy adalah kakak gue karena raut wajah yang masih saja terlihat begitu muda. Bahkan banyak yang anggap Daddy adalah pacar gue. Gila nggak sih. "Gerah, Rey, Daddy abis natto tadi jadi nggak sempet ganti baju juga." Kebiasaan Daddy yang selalu membuat gue kesal, selalu aja pake alasan itu untuk menghindar, padahal gue malah kesel tiap kali Daddy jadi santapan liar dari mata temen seangkatan gue. Daddy nggak ada akhlak emang. "Kemeja Daddy tadi pagi kemana?" "Di studio lah." "Terus?" "Daddy takut telat, makanya langsung cus aja kesini sampe lupa ganti baju." "Daddy! Apa susahnya sih pake kemeja itu. Tinggal ambil pake aja malesan banget!" Mendengkus kesal, gue melipat tangan di atas d**a, membuang wajah gue kesamping karena kesal. "Bukan gitu Rey, tadi kan waktunya mepet banget, makanya Daddy langsung kabur aja, tau sendiri ini aja udah telat kan. Baru Lima menit padahal tapi kamu udah ngambek gini." "Alesan!" Gue mendengar Daddy menghela napas pelan, gue tahu Daddy pasti capek, tapi tetep aja, Daddy udah tahu gue nggak suka tiap kali dia umbar apa yang dia punya. Dasar! Gue melepas tas ransel, lalu meraih jaket pink kesayangan dan memberikannya pada Daddy. Kening Daddy berkerut saat melihat jaket yang gue kasih. "Pakek itu, kalo nggak Rey mending pulang naik angkot!" Sekali lagi terlihat Daddy menghela napas pelan sembari memakai jaket yang gue kasih. Nggak peduli pesonanya akan hancur karena menuruti keinginan gue, Daddy selalu menuruti apa yang gue mau, bahkan hal aneh sekalipun. Beruntung nggak gue? Beruntung banget pasti. Punya Daddy ganteng, badas, sangar tapi memiliki hati hello Kitty di hadapan gue putri satu-satunya. "Udah kan?" Tanya Daddy yang hanya gue jawab dengan anggukan kecil. "Yuk pulang." "Mampir Maret-April ya? Mau beli eskrim sana coklat." "Daddy nggak bawa duit, motor aja pake punya mang Somat karena buru-buru." Kata Daddy meraih tangan gue dan menuntunnya bagai anak kecil yang hendak menyebrang jalan, ayolah Dad, gue bukan bocah lagi astaga segala di tuntun cuma mau nyebrang doang, tapi ada satu sisi di mana gue merasa bangga karena Daddy yang selalu saja memperhatikan gue demi keselamatan. Yah, mungkin hanya ada satu banding sekian banyak ayah yang akan melakukan hal ini, dan salah satunya adalah Daddy gue. "Tenang aja, Dad." Kata gue menatap wajahnya yang terlihat fokus melihat ke kanan dan kiri sebelum menarik gue menyebrang jalanan. "Tenang gimana? Kamu masih ada uang sisa?" Menggeleng pelan, gue memasang cengiran polos yang di balas kerutan kedua alis dari Daddy. "Jangan bilang kamu ambil satu kartu kredit Daddy lagi?" Yah ketahuan deh, padahal mau kasi kejutan kan tadi, dasar ya insting ayah pada anak nakal itu selalu aja tajam, atau karena Daddy juga dulu melakukan hal yang sama? Entahlah, gue malah terkekeh geli karena hal ini. Gue sering kali mengambil kartu kredit Daddy saat beliau tidur. Alasannya ya untuk berjaga-jaga kalau gue butuh gitu. Bukan untuk senang-senang atau apa, gue cuma pegang ini kartu untuk keadaan yang mendesak. "Udah kamu pake buat apa itu." "Belum sama sekali, tapi pingin beli coklat sama eskrim nanti. Nggak papa kan Dad?" "Hem, terserah kamu aja, Rey, toh Daddy kerja juga buat kamu kan?" Ujarnya sembari menoleh k arah gue. Yah ini lah Daddy gue, walau gue boros sekalipun Daddy nggak akan peduli, asal gue bahagia udah cukup, tapi gue bukan akan kurang ajar yang nggak tau gimana kerasnya Daddy kerja untuk cari duit. Jadi gue masih tahu batasan mana yang boleh mana yang enggak. "Unc banget sih Dad, jadi makin sayang deh!" Kata gue terkekeh kecil. Sembari memeluk lengan Daddy. "Jangan rayu Daddy, nggak mempan." "Serius?" "Hem." "Oke. Nggak Rey rayu lagi kalo gitu, padahal kan Rey cuma muji Daddy doang loh." "Lah?" "Kenapa?" "Kok jadi nggak mau rayu?" "Lah Daddy aja gitu!" "Gitu gimana?" "Ya gitu, katanya jangan rayu Deddy!" "Bukan gitu, Rey!" "Terus?" Percayalah, gue bahkan hampir ketawa karena perdebatan ini, bagai dua orang sepasang kekasih yang membicarakan sesuatu yang nggak penting. Dan di sisi ini gue jadi merasa Daddy itu berbeda dari sosok yang lain, Daddy adalah sesuatu yang nggak pernah bisa gue dapatkan dari manapun. Walau dia ini sosok yang ceroboh, urakan, dan semaunya sendiri, tapi Daddy adalah sosok yang luar biasa di depan gue. Dia akan melakukan apapun yang gue mau, gue suruh dan gue inginkan, contohnya saja jaket pink yang dia pakai sekarang, ayah mana yang terlihat garang dengan tubuh kekar dan tatto hampir di pergelangan tangan kirinya, tapi mau mengikuti kemauan gue untuk memakai jaket pink kalau bukan Daddy gue. Gue rasa nggak ada sosok selain Daddy gue. Atau memang ada tapi gue nggak kenal aja? Nggak tau deh. "Nggak tau deh, ini jadi mau jajan nggak?" "Kok jajan?" Tanya gue bingung setelah menaiki motor Supra fit jadul tahun 2000an yang kata Daddy ini motor udah legend banget, karena dulu motor ini yang jadi ojek Daddy pada masa merintis karir. "Tadi katanya mau jajan eskrim." "Bukan jajan Dad. Cuma mau beli coklat sama eskrim." "Lah bedanya apa?" "Nggak ada." "Kok jadi ngaco?" "Ngaco gimana?" Ini pembicaraan apa astaga? Kenapa jadi ngaco gini, Daddy emang suka mancing kadang, bikin gue kesel aja, lagian kenapa gue juga ikut ikutan ke pancing? "Rey?!" "Ya Dad?" "Nggak ada." Lah? Ini orang kenapa astaga, macam ragu gitu, gue ngerasa ada sesuatu yang buat Daddy bingung mau ngomong apa enggak, tapi gue nggak tau apa, Daddy suka gitu, kadang suka ragu tiap kali mau ngomong sesuatu, padahal mah gue udah penasaran supaya dia cerita. "Jangan bikin penasaran bisa nggak sih, Dad?" "Kenapa?" Mungin suara angin dan helm yang menghalangi membuat pendengaran Daddy terganggu, dan kayaknya nggak baik juga ngobrol di jalan kayak gini, secara jalanan juga padet parah, gue nggak mau konsen Daddy buyar karena gue ganggu. Jadi lebih baik gue memilih diam untuk hayk ini. Gue menikmati perjalanan gue, berpapasan dengan banyak orang yang lalu lalang dan membuat gue beberapa kali tersenyum tiap kali mereka menatap gue, ya setidaknya ramah untuk orang-orang yang kita kenal nggak masalah kan. "Nanti malam Daddy ada kerjaan, kamu di rumah nggak papa kan?" "Hah?" "Astaga ini anak, perasaan Minggu kemaren congek udah gue bersihin juga." "Aku denger bagian itu ya, Dad!" Ucap gue dengan sinis saat kami berhenti di sebuah lampu lalu lintas. "Lah terus, masa yang tadi nggak denger?" "Emang enggak." Daddy menghela napas sebentar sebelum membuka kaca helm dan menoleh kearah gue. "Nanti malam Daddy ada kerjaan, kamu di rumah sendiri nggak papa kan?" "Kemana?" Tanya gue spontan, karena secara nggak langsung gue tahu kemana Daddy tiap malam, bermodalkan alasan pekerjaan dia ini pasti bakal menggila sama perempuan yang sering mampir ke rumah tiap hari Minggu. "Ada kerjaan sama anak-anak." "Nggak nge-bar kan?" "Kali ini enggak." "Beneran?" Daddy mengangguk mantab, dan sepertinya apa yang dia ucapkan benar adanya, oke lah toh gue juga nggak ada hak larang Daddy pergi, dia punya kebebasan dan punya kehidupannya sendiri. "Oke! Tapi aku undang Tante Ratna kerumah ya?" "Oke, dari pada kamu sendiri kan, mending ada Ratna yang jaga kamu." Gue tersenyum lebar setelah mendapat jawaban itu, karena sejatinya Daddy benci keberadaan Tante Renata, tetangga rumah yang sering mampir bawa makanan. Nggak tahu deh apa yang membuat Daddy nggak suka sama Tante Renata. Padahal cantik dan anggun loh, tapi tetap aja, kalo Daddy bilang nggak suka ya nggak akan suka. "Baiklah, kita boring makanan ringan hari ini untuk jadi temen aku nanti malam." "Terserah kamu." "Sip, mampet Maret-April ya, kang!" "Ojol kali ah di panggil akang segala!" Gue terbahak saat Daddy terlihat mendengkus keras karena tingkah gue ini. Yah seperti inilah kehidupan gue bersama Daddy, galak sangar tapi bucin sama anaknya. kadang ribut, kadang juga akur. so jangan kaget tiap kali melihat bagaimana tingkah kami nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD