HmD 14 - Deon

2046 Words
HmD 14 - Deon Jika boleh jujur, Deon sudah malah berurusan dengan dunia seperti ini lagi, dia ingin tenang dengan segala hal yang dia miliki sekarang, kecintaan pada dunia seni, mengurus anak yang sudah beranjak remaja, melihat bagaimana nanti putrinya membawa seorang pria datang, semua terasa menyenangkan, tapi terlalu lama diam juga malah membuat para manusia tidak berguna itu berbuat seenaknya. Sudah banyak korban dari tindakan yang paling Deon benci sejak dulu. Terlebih mereka sudah mulai melanggar peraturan yang sudah dia buat sejak sangat lama. Tidak ada barang haram di wilayahnya. Kecuali sebatas minuman dan bar tempat mereka bersenang-senang, untuk obat-obatan terlarang Deon paling membenci hal itu bahkan dia akan turun tangan secara langsung untuk melihat dengan mata kelapanya sendiri dan member akan segala kekacauan yang ada. Dengan bibir bersiul riang, dia meniti anak tangga demi anak tangga hingga sampai di lantai dia. Tempat di mana perjudian semakin gila dengan tingkatan yang sudah luar biasa gila. Bahkan ada satu ruangan yang di khususkan untuk judi online yang saat ini tengah marak terjadi. Deon membiarkan mereka asal tidak ada tindak kecurangan yang mereka lakukan. Jika ketahuan sedikit saja. Maka selesai sudah semuanya di tangan Deon. Seseorang yang melihat kehadiran Deon tampak sedikit heran dengan penampilan orang yang sangat di segani di tempat ini, memang walau Deon tidak pernah berkecimpung di dunia gelap lagi, setelah beberapa tahun silam, tapi tetap kuasa dan namanya masih terdengar mengerikan di telinga para senior. Seperti halnya pria yang saat ini langsung membungkukkan tubuhnya saat melihat kedatangan Deon. "Bang!" Ucap pria itu dengan tubuh yang masih membungkuk. "Mana Iwan?" Tanya Deon dengan sangat santai, bahkan nada suaranya terdengar sangat bersahabat. "Di dalam, Bang." Deon mengangguk sebentar, dia melirik ke sekitar, menyapu tempat itu dengan sepasang matanya. Lalu menepuk pelan sosok pria yang masih membungkuk sejak tadi. "Gue masuk, jaga jangan sampek ada yang keluar ataupun masuk kedalam sebelum gue kasih tanda." Suaranya terdengar santai tapi ada keseriusan di sana, bahkan pria tadi sampai bergetar hanya mendengarnya saja. "I-iya bang!" Deon berlalu, meninggalkan pria tadi begitu saja, dengan Kedua tangan yang dia masukan kedalam saku celana Deon kembali bersiul, entah kenapa kegiatan ini selalu membuat adrenalin dalam dadanya begitu menggelora. Bahkan bibirnya tak mau diam sedari tadi, otot tangannya sudah lama tidak dia gerakkan, mungkin malam ini akan menjadi malam yang panjang dengan olahraga badan yang sudah lama tidak dia lakoni. Deon berdiri sejenak di depan pintu berukuran besar yang dia tahu menjadi ruangan milik Iwan, sejenak dia merapihkan rambutnya dengan tangan kanannya, lalu melihat penampilan jaket yang dia kenakan sebelum membuka tuas pintu itu. Suara musik terdengar begitu kuat saat dia membuka pintu itu, jelas karena ruangan Iwan terbilang kedap suara, sesuatu yang menjadi kelebihan Deon untuk bersenang-senang malam ini. Mereka tidak sadar jika ada sosok yang masuk kedalam ruangan itu. Deon tersenyum lebar saat melihat apa yang ada di hadapannya sekarang ini. Bahkan dia sampai bersiul panjang hanya karena terpukau dengan kemolekan dan pemandangan indah di hadapannya. Di mana ada enak orang wanita dengan tubuh yang hampir setengah telanjang, dua menari di sebuah tiang dengan gerakan sangat seksi, dan dua lagi tengah bergelayut manja di lengan Iwan, pria yang masih menikmati minumannya dengan pertunjukan yang sangat luar biasa. Belum lagi dua orang pria dengan masing-masing satu wanita di sisi mereka. Terlihat ada sebuah pesta perasaan di sini. Deon tersenyum lebar, dia menutup kembali pintu yang ada di belakangnya. Lalu dengan sangat santai dia berjalan masuk dengan dua tangan dia masukan ke saku celananya. "Wah wah wah, liat ini, ada pesta dan gue nggak di undang?" Ucap Deon dengan seringai di bibirnya. "betapa sedihnya gue yang tak pernah di anggap ini." Lanjutnya lagi dengan gurat sedih di wajahnya. Mereka, tak terkecuali Iwan yang mendengar suara Deon walau samar-samar menoleh, awalnya dia terkejut dan marah karena ada yang berani masuk kedalam ruangannya di saat acara penting sekarang ini. Namun setelah melihat siapa yang masuk, pria dengan codet besar di pipi bagian kirinya langsung bungkam dan beranjak cepat, bahkan dua wanita yang bergelayut manja tadi hampir terpelanting karena ulahnya. Berbeda dengan dua pria lainnya yang masih menatap bingung pada sosok Deon. Pria asing yang sama sekali tidak mereka kenali. "Siapa?" Tanya salah satu pria itu dengan rambut ikal pada Iwan yang masih menunduk patuh, tidak bergerak satu inci pun di tempatnya. Sedangkan Deon, pria itu memilih berjalan dan duduk tepat di sofa yang di duduki Iwan tadi, dengan dua wanita yang langsung dia rengkuh tanpa ada perlawanan. "Tega banget Lo, bang, pesta kagak ajak gue. Padahal Lo tau gue udah lama nggak pernah pesta." Ucap Deon sembari mengangkat kedua kakinya ke atas meja, dia duduk dengan posisi kaki lurus, yang di sambut baik oleh dia wanita tadi yang kini sudah memeluk dan mencium pipi Deon tanpa di suruh, seolah mengerti apa tugas dari dua wanita itu. "B-bukan gitu, Yon, gue malah nggak tau Lo bakal dateng." "Ya Lo nggak undang gue, mana gue tau di sini ada pesta." Kata Deon menggeliat kecil saat salah satu wanita itu menggerakkan jarinya di atas dadanya. Deon harus menahan diri untuk tidak marah, apalagi terbawa suasana, dia harus ingat apa tujuannya di tempat ini. Terlebih dia juga sudah berhenti untuk bersenang-senang dengan dunia yang hampir dia tinggalkan ini. "S-sorry...." Bisik Iwan lagi, yang di balas dengan dengkusan kecil oleh Deon. Dia menoleh, menyambar bibir wanita di sebelahnya, hanya sekilas untuk menekan sedikit amarah di kepalanya. Sedangkan dua pria di hadapan Deon hanya melihat dengan raut kebingungan, apalagi saat Iwan sama sekali tidak berkutik di sebelah Deon. Sosok yang terkesan ganas dan tidak kenal ampun nyatanya bisa diam bagai kerbau di cucuk hidungnya. Bagai seonggok sampah yang tidak berguna. Lagi Deon mendesah kecil, terlebih saat melihat dua wanita yang menari tadi berhenti karena ketakutan dan tidak tau apakah mereka masih boleh melanjutkan pekerjaan mereka apa tidak, mereka hanya menunggu perintah dari Deon dalam diam. "Kok pada berhenti? Lanjut lah, setidaknya kasih gue sambutan kek, biar hati adik kecil ini riang gembira gitu." Barulah setelahnya dua wanita tadi mulai menari seperti yang Deon perintahkan. Deon menoleh, menatap sejenak pada Iwan yang asih saja diam bagai batu di tempatnya. "Kecilin musiknya, gue mau ngomong sama Lo pada." Ucap Deon dengan santai, sebuah perintah yang tak bisa Iwan bantah, pria itu berjalan dengan perasaan yang tak menentu, terlebih kedatangan Deon sama sekali membuat dirinya tak berkutik, bahkan dia tidak sempat menyembunyikan sebuah barang haram yang ada di atas meja, sesuatu yang sangat Deon benci ada di wilayahnya. Dalam pikiran Iwan hanya berputar sebuah kejadian di mana dirinya akan mendapat sebuah siksaan lagi, hukuman yang setimpal saat dia mulai berani macam-macam. Iwan tidak pernah menyangka jika Deon akan kembali datang, setidaknya sudah sekian lama pria itu berhenti dari dunia gelap ini, ada informasi yang dia dapat, mengatakan jika Deon sudah benar-benar berhenti dan bertugas mengawasi saja. Lalu kenapa pria itu ada di sini sekarang. Dia mengecilkan suara musik yang memenuhi ruangan itu. Lalu kembali mendekat dan berdiri di sebelah Deon dengan perasaan takut-takut, bahkan dia tidak berani menatap Deon yang sedari tadi menatap empat bungkus kecil berisi serbuk putih berwarna putih serta beberapa alat yang di gunakan mereka. "Wah, kayaknya main Lo makin jauh sekarang ya, bang?" Deon menurunkan kakinya dari atas meja, melepaskan rangkulannya, dia memilih duduk dengan tubuh condong ke depan, satu tangan meraih satu bungkus di atas meja, lalu membawanya ke depan hidung dan menghirup dalam-dalam aroma anyir yang ada di dalam bungkusan itu. "Gila, nggak main-main dong!" Dia menoleh dengan seringai bahagia, mungkin sebagian mereka yang belum mengenal Deon hal itu adalah sebuah pujian yang benar-benar seperti pujian, karena tampang dan ekspresi Deon yang begitu terlihat sangat natural. Tapi bagi Iwan yang sudah mengenal Deon sangat lama, tentu saja itu adalah sebuah ancaman atau sekedar sindiran yang luar biasa, bahkan membuat sebelah kakinya gemetar. "Dapet dari mana, bang?" Tanya Deon lagi. Sayang, satu kesalahan di lakukan oleh Iwan hingga membuat Deon benar-benar jengah. "Bang? Gue dari tadi ajak Lo ngobrol btw. Kenapa Lo malah jadi kayak patung gini?" Tanya Deon dengan suara lirih membuat bulu halus Iwan meremang seketika. "I-itu, gue dapet dari pak Sukri dan pak Rudy." Ucap Iwan dengan nada ketakutan, bahkan dia sangat gugup dengan napas yang memburu cepat. Dua orang yang di sebut namanya tadi masih saja bungkam dan melihat suasana di depannya. Mereka masih belum mengerti. Terlebih kenapa Iwan terlihat sangat ketakutan padahal anak muda di depan mereka terlihat sangat enjoy. "Oh, i see, gue tau sih tanpa Lo ngomong juga." Jawab Deon sembari memainkan kantung kecil itu, dia melempar-lempar kecil bungkusan itu. Lalu kembali membanting punggungnya pada sandaran sofa, tak menunggu lama, dia wanita tadi langsung sigap memberi pelayanan untuk Deon, hanya saja mereka berhenti saat Deon mengangkat sebelah tangannya. "Jadi abang-abang ini yang udah pasok barang bagus ini di tempat bang Iwan?" Tanya Deon pelan. "B-bukan gi-" Iwan langsung bungkam saat Deon mengangkat jari telunjuknya ke udara isyarat agar Deon berhenti berbicara. "Jadi berapa banyak kalian masukin barang ke sini, bang?" Tanya Deon dengan santai, bahkan seringai liar masih mengambang jelas di wajahnya, dengan ekspresi yang terlihat sangat memuja barang itu. "Gue jadi mau beberapa buat pake sendiri." Lanjut Deon meneliti kantung di hadapannya. Dari segi kualitas jelas ini bukan kualitas kacang, melainkan kualitas unggul yang nggak bisa di ragukan lagi. Entah berapa untung yang Iwan dapatkan dari barang haram ini. Dasar b******n soalan! Di tanya seperti itu tentu saja membuat dua pria tadi saling tatap sebentar sebelum tersenyum sangat lebar, mereka menatap Deon dengan tubuh condong ke depan. "Nggak banyak, gue cuma kasih lima kilo untuk percobaan, dan ternyata sukses, jadi gue berencana untuk masukin barang ke tempat ini." Melihat bagaimana Iwan tunduk patuh, jelas sosok di hadapan mereka ini bukan orang sembarangan, di mata mereka mungkin Deon adalah atasan dari Iwan yang menurut banyak orang orang paling di takuti di tempat ini. Jika benar adanya, maka bisnis mereka akan berjalan sangat lancar, cukup memberi sedikit sogokan dan uang, pasti semua akan berjalan dengan mulus, begitu pikir mereka.. "Wah banyak juga ternyata, pantes rekening gue banjir duit bulan lalu." Ucap Deon sembari melirik kearah Iwan yang sudah berkeringat dingin di tempatnya. Deon menghela napas pelan, sepertinya sudah cukup bermain sandiwaranya, dia sudah muak dan ingin segera pergi dari tempat ini. "Jadi, bang Iwan? Bisa bantu gue jelasin apa aja yang nggak boleh masuk di wilayah gue. Dan apa jadinya kalau masih coba menentang keputusan gue?" Tatapan bersahabat tadi berubah menjadi tatapan tajam yang membuat tubu Iwan langsung merosot ke atas lantai. Seketika itu juga Iwan bersimpuh di kaki Deon. "Yon. Maafin gue, sumpah ini bukan kemauan gue. Mereka, ya, mereka yang memaksa gue melakukan ini." Ujar Iwan dengan nada panik, bahkan terkesan berlebihan. Hingga membuat dia pria di hadapan Deon saling tatap dengan kening mengernyit dalam, mereka masih belum paham dengan situasi ini. Deon beranjak, dengan santai dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu melirik ke arah Iwan sebentar. "Lo tau konsekuensinya kan? Jadi gue kasih pilihan sekarang. Lakukan sendiri apa perlu gue suruh orang untuk melakukannya?" Iwan menelan ludahnya keras-keras, dia menatap jari-jari tangannya yang masih utuh, berakhir sudah, tidak ada lagi kesempatan ataupun kata maaf lagi. "Saran gue, bang, mending lakuin sendiri, jadi Lo bisa bentuk sesuka hati Lo, dari pada orang suruhan gue, lebih nggak berperasaan!" Ucap Deon dengan kekehan pelan. "Oh ya, satu lagi, besok Lo, Lo, dan Lo." Telunjuknya menunjuk satu persatu pria di ruangan itu. "Transfer ke rekening biasa dengan nominal yang bakal gue kasih tau nanti." "Maksudnya apa ini!" Bentak salah satu pria yang kini sudah berdiri menantang di depan tubuh Deon. Sedangkan Deon hanya tersenyum miring dan mengabaikan pria itu. "Jadi tau kan apa yang mesti Lo lakuin buat beresin masalah ini?" Tanya Deon lagi yang di balas anggukkan oleh Iwan. "Waktu Lo sampek..." Deon melirik jam yang melingkar di tangannya. "Jam 7 pagi. Lewat dari itu Lo tau sendiri apa yang bakal terjadi." Deon melirik sebentar sebelum beranjak pergi dengan sangat santai. Namun saat sudah sampai di depan pintu dia menoleh, menatap Iwan yang masih saja bersimpuh di atas lantai. "Satu lagi, buang itu barang dan hilangin bukti kalo Lo masih mau aman!" Ancam Deon yang langsung berlalu dari sana. Satu masalah selesai, tinggal lihat bagaimana besok semua berjalan, apakah mereka akan menurut ataukah akan membangkang. Jika tidak menurut maka jangan salahkan Deon jika dia akan menghabisi mereka dengan tangannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD