HmD 13 - Deon

2109 Words
HmD 12 - Deon "Nggak pulang?" Deon mendongak sejenak dari ponselnya lalu kembali menekuni benda pipih di sana dengan jari yang dengan lihat mengetik sebuah pesan untuk seseorang, Ratna tidak tahu siapa dan dia tidak mau tahu, biarkan saja apa yang laki-laki itu lakukan selama dia tenang dan segera pulang, karena Ratna sudah lelah setengah hati ingin segera tidur. "Bentar lagi." Ujar Deon melempar ponsel berukuran kecil dengan logo apel bekas gigitan. Setelahnya dia bersandar dengan dua tangan menjadi bantalan kepalanya. "Udah jam sepuluh loh." "Iya tau, bentar lagi pulang." "Masalahnya aku ngantuk." Deon menoleh, melarikan tatapannya ke sepasang bola mata sayu milik Ratna, terlihat sudah mengantuk memang, dengan berat hati dia menghela napas pelan, lalu beranjak dari duduknya. Tangannya meraih jaket merah muda milik Rei dan menentengnya dengan tangan kiri. Deon berdiri sejenak hingga membuat Ratna harus mendongak agar bisa melihat wajah pria itu. "Ya udah aku pulang, kunci pintunya, jangan kebiasaan lupa." Barulah setelah itu dia melangkah keluar, di ikuti Ratna yang mengekor di belakangnya. Lagi Deon berdiri menjulang di depan pintu. "Tutup dan kunci baru aku jalan." "Iya! bawel banget astaga!" Sentak Ratna lalu menutup pintu dengan keras dan segera menguncinya. Dia melangkah masuk dengan langkah terseok, tujuannya kamar, bahkan setelah sampai tempat tidur dia langsung membanting tubuhnya dan mulai terlelap, rasa lelah membuat segalanya mudah, tidur pun tak butuh waktu lama untuk dirinya terlelap pulas. Mendengar bunyi pintu terkunci Deon terkekeh pelan, dia memastikan lagi dengan menggerakkan tuas pintu, lu setelah di rasa rumah benar-benar terkunci barulah Deon beranjak. Dia sudah sangat paham dengan kebiasaan Ratna yang terkadang lupa mengunci pintu, pernah satu malam Deon datang untuk mengantarkan makanan saat itu Ratna kelelahan dan Deon tidak tau jika wanita itu sudah tertidur lelap. Dia datang, mengetuk pintu dan memanggil namanya, tapi tak kunjung mendapat jawaban, dengan pikiran coba-coba. Deon membuka tuas pintu hingga pintu rumah Ratna terbuka dengan mudahnya. Hal itu membuat Deon terperangah seketika, bahkan saat tatapannya melihat sosok Ratna yang tertidur pulas di atas sofa membuat dia semakin geleng kepala. Kebiasaan buruk yang bisa menimbulkan masalah serius. Bukan sekali dua kali, Deon mendapati hal selama tiga kali berturut-turut, yang membuat pria itu mengambil kunci cadangan milik Ratna, bukan untuk berbuat jahat, melainkan untuk mengantisipasi hal yang seperti ini terulang lagi. Maka mulai saat itu Deon selalu memaksa untuk mengantar Ratna pulang, atau bahkan saat Ratna tidak bekerja, dia akan datang tepat jam 10 malam untuk memastikan kecerobohan Ratna tak terulang kembali. Kakinya melangkah pergi, dia tidak langsung membunyikan motor di depan rumah Ratna, tujuannya agar suara bising dari kenalpot racing miliknya tidak menganggu kenyamanan wanita itu. Maka yang Deon lakukan hanyalah mendorong motor itu hingga benar-benar jauh dari rumah Ratna dan mulai menghidupkannya. Dia menjalankan motornya dengan kecepatan yang lumayan, selain ingin segera sampai tujuan, Deon juga ini membunuh waktu dengan kesenangan masa muda dulu. Memacu kendaraan dengan puas hati, apalagi jalanan yang sudah terlihat sepi karena sudah mulai malam, membuat dia leluasa bergerak di sana. Tak ada yang menghalangi dirinya. Tujuannya bukan rumah, bukan juga studio tato miliknya, melainkan sebuah bar yang tak jauh dari studionya. Deon memarkirkan kendaraanya, lalu tersenyum lebar saat melihat penjaga bar yang tengah duduk dengan menikmati sebatang rokok. "Woy bang! Tumben di luar?" Sapa Deon dengan seringai lebai, dia mengepalkan tangannya lalu mengangkat setinggi d**a yang di sambut oleh penjaga bar. Oyon namanya, pria yang selalu Memberi pelayanan terbaik untuk motornya. Mereka beradu kepal dengan pelan, kebiasaan yang selalu mereka lakukan untuk menggantikan sebuah jabat tangan, salam damai kalau kata Deon. "Lagi cari angin!" Balas Oyon dengan senyum lebar. Dia menatap tak percaya pada Deon yang sudah lama tidak memperhatikan Batang hidungnya di tempat ini. "Tumben jam segini dateng? Udah lama Lo nggak pernah keliatan lagi?" Deon terkekeh pelan, dia menatap pintu bat milik salah satu temannya itu dengan senyum lebar, yah sudah hampir lima bulan dia tidak menghabiskan malamnya di tempat ini, tempat yang memberikan dirinya kesenangan masa dulu, saat dirinya masih ingin bebas dan berniat semua hal yang dia inginkan. Wanita, minuman, dan kebebasan yang benar-benar bebas. Deon tidak munafik, terbiasa hidup di jalanan dari usia muda membuat jiwa dalam dirinya sulit untuk di kendalikan. Mungkin hal itu juga yang membuat mantan mertuanya memaksa dirinya menyelesaikan hubungan dirinya dengan ibu Rei. Karena Deon masih berpikiran labil dengan segala hal yang dia lakukan. Deon egois saat itu, di kepalanya hanya ada kesenangan tanpa peduli orang sekitarnya. Dan hak itu berlanjut sampai Rei beranjak remaja. Bahkan kelakuan busuknya di ketahui oleh Rei. Tak ada larangan dari putrinya, dan beruntung, Rei tidak mengikuti jejaknya. Putrinya hanya mengikuti salah satu hobinya, menguasai jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, itulah kenapa koleksi Rei terlalu banyak ke sebuah kendaraan beroda dua dengan kaliber kecepatan yang luar biasa. Deon tak masalah dengan itu. Asal Rei tidak mengikuti jejak dirinya merusak diri. Semua hal yang Rei lakukan akan dia dukung dengan senang hati. "Ada banyak urusan, lagian gue udah mulai berhenti." "Hah? Apa? Gue nggak salah denger?" Inilah yang selalu Deon dapatkan tiap kali dia mengatakan akan berhenti merusak diri. Mereka tidak akan mudah percaya dengan keputusan Deon, kecuali dua sahabatnya yang selalu berada di sisinya, Geri dan Roy. Deon terkekeh pelan, dia menatap pintu bar yang terlihat ramai dengan beberapa orang yang antri untuk masuk kedalam. "Lukas ada?" Tanya Deon lagi sembari menoleh, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu bungkus rokok dari sana. Mengambil satu batang sebelum menyulutnya dan menghisap candu yang sampai detik ini belum bisa dia tinggalkan. "Rokok?" Tawar Deon yang di balas dengan tatapan aneh dari Oyon. "Becanda? Gue lagi ngerokok Lo tawarin?" "Ya kalo mau ngisep dua batang kan?" "Mana ada gila!" Deon terkekeh pelan, dia menyelipkan batang rokok di sela jarinya. "Gimana, Lukas di dalem?" Oyon terlihat menghela napas pelan, dia kembali menyesap rokoknya sebelum menghembuskan pelan dan menggeleng pelan. "Lagi ada masalah." Ucapnya pelan. Deon sudah memastikan hal ini, terlebih pria itu yang mengirim chat untuk datang ke tempat ini agar membantu dirinya. Dan di sinilah sekarang Deon berada. Dia memilih duduk di sebelah Oyon, menunduk dengan kedua siku menopang tubuhnya di atas kedua paha. "Siapa?" Tanya Deon tanpa basa basi. Dia menerima kabar jika Lukas mendapat sebuah fitnah dan di jebak oleh salah satu pesaing bisnisnya, dan hal itu tidak bisa di tolerir lagi oleh Deon, padahal dia sudah menekankan jika ingin berbisnis di wilayahnya harus bersih dan bebas dari segala hal yang bisa merusak namanya. Dia sudah terkenal dengan kedisiplinannya bahkan banyak orang yang "keras" tunduk takut pada dirinya. "Nggak perlu gue sebut Lo pasti udah tau." Yah Deon sudah bisa menebaknya, matanya jelas ada dimana-mana, segala informasi dengan mudah mengalir di telinganya, jadi tidak heran jika dia bisa mengetahui segala hal yang menurutnya akan menjadi diri dalam daging di wilayahnya sendiri. Deon berdiri, lalu menyesap kembali asap candu di tangannya dan menghembuskan pelan, sebelum membuang puntung itu dan menginjaknya dengan pelan. "Hp lo mana?" "Buat apa?" Tanya Oyon dengan kening mengernyit heran. "Buat nelpon." "Lah hp lo kemana? Nggak ada pulsa?" "Senagaja gue tinggal?" "Dih, ngerepotin aja!" Dengkus Oyon tak urung merogoh saku celananya dan mengulurkan ponsel yang baru saja dia ambil. "Satu menit gocap!" "Aelah, mahal amat buset, macam rentenir aja Lo!" "Iya lah, miskin gue kalo dermawan Mulu!" "Iye deh iye, sebebas lo ae!" Deon menyambar ponsel sederhana keluaran jaman 2010 silam, ponsel Nokia dengan layar yang masih hitam putih, dia mengetik nomor yang sangat dia hapal di kepalanya, lalu menempelkan ponsel kecil itu di telinganya. Tak lama setelahnya panggilannya terhubung. "Apaan Yon? Lagi sibuk gue?" "Dimana?" Tanya Deon tak basa basi yang membuat sosok di sebrang sana terdiam seketika. Dia mengenal suara itu, dan dengan cepat menyaut kalimat Deon. "Di studio." "Dengerin baik-baik, gue cuma ngomong satu kali, setelah itu kerja!" Kata Deon dengan nada yang tak main-main, sosok yang di sebrang sana langsung meletakan alat tatonya dan beranjak menjauh. "Kumpulin anak-anak, cari si cebol sampek dapet, waktu Lo... " Deon melirik jam yang melingkar di tangannya. "Sampek jam 4 pagi, telat atau gagal, nggak makan satu bulan Lo pada!" Setelahnya dia memutuskan panggilan telpon dan melemparkan benda pipih itu pada Oyon. "Duitnya minta Lukas. Bilang gue yang nyuruh." Ujarnya dengan santai, tangannya dia masukan kedalam saku celana dan beranjak pergi dari sana. "Bilang sama Lukas nggak usah sembunyi, terus besok suruh Dateng ke studio." Lagi Deon berkata dengan enteng seolah tak terjadi apa-apa, dia beranjak pergi dengan motor yang selalu menjadi tunggangannya kemana-mana. Jaket merah muda milik Rei pun dia kenakan dengan sangat nyaman. Suara deru kenalpot racing milinya menggelegar hingga menjadi pusat perhatian orang yang ada di sana. Deon tak peduli, dia harus segera pergi sebelum malam kian larut,ada satu tempat yang harus dia kunjungi. Motor dengan CC 250 itu membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, dia menuju ke sebuah lokasi gedung tua yang tak pernah di tempati lagi selama sepuluh tahun belakangan, namun siapa sangka gedung itu menjadi sebuah tempat perjudian yang cukup besar di daerah Deon. Dia masuk dengan pelan, gerbang reyot yang hampir roboh menjadi sebuah pintu masuk satu-satunya gedung dengan bangunan tiga lantai itu. Tujuannya jelas tempat parkir lantai bawah. Yang ada di bagian belakang gedung. Bahkan saat masuk lorong dirinya di cegat oleh dia orang yang menjaga gerbang itu hingga harus mematikan motornya sejenak. Deon membuka kaca helmnya sejenak. Lalu melepas helmnya dan memangku tepat di teng motonya. Ditatapnya dua orang yang kini menunduk saat mengetahui siapa Deon, bergantian. "Dimana Iwan?" Tanya Deon dengan nada santainya. Dua penjaga tadi saling tatap sebentar sebelum satu diantara mereka mengangguk pelan. Dan satunya lagi menatap Deon sebentar lalu menunduk lagi. "Di lantai dua." Deon terdiam, jarinya mengetuk teng dengan ketukan pelan. Dia menimbang-nimbang sebelum memilih turun dan melemparkan helm miliknya pada penjaga tadi. "Urus baik-baik, sampai ada lecet, liat ada Lo pada." Setelahnya dia beranjak masuk. Penampilan yang sungguh tidak mencerminkan dirinya adalah penguasa tempat ini, dengan jaket merah muda tentu saja menurunkan derajat seorang Deon. Bahkan banyak pasang mata dari pria berwajah serang hingga berdasi menatap aneh kearah dirinya. Deon tidak peduli. Kakinya melangkah santai dengan bibir bersiul santai menuju sebuah tangga yang akan membawa dirinya ke lantai atas. Di sisi tangga terlihat dua penjaga lagu yang menjegal Deon, membuat kening Deon mengerut dalam, dia menatap dua wajah yang menurutnya asing di matanya. "Mau kenapa?" Dia menatap salah satu pria botak di sisi kanannya dengan sebelah alis terangkat. Oke sepertinya ada sedikit permainan di sini. "Lantai dua." "Ada urusan apa?" "Main." Jawab Deon dengan nada bercanda dan cengiran kecil di bibirnya. "Jangan bercanda!" Sentak si botak dengan suara keras dan menggema. "Ini bukan tempat sembarangan, hanya orang tertentu yang boleh naik ke lantai dua!" "Wow!" Deon seolah memasang tampang terkejut, dia tersenyum miring. Sepertinya dia orang itu belum mengenal siapa Deon si tempat ini. "Makin penasaran, ada apa si. Di lantai atas, ada banyak lon-te kah?" Tanya Deon dengan santai. Seolah tahu apa yang ada di sana. "Lo!" Geram di botak dengan telunjuk mengarah padanya. "Balik atau habis sama gue di sini!" Deon mengangkat sebelah alisnya, dengan bertepuk tangan keras. Sungguh luar biasa dua penjaga ini, tidak adakah peluang untuk dirinya masuk. Deon mengedarkan pandangannya, saat melihat sosok yang begitu dia kenal sebagai kaki tangan pemilik tempat ini, Deon berteriak dengan sangat keran. "Baron! Sini Lo!" Mendengar itu, pria bertubuh kekar itu langsung menoleh, bukan hanya pria bernama Baron, bahkan seisi ruangan itu ikut menoleh kearah Deon yang berteriak hingga suaranya menggema di tengah hiru pikuk manusia bodoh yang menghabiskan uangnya dengan hal konyol seperti berjudi. So botak yang melihat tingkah Deon memanggil salah satu kaki tangan bosnya langsung bingung, apalagi saat pria bernama Baron tadi lari tergopoh-gopoh kearahnya. "Bang deon, tumben Dateng?" Tanya Baron dengan nada ramah, berbanding terbalik dengan wajah seram yang dimilikinya. "Nggak langsung naik keatas aja bang?" Lanjutnya lagi. Deon tersenyum miring, di tatapnya dua orang yang menjegal dirinya tadi, terutama si botak yang memasang raut kebingungan. "Denger kan?" Tanya Deon santai, "Jadi minggir." Lanjutnya lagi, membuat si botak mau tak mau menyingkir, hingga membuat Baron menatap si botak bingung. Deon tersenyum sembari berjalan menaiki tanggam namun di anak tangga yang ke lima dia berhenti, lalu menoleh kearah Baron yang segera menunduk karenanya. "Kasih tau dia cecunguk ini siapa gue. Jangan sampek kejadian kayak gini ke ulang lagi. Ngerti Lo. BARON?!" suara berat dan terdengar begitu menekan itu membuat Baron mengangguk patuh. Bahkan berkali-kali dia mengucapkan kata maaf pada Deon karena kecerobohannya. "Kasih hadiah ke dua orang cecunguk ini, suruh dia cuci motor gue sekarang!" "Siap, bang!" Balas Baron dengan cepat sebelum masalah semakin runyam. Dia yak ingin Deon marah dan membuat masalah di tempat ini. Karena kemarahan Deon tentu saja menjadi kerugian untuk dirinya dan juga Iwan. Lebih baik menuruti kemauan Deon dari pada semuanya berakhir dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD