HmD 15 - Deon

1828 Words
HmD 15 - Deon Deon baru saja memarkirkan motornya di pekarangan rumah, setelahnya dia melepas helm, melihat sekeliling untuk memastikan sesuatu sebelum kembali masuk kedalam rumah. Dengan langkah ringan tanpa beban dia menyusuri teras rumah hingga langkahnya harus terhenti saat melihat sosok Geri yang tengah duduk di kursi teras. Deon tersenyum, dia yakin berkali-kali Geri menghubunginya dan tidak mendapat respon, jelas karena Deon sengaja meninggalkan ponselnya di rumah Ratna, dia tau masalah akan datang, jadi lebih baik pergi tanpa membawa benda sialan yang bisa saja membuat dirinya repot. "Kemana aja Lo, t*i!" Sentak Geri yang menyadari kedatangan dirinya. Deon tersenyum, lalu memilih duduk tepat di sebelah Geri. "Ngurus masalah Iwan." "Apa lagi yang udah dia bikin?" "Ada lah, jugaan udah beres." "Kenapa nggak nyuruh gue aja, kenapa harus turun tangan sendiri?" Tanya Geri dengan tatapan tidak suka, padahal kalau hanya mengurus Iwan saja dirinya sudah cukup, tidak perlu harus Deon yang turun ke lapangan, terlebih bukannya Deon mengatakan jika dia sudah berhenti. Lalu apakah ini bukan masalah jika dia malah ikut berkecimpung dalam masalahnya. "Udah nggak papa, lagian gue sekalian main." Geri menatap tak percaya pada sahabatnya itu. Main katanya, bukan, Deon bukan hanya sekedar main, karena Geri yakin, Deon hanya ingin menunjukkan nkembali taring yang sudah lama tumpul karena hilangnya dia selama ini, hanya tiga tombak dan 9 dewan yang mengetahui keberadaanya. Selain mereka tidak ada yang tahu kemana Deon pergi. Walau sejatinya Deon masih berkecimpung di daerahnya sendiri, tapi mereka seolah buta dan tak melihat, tentu saja itu kemauannya Deon, hanya orang yang Deon percaya yang bisa menemui Deon secara langsung. "Urusan Lo sendiri giman?" Tanya Deon dengan santai menyilang kakinya dengan santai, dia bersandar dengan tangan bertumpu pada meja. "Cebol udah ketemu, dia ngumpet dan si sembunyiin di tempat gobar." Geri menghela napas, perburuannya beberapa jam lalu sungguh melelahkan, dia harus menyerahkan banyak mata hanya untuk menemukan sosok cebol yang sangat lihai bersembunyi. "Terus gobar?" Mengedikkan bahu Geri menggeleng pelan setelahnya. Jika sudah demikian Deon sangat paham apa yang terjadi pada pria malang yang coba berkhianat dari kelompoknya. Biarkan saja, toh itu konsekuensi jika berani macam-macam dengan dirinya. "Urus semuanya, gue nggak mau ada satupun orang yang coba membelot, setelah ini, cukup cebol yang sok berkuasa itu." "Keadaan semakin susah, banyak anak baru yang datang membuat semuanya semakin runyam." "Gue angkat Lo sebagai tangan kanan gue bukan karena Lo lemah gini, gue tau potensi Lo, jadi jangan kayak bocah yang bisanya cuma ngerengek, kalo Lo nggak mampu bilang aja, biar gue turun tangan sendiri." Deon tidak ingin terlalu dalam terlibat dalam dunianya yang dulu, tapi jika ini di biarkan terus berlarut maka semuanya akan berantakan, kota damai yang sudah dia susun sedemikian rupa akan di injak-injak oleh orang yang sok berkuasa dan berpikir mereka hebat. Deon benci hal itu. "Nggak perlu, gue sama Roy bisa tanganin ini." "Bagus!" Deon mengangguk pelan, jika Geri dan Roy sudah bergerak maka segalanya akan beres, Deon percaya akan hal ini. "Satu lagi, Andin bakal pulang besok. Jadi usahakan sambut partner kalian itu." Kata Deon sembari berdiri dari duduknya. Dia melirik tajam kearah Geri. "Kalian bertiga yang bakal jadi harapan terakhir gue." Lanjutnya sembari masuk kedalam rumah meninggalkan Geri yang masih termenung di tempatnya. Andin ... sudah sangat lama Geri tidak bertemu dengan wanita itu. Seutas senyum tipis terukir di bibirnya, sepetinya Deon Sudan mulai serius untuk membereskan segala kekacauan yang terjadi selama dirinya berhenti. Dan sepertinya keseruan baru saja di mulai. Geri tidak sabar menantikan hal ini. Dia beranjak, lalu merogoh ponsel di dalam saku celananya untuk mengubungi Roy. "Siapin diri, kita bakal ketemu ujung tombak malam ini." Setelahnya Geri menyimpan kembali ponselnya dengan senyum lebar terukir di bibirnya. ----- Deon melangkah masuk, sebelum itu dia menyempatkan diri untuk mengintip kamar Rei, melihat apakah putrinya sudah pulang, melihat saat ini sudah jam sepuluh malam, harunya Rei sudah ada di rumah, atau bahkan sudah tertidur. Namun saat melihat kamar Rey yang masih terlihat terang dengan lampu utama yang masi menyala, menandakan jika putrinya masih terjaga. Dan benar saja, Rei terlihat tengah sibuk dengan tugas sekolahnya. Dan karena hak itu juga Rei tidak menyadari kedatangan Deon. Perlahan Deon menutup kembali pintu kamar Rei, membiarkan putrinya kembali belajar. Dengan langkah ringan Deon menuju dapur untuk membuat kopi yang bisa menjadi teman dirinya malam ini. Ada beberapa pekerjaan yang harus dia urus. "Loh, mas Deon udah pulang?" Deon menoleh menatap Tasya yang terlihat baru saja keluar dari dalam kamarnya, mungkin dia teringat satu pekerjaan yang biasanya sering dikerjakan saat jam seperti ini. Menanak nasi. "Baru aja bi, ini bikin kopi buat temen kerja." Balas Deon dengan senyum ramah seperti biasanya. "Hoalah, kenapa nggak bangunin saya, mas. Kan bisa saya buatkan." "Nggak papa, cuma buat kopi aja kok." Kata Deon sembari terkekeh. "Ya udah saya tinggal dulu ya bi." "Eh iya mas." Deon berlalu masuk kedalam kamarnya dan menuju ke meja kerjanya, dia duduk dengan tenang meletakkan kopi di sisi kiri ya dan membuka laptop miliknya. Ada beberapa file yang harus dia periksa dan ada beberapa hal yang harus dia selesaikan malam ini. Deon menarik laju di samping kanannya, lalu meraih satu ponsel keluaran lama dari sana. Dia mencari satu nomor, sosok yang sangat penting dan berperan banyak dalam perjalanan hidupnya. Beberapa saat panggilannya tak mendapat respon hingga Deon menyerah, dia meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali melihat berkas yang baru saja dia terima. Ada data yang harus dia cek dengan teliti, tidak boleh ada satupun yang lolos karena ini sangat penting. Semua bukti dan segala hal yang di perlukan ada di sana, Deon tersenyum puas, dengan ini dia bisa menekan semua pihak yang mulai membelot dari sisinya. Tidak ada lagi kebebasan yang sudah dia berikan beberapa tahun ini. Bedanya Deon akan bermain di balik layar kali ini, dia tidak mau terlalu mencolok memperlihatkan kekuatannya. Cukup orang kepercayaannya saja yang menangani masalah di lapangan. Biarkan Deon beristirahat dengan tenang. Menikmati hari-hari di balik layar sepertinya menyenangkan, tidak akan ada yang mengusiknya, walau jika dia keluar pun tidak akan ada yang berani mengusiknya. Namun satu hal yang Deon yakini. Jika dia keluar dan menunjukkan kembali taringnya, maka akan ada musuh dan penghianat lainnya yang datang untuk berusaha menggulingkan Deon. Entahlah, dia merasa hidupnya memang sebuah kesalahan, tidak ada hal baik untuk hidupnya, maka hanya ini yang bisa dia lakukan untuk sekarang. Malam semakin larut, beberapa file yang sudah dia pisahkan baru saja Deon kirim ke Andin, salah satu orang yang benar-benar bisa dia andalkan dalam hal ini wanita yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di luar daerah kini kembali dan memperkuat dirinya lagi. Yah tiga orang itu adalah orang kepercayaannya. Deon bersandar pada kursi kayu, dengan kepala mendongak menatap langit-langit kamarnya. Merasa jenuh dengan keadaan dia meraih ponselnya. Mengetik satu nomor yang sangat dia hapal dan langsung menghubunginya. Panggilan pertanian tak ada respon, mungkin wanitanya sudah tertidur karena hari sudah semakin larut. Bodoh saja karena berharap jika Ratna masih terjaga dan menjawab panggilannya. Namun baru saja Deon akan meletakkan ponselnya, benda itu bergetar dengan irama yang menandakan jika ada panggilan masuk, Deon pikir itu adalah orang yang pertama dia hubungi. Namun saat melihat nomor Ratna yang tertera di layar hitam putih itu membuat Deon tersenyum, secepat itu juga dia menerima panggilan dari wanitanya. "Halo..." "Hem..." Balas Deon dengan senyum tertahan dia ingin mengerjai Ratna dengan telpon teror dini hari. Namun saya, wanitanya bukanlah tipikal wanita bodoh yang akan takut dengan hal demikian. Karena setelahnya Deon mendengar dengkusan kasar dari Ratna yang membuat dirinya setengah mati menahan tawa. "Nggak usah ketawa!" "Siapa yang ketawa?" Tanya Deon dengan sebuah alis terangkat dan seutas senyum membingkai wajahnya, di suka mengganggu wanita seperti saat ini, hanya saja dia tidak yakin dari mana Ratna bisa menebak jika yang menelpon sekarang adalah dirinya. "Tau ah!" "Haha iya iya, maaf." "Nggak ada maaf untuk kamu." "Kok gitu?!" "Siapa uang nyuruh ninggalin hp kamu di rumah? Berisik! Aku nggak bisa tidur karena hp kami!" "Maaf, aku ambil sekarang." Ucap Deon hanya untuk memancing Ratna, tapi balasan Ratna setelahnya malah membuat Deon melotot seketika. "Ambil sekarang!" Setelahnya panggilan berakhir meninggalkan Deon yang hanya bisa terbengong seketika memandangi ponsel jadul di tangannya. Kesadarannya seolah menghilang. Dan apakah ini pertanda jika Deon di persilahkan datang malam ini, mengulang beberapa malam lalu yang pernah mereka lalui bersama. Ah ... Membayangkannya saja sudah membuat Deon tersenyum bahagia. Secepat itu juga Deon berlalu, menyambar Hoodie miliknya dan hanya mengenakan kaos oblong yang membalut tubuhnya. Deon tidak harus rapih hanya untuk bertemu Ratna. Karena malam juga sudah mulai larut, jadi lebih baik berpenampilan apa adanya saja. Toh Deon juga tidak pernah telaten untuk berpakaian rapih, apalagi dia akan terlelap setelah ini. Tangannya menyambar kunci mobil yang sudah lama tidak dia pakai, terlalu dingin jika berkendara menggunakan motor, jadi Deon memutuskan untuk menggunakan mobilnya, setidaknya itu lebih baik. Dengan langkah lebar dia melangkah keluar, masuk kedalam mobil dan menjalankan kendaraanya untuk melesat membelah jalanan yang terlihat lengan, malam larut tentu saja tidak akan ada yang berpikir untuk keluar dari rumah, banyak dari mereka memilih untuk beristirahat di rumah saja dari pada harus berpergian tengah malam seperti ini. Tak sampai dua puluh menit, Deon sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Ratna. Tak ingin menunggu lama dia langsung turun dan melangkah ke rumah itu. Suasana masih terlihat sepi, dan Deon tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang ada. Baginya Ratna adalah tujuannya kali ini. Deon berdiri sejenak di depan pintu rumah Ratna, tangannya menggantung untuk mengetuk pintu rumah. Namun urung, di memilih membuka pintu rumah itu dengan kunci cadangan yang dia bawa. Karena dari pengalaman yang ada, Ratna paling benci jika waktu rebahan ya diganggu. Wanita itu terlalu menghargai waktu istirahatnya. Setelah pintu berhasil Deon buka, dia melangkah masuk, tujuannya tentu saja kamar Ratna yang ada di sisi ruang keluarga. Perlahan dia membuka tuas pintu kamar wanitanya, membuka sedikit saja untuk melihat sosok yang ada di dalam sana. Deon tersenyum kecil saat mendapati tanya tengah duduk berselonjor di atas ranjang dengan buku di tangannya dan kaca mata baca yang membuat dirinya terlihat sangat menggairahkan. Deon meneguk ludah dengan kasar saat melihat kain yang membalut tubuh wanitanya, sungguh menggoda dan sangat indah. Bolehkan Deon menerkamnya sekarang? Hanya saja pikiran konyol itu dia enyahkan, jangan sampai dia terlihat bagai seorang maniak yang hanya memikirkan kebutuhan dirinya saja. Terlebih Deon sudah berjanji untuk tidak berbuat sesuatu sebelum mereka resmi, atau sebelum Ratna yang meminta seperti malam-malam yang sudah lalu. "Belum tidur?" Tanya Deon masih mengintip dari sela pintu kamar yang dia buka, kepalanya yang menyembul membuat Deon terlihat seperti orang bodoh. Ratna tidak menjawab, dia masih menekuni buku yang ada di tangannya, dan menganggap Deon selayaknya sosok tak kasat mata. "Ehem... Boleh masuk?" Tanya Deong dengan cengir khas dirinya. Namun kali ini usahanya sedikit berhasil saat melihat bagaiman Ratna menoleh dan menatap dirinya, walau hanya sejenak dengan isyarat mengiyakan dirinya masuk. Deon tersenyum lebar, ah sepertinya malam ini dia akan tidur dengan nyenyak. Terlebih tidur dalam dekapan kekasih hatinya. Sungguh hari yang sangat beruntung baginya. Bagi Deon tidak ada yang lebih indah selain bersama dengan Ratna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD