HmD 12 - Deon

2006 Words
HmD - Deon Jam baru saja menunjukan pukul 9 malam, Deon baru bisa keluar dari rumah saat Lika dan Laksa baru saja pulang, itupun harus dia usir terlebih dengan sindiran kasar dulu, jika tidak mungkin dua orang itu bisa saja menginap di tempatnya. Dasar sahabat tidak tahu di untung, sudah di beri fasilitas gratis di vila miliknya masih saja ingin berlama-lama di rumahnya. Deon mengendarai motornya dengan tergesa-gesa, dia harus segera sampai di tempat tujuannya sebelum Ratna, wanitanya meninggalkan dirinya jika terlambat sedikit saja. Wanita itu memang disiplin dan tak ada toleransi sedikit pun jika Deon melewatkan kesempatan yang Ratna berikan. Tak sampai lima belas menit Deon sudah sampai di tempat dia selalu menjemput Ratna. Bukan di toko milik wanita itu. Alasannya agar tidak menimbulkan konflik. Masalah itu Deon gak ambil pusing. Yang penting bisa bersama dengan wanitanya juga sudah cukup. Apakah meluluhkan hati Ratna itu ibarat melelehkan batu yang sangat keras. Harus perlahan demi perlahan agar semua bisa terurai dengan sempurna. Apalagi ada sebuah tembok yang di bangun dengan sempurna oleh Ratna karena masa lalunya. Sungguh butuh perjuangan lebih hanya untuk meluluhkan hati seorang Ratna. Deon menepikan motornya. Dia menyapu pandangan untuk melihat di mana Ratna menunggu dirinya. Biasanya wanita itu akan menunggu di halte tak jauh dari tokonya. Selain menghindari tertangkap basah oleh karyawannya, Ratna juga tak ingin menimbulkan fitnah dari hal itu. Seutas senyum terukir dengan sempurna di kedua sudut bibir Deon saat melihat sosok Ratna masih duduk di salah satu kursi halte dengan memeluk tas miliknya. Kebiasaan yang Ratna lakukan tiap kali menunggu dirinya. Perlahan Deon menjalankan motornya. Lalu dia memilih turun dari motor dan berjalan mendekat. "Udah lama?" Tanya Deon, tubuhnya menjulang tinggi di hadapan Ratna, membuat wanita itu harus mendongak untuk menjangkau wajah Deon. Sesaat Ratna terdiam, lalu saat menyadari jika itu Deon, barulah dia beranjak berdiri. Di raihnya tas yang dia peluk tadi dan berlalu kearah motor yang Deon bawa. Dahinya mengernyit saat mendapati motor yang terlihat asing di matanya. Ratna menoleh, dengan alis berkerut seolah menanyakan, "mana motor biasanya." Deon terkekeh. Dia berjalan melewati Ratna, mengambil satu helem Bogo kesayangan dan khusus untuk Ratna, lalu tanpa menunggu lagi Deon langsung mengenakan helm itu di kepala Ratna. "Motor biasanya udah aku balikin di mang Somat. Sementara pake motor ini nggak papa kan?" Ratna terdiam sesaat. Dia melihat lagi motor cross milik Deon dengan seksama sebelum menatap pria itu sebentar. "Serius?" Deon mengangguk pasti dengan senyum yang masih tertahan. "Serius dong, dari pada nggak ada." "Nggak usah aja berarti. Aku nggak mau naik motor tinggi macam ini." Tukas Ratna dengan nada keras yang membuat Deon meringis kecil. Dia jelas paham Ratna bukan tipikal wanita mewah yang mengandalkan kemewahan dari pada kenyamanannya, bagi Ratna naik motor tinggi dengan ukuran tubuh yang terbilang pendek tentu saja musuh bebuyutan. "Tapi nggak ada lagi loh, cuma ini. Mobil aja mau?" Ratna menggeleng pelan, tidak mobil tidak motor, dia hanya ini pulang dengan motor biasa yang tidak terlalu mencolok, apalagi mulut tentang adalah biang masalah. Tajamnya bahkan lebih tajam dari silet, dan luka sayatan karena ucapan tetangga itu lebih parah dari pada sayatan pisau sekalipun. Bukan fisik yang di serangnya, tapi mental, dan Ratna benci hal itu. "Terus gimana? Aku nggak ada motor lain loh." "Makanya cari yang biasa aja." Rutuk Ratna dengan nada ketus yang membuat Deon bungkam. "Udah aku ngojol aja." "Eh, mana bisa gitu, nggak ada! Aku loh udah jemput kamu ke sini." "Nggak ada yang nyuruh." Skak, Deon tak bisa berkutik, karena nyatanya dia sendirilah yang memaksa untuk mengantarkan Ratna malam ini. Cuma apa ya salah kalau nyatanya dia memang nggak punya kendaraan yang menurut Ratna nyaman. "Ya udah sih, kali ini aja pake motor ini, ya ya ya. Besok aku beli deh, yang ini jual aja, dari pada kamu nggak suka." "Terserah, intinya bukan aku yang nyuruh." Habis sudah, rasanya Ratna terlalu memperpanjang masalah seperti ini, seolah apa yang Deon lakukan itu selalu salah. Tiap langkah yang dia pijak selalu saja menjadi momok untuk dirinya sendiri. Apalagi hujatan Ratna yang terkadang tembus ke dalam hatinya. Jika mereka di luaran sana akan senang dengan apa yang Deon berikan, tidak dengan Ratna, wanita itu selalu saja mempermasalah apapun yang ada pada dirinya. "Terus gimana?" Tanya Deon dengan tatapan bingung. "Aku ngojek aja." "Eh ya jangan gitu lah." "Ya terus gimana? Aku nggak mau ya naik motor tinggi kayak gitu." Berpikir, ayolah berpikir jangan sampai Ratna benar-benar naik ojek dan dia harus mengurangi di belakangnya, minta tolong mang Somat pun rasanya percuma, hari sudah malam dan di jamin pak Somat sudah beristirahat di rumahnya. Menghubungi dua sahabatnya pun percuma juga, karena dia orang itu jelas tidak memiliki motor standar seperti milik mang Somat. "Kelamaan, aku ngojek aja!" Tukas Ratna sembari merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya, dia membuka salah satu aplikasi yang selalu dia gunakan di saat kondisi genting sekalipun. Saat itulah muncul ide di benak Deon, tepat saat Ratna membuka aplikasinya. "Biar aku aja." Ujar Deon, dia merebut ponsel Ratna, lalu membuat satu orderan yang mendapat tatapan tajam dari Ratna. "Apa-apaan sih!" "Udah diem dulu deh. Percaya sama aku." Deon sibuk dengan ponsel milik Ratna, sedangkan wanita itu memilih diam dan membiarkan Deon melakukan apapun yang dia suka. Terserah, Ratna sudah terlalu malas berpikir atas tindakan Deon. Melihat Ratna yang diam saja. Deon iseng, setelah memesan orderan, dia melarikan jarinya untuk membuka aplikasi chat milik Ratna, perlahan, dia tertegun sejenak saat melihat isi chat di dalam sana hanya ada lima orang dan salah satunya adalah nomor ponsel miliknya. Deon meringis kecil, dia tidak menyangka jika Ratna akan melakukan hal ini. Padahal Deon pikir Ratna memiliki banyak kenalan yang mungkin salah satu diantaranya menyimpan rasa terhadap Ratna. Tak sampai di sana, dia juga mencoba melihat isi kontak Ratna, dan seperti dugaannya, setelah beberapa saat mengotak atik isi ponsel Ratna, Deon sama sekali tidak menemukan sebuah keanehan yang ataupun nomor janggal lainnya. Ratna tipikal orang yang malas berhubungan dengan siapapun itu sepertinya. "Udah?" Deon tersentak saat kegiatannya di ketahui oleh Ratna. Dia meringis kecil tak urung mengulurkan ponselnya pada Ratna yang langsung di sambar begitu saja oleh ratna,. "Udah, barusan aku order buat kamu." "Udah cek ponsel orang sembarangan?" Deon membuang wajahnya, tentu saja dia tidak tahu apakah harus jujur atau tidak, dia seolah tertangkap bahas saat memeriksa ponsel Ratna. Dan ya, mau tak mau Deon harus mengakuinya. "Maaf...." "Abaikan." Jawab Ratna santai lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Tak lama sebuah pengendara dengan atribut ojek datang menghampiri mereka. Sosok itu membuka kaca Helmnya dan menatap kedua orang yang tengah menunggu. "Atas nama ibu Ratna?" Tanya si pengemudi dengan senyum ragam. Melihat itu Deon langsung maju terlebih dahulu dan berdiri di hadapan Mak ojol. "Mang. Gini, tadi itu saya mau antar pacar saya pulang. Nah kebetulan pacar saya ini nggak mau naik motor saya, jadi saya order." "Oalah. Iya saya paham, ya udah langsung aja yuk. Mas ngiringin di belakang saya kan?" Tanya mang ojol dengan dim taunya. "Eh bukan gitu mang, tapi gini maksud saya itu. Mamang paket motor saya nah saya sama pacar saya pinjem motor mamang. Nanti mang ojol ikutin saya di belakang gitu. Gimana?" Bukan hanya mang ojol yang terlihat kebingungan, pun dengan Ratna yang hanya menatap Deon dengan kernyitan di dahinya. Apa lagi akar yang Deon lakukan sekarang. Seolah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan sama sekali. Padahal tidak perlu segitunya pun Ratna tetap akan naik ojek kan. "Nanti saya kasih tips lebih deh, oh ya bisa bawa motor kupling kan?" "Ya bisa sih mas, tapi gimana ya?" Mang ojol yang terlihat masih muda itu kebingungan, dia tidak yakin dengan apa yang di minta oleh Deon. Bukan tidak percaya, tapi lebih ke tidak tidak enak, apalagi motor Deon terlihat mahal. "Udah nggak papa mang. Kalo nggak percaya sampean boleh bawa KTP saya sebagai jaminan, saya nggak nipu kok." Ujar Deon yang langsung mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana, dia mengeluarkan KTP dan satu lembar uang berwarna merah yang kemudian di ulurkan pada mang ojol. Driver ojol hanya menatap tak percaya, bukan hanya dia, pun dengan Ratna yang menggeleng pelan saat melihat tingkah dan usaha Deon yang terlalu berlebihan untuk dirinya. Dia tidak tau harus berbuat apa, karena baginya Deon terlalu menunjukkan sesuatu yang sama sekali tidak pernah dia dapat sebelumnya. Deon memang pemaksa, egois dan semaunya sendiri. Namun di balik itu semua Ratna bisa melihat bagaimana usaha Deon yang tak pernah lelah untuk mendekati dirinya. Padahal jika di pikir Ratna menganggap biasa saja. Mereka belum berpacaran, ataupun menjalin kisah asmara, tapi Deon sudah menganggap jika mereka memiliki sebuah hubungan. Terserah apa kata Deon. Asal dia tidak berbuat nekat, Ranta menganggapnya biasa saja. "Eh, nggak usah mas. Ya udah nggak papa deh, saya ikuti mas dari belakang aja." Jawab driver ojol yang kebingungan dan menyerah karena kegigihan Deon. "Loh, nggak papa mas, buat jaminan aja." "Nggak usah mas, saya percaya kok." Jawab driver ojol yang memilih turun dari motornya, dia tersenyum, karena merasa dirinya juga pernah ada di posisi costumer ini. "Ya udah kalo gitu saya iringi mas dari belakang kan?" "Iya." Deon mengangguk lalu mengulurkan kunci motornya pada driver ojol. "Ini kuncinya mang." Driver ojol menerimanya dan berjalan kearah motor milik Deon. Sedangkan Deon, dia menoleh pada Ratna dengan cengiran yang membuat wanita itu hanya menghela pasrah, tak urung dia mendekat lalu seperti biasa. Dia akan diam dan menurut. Duduk di jok belakang dan membiarkan Deon mengantar dirinya sampai rumah seperti biasanya. Bahkan membiarkan dan menurut saat di perjalanan Deon memaksa dirinya untuk memeluk laki-laki itu. Ratna membiarkan semua yang Deon lakukan untuk dirinya. Di sepanjang perjalanan Ratna memilih diam, hanya Deon yang mendominasi percakapan, atau lebih tepatnya berbicara sendiri karena Ratna enggan menjawab tiap pertanyaan yang terlontar, hingga akhirnya saat Deon merasa dia diabaikan, barulah dia melakukan kegiatan gabut seperti biasanya. Menyanyi di sepanjang jalan dengan suara keras yang berhasil mengundang tatapan pengemudi lain. Mereka melihat dengan tatapan aneh, bak seorang yang sedang kasmaran, Deon tak ubahnya seperti abege yang baru mengenal cinta. Setelah sampai, Deon menepati janjinya, dia memberikan uang seratus ribu pada driver ojol tadi, yang di sambut dengan gembira. Lumayan, penutupan dapat rezeki nomplok. Setelah berbasa-basi sebentar, driver pamit undur diri, sedangkan Deon masih ingin berlama-lama dengan Ratna. Dia ikut masuk kedalam rumah kecil milik wanita itu, tidak ada orang lain di rumah, hanya Ratna sendiri yang menepati rumah itu. Menghindari gosip yang tak enak di dengar, Ratna sengaja membuka pintu rumah lebar-lebar dan setelahnya dia masuk kedalam kamar untuk ganti baju. Seperti tuan rumah yang baik hati, setelah mengganti pakaian pun Ratna masih menyempatkan diri membuatkan kopi untuk Deon. Sesuatu yang selalu Deon sukai, Ratna boleh saja cuek pada dirinya. Namun masih ada hal lain yang membuat Deon betah dengan Ratna. Tentu saja sikap peduli yang dimiliki wanita itu tak bisa di anggap sembarangan. "Makasih." Ucap Deon dengan senyum lebarnya. "Hem. Pulang jam berapa? Udah malem." Seperti biasa, Ratna selalu saja mengusirnya dengan kode keras yang membuat Deon hampir tersedak saat menyeruput kopi yang masih sedikit panas itu. "Baru juga sampek." "Udah malem." "Bentar doang. Laper aku tuh." Padahal jika di pikir Deon baru saja makan di rumah dengan kedua sahabatnya tadi, tapi entah kenapa setiap kali ada di rumah Ratna, Deon selalu ingin makan bersama dengan wanita itu. "Pulang." "Lah, nggak di tawari makan gitu?" "Boros beras, aku belum belanja juga." "Yaelah, dikit doang. Mie instan deh." "Nggak ada, di bilang belum belanja juga. Lagian nggak usah mie malam-malam nggak sehat." "Ya udah nasi goreng yang sering lewat aja ya?" Deon sangat hapal dengan mama g oe jual nasi goreng keliling yang selalu lewat di depan rumah tanya karena sering makan di rumah Ratna. "Aku kenyang." "Kapan makan? Kayaknya belum ada makan." "Tadi di toko." "Bohong, makan lagi. Nanti aku pesenin." Sekali lagi Ratna hanya bisa menghela napas pelan. Deon dan sikap keras kepalanya. Tak lama berselang, dugaan Deon benar adanya. Mamang penjual nasi goreng keliling pun lewat, pria itu langsung menghentikan penjual, dan memesan dua porsi nasi goreng. Satu pedas, dan satu paket ati ayam. Karena Deon paham Ratna suka dengan ati ayam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD