Tiiin tiiiin....
Suara klakson mobil membuat langkah mereka tertahan. Keduanya menoleh ke sumber suara. Tepatnya di luar sana, ada mobil yang masuk dan kini terparkir ke halaman rumah.
“Itu pasti majikan gue pulang. Biar gue samperin dulu.” Milka berjalan menuju ke pintu.
“Trus gue gimana?”
“Sini! Ikut gue! Biar gue kenalin sama majikan gue!” ajak Milka.
Je membalikkan badan dan berjalan mengikuti Milka menuju teras.
Deg!
Jantung Je seakan berhenti berdetak melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. Kaca depannya retak membentuk bulatan dan melebar hingga seperti sarang laba-laba.
Ya Tuhan, malapetaka apa lagi ini? Kenapa dunia begitu sempit? Haruskah Je dipertemukan dengan pemilik mobil itu?
Seorang lelaki turun dari mobil.
Untuk kedua kalinya Je terkejut, tubuhnya semakin gemetaran meihat sosok yang muncul dari mobil. Kakinya seperti tak bertulang. Andai tadi ia tidak makan sate sebagai penambah energi, tentu tubuhnya sudah roboh saat itu juga. Dunianya yang tadi terasa sempit, kini lebih sempit lagi. Lelaki itu, Justin.
Diantara banyaknya manusia di Jakarta, kenapa harus Justin?
Tak salah lagi, Justinlah yang berseru memanggilnya saat insiden kaca mobil terkena lemparan botol.
Je beringsut sembunyi di balik tubuh Milka. Dunianya seakan runtuh.
Justin berjalan mendekat. Suara sepatunya yang keras mengetuk-ngetuk lantai, rasanya seperti genderang yang dipukul untuk memulai perang.
Je berbisik di telinga Milka, “Siapa itu?”
“Mas Justin Arwana. Tuan rumah.”
What?
Alamak, apa salah dan dosa Je? Kenapa nasibnya buruk sekali?
Awalnya Je berusaha menenangkan diri, semoga Justin hanyalah orang yang bertamu, atau salah alamat, tapi harapannya sirna berbaur dengan kenyataan yang ada. Terbayang sudah kemurkaan Justin padanya. Itu lebih mengerikan dari amukan badai.
Justin menghampiri Milka, lalu berkata, “Milka, suruh Tanto parkirkan mobil ke garasi,” perintahnya sambil menyerahkan kunci mobil ke Milka.
Milka menerima dan mengangguk patuh.
“Tas siapa itu?” Justin menunjuk tas yang dipegang Milka. Sepertinya ia pernah melihat tas itu, tapi kapan?
“O iya Mas, ini tas saudara saya. Seperti yang udah saya beritahukan ke Mas lewat telepon tadi, saudara sepupu saya mau numpang di sini menjelang dia dapet kosan baru. Kedua orang tuanya udah meninggal dan dia nggak punya tempat tinggal, Mas.”
Justin mengangguk.
“Ini dia, kenalin...” ucapan Milka terputus saat menoleh ke belakang dan Je tidak ia temukan. Menghilang entah kemana.
Justin menatap ke belakang Milka dan tidak mendapati siapa-siapa di sana.
“Eh.. Mungkin saudara sepupu saya udah masuk duluan.”
Justin tidak perduli dan melenggang masuk ke dalam rumah. Ia langsung ke dapur mencari minuman dingin di kulkas. Kepalanya terasa panas akibat kesal berbaur marah setelah mobilnya dipecahkan oleh orang tak dikenal yang kemudian ngacir melarikan diri.
Justin berjalan memasuki ruang kerjanya.
“s**t!” Justin mengumpat keras melihat ruang kerjanya berantakan, seperti baru saja diserbu ratusan tikus.
Kertas-kertas berserakan di lantai, telepon juga tidak di tempatnya, gelas menggelinding di kursi.
Justin berjalan mengitari ruangan sembari geleng-geleng kepala, keheranan. Hanya ada tiga tersangka, Milka dan dua satpam. Tapi Justin tidak yakin dengan tiga orang itu. mereka adalah rang kepercayaan yang sudah tidak diragukan lagi. Untuk memastikan apakah ada barang yang hilang, Justin membuka laptop dan meneliti sesuatu di sana.
Je yang bersembunyi di balik lemari, sibuk merapal doa agar posisinya tidak ketahuan. Aksi larinya yang tunggang-langgang demi menghindari Justin tadi, membuatnya terperangkap di ruangan itu.
Begitu membuka pintu ruangan kerja itu, ia langsung menubruk apa saja yang ada di hadapannya hingga proses tabrakan beruntun yang mengerikan tidak dapat terelakkan. Akibatnya, seperti yang terlihat sekarang. Ruangan kacau.
“Malaikat baik, kumohon hadirlah!” bisik Je dengan mata terpejam, berharap benar-benar ada malaikat datang menyelamatkannya. Sepertinya Tuhan mengabulkan doanya. Malaikat dalam pikirannya benar-benar muncul. Ia merasakan sapuan hangat napas malaikat itu yang menyapu wajahnya.
Je membuka mata dan terkejut saat melihat wajah di hadapannya. Bukannya malaikat, tapi ekspresi sadis Justin yang siap melahapnya mentah-mentah.
O ow...
Ketahuan!
Gleg! Je menelan saliva seperti menelan bongkahan batu, rasanya sakit.
Tolooooong...!
Je tidak bisa berteriak. Seruannya tertelan dalam hati. Tatapan Justin benar-benar membunuhnya.
Rekaman cctv yang baru saja Justin lihat di laptop, memudahkan Justin menemukan dalang dibalik hancurnya ruang belajar sekaligus digunakan sebagai ruang kerja.
“Kau?” Tangan Justin sudah mengepal. Lidahnya ingin mengumpati cewek di hadapannya itu dengan apa saja, daftar nama-nama penghuni kebun binatang sudah berderet mengantri di kepalanya ingin disebut.
‘Bagaimana bisa kau ada di sini?’
Pertenyaan itu ingin sekali Justin lontarkan, tapi urung. Justin ingat Milka yang mengatakan kalau saudara sepupunya akan menumpang tinggal di rumah itu. Dan sekarang Justin sudah ingat kapan terakhir kali ia melihat tas besar yang tadi ditenteng Milka. Tepatnya tas yang sama yang dibawa oleh si pelempar mobilnya hingga kacanya pecah.
Inikah saudara sepupu Milka? Sumpah, aneh tapi nyata.
“Kenapa kau masuk ke ruanganku ini?” desah Justin, suaranya terdengar rendah namun otot di lehernya mengeras.
“Aku... Aku anu... Nyasar. Iya nyasar.”
“Nggak adakah jawaban selain nyasar? Selalu itu yang kau katakan untuk menjawab pertanyaanku.”
“Rumahmu gede banget. Wajar kan kalau aku tersesat. Aku kebelet pipis, mau nyari wc malah nyasar ke sini. Hehe...” Je tertawa lebar demi menarik ulur kemarahan Justin.
“Apa kamu nggak bisa tanya ke Milka?”
“Untuk nyariin Milka aja aku kebingungan harus ke mana. Jadi ya gini.”
“Dia suadaramu bukan? Kalian terlihat jauh berbeda.”
“Iya, dia anggun dan kalem, tapi aku ceroboh dan gegabah. Namanya juga lahir dari orang tua yang berbeda, jadi ya beda. Aku tuh emang suka gini, bawaan dari sono kali yak? Dulu pas kecil malah pernah dihukum solawatan sampe seribu kali gara-gara ceroboh.”
Yah, curhat dia. Justin rasanya ingin membekap mulut Je. Ngoceh terus.
“Siapa yang suruh kamu curhat?”
“Aku nggak curhat, cuma menyampaikan fakta terpenting yang perlu kamu tahu.”
“Oh ya ampuuun...” Kedua tangan Justin memegang kepala, pusing. Gadis di hadapannya itu hampir mmebuat kepalanya pecah.
“Kamu kenapa? Sakit kepala?”
Justin membelalakkan mata saat punggung tangan Je sudah menempel di keningnya.
“Bujug! Ini mah bukan sakit lagi, panasnya melebihi setrikaan.”
Justin emundurkan kepalanya dan menampik tangan Je hingga terhempas ke bawah.
“Kamu sakit. Perlu kuambilkan kompres? Dimana aku mesti ngambil kompres ini?”
Justin mengernyit melihat Je yang terlihat pura-pura sibuk dan sekarang malah mutar-mutar di depan Justin seperti sedang mencari kodok.
“Cukup! Berhenti gerak-gerak!” Justin memegangi pergelangan tangan Je membuat Je terdiam menghadap Justin. “Sekarang pikirkan apa yang bisa kau lakukan untuk membuat ruanganku kembali seperti semula?” geram Justin.
“Iya iya, nanti kuberesin.”
“Sekarang! Bukan nanti.”
“Oke oke.”
Sebelum bekerja, Je meletakkan tas selempangannya ke atas meja supaya tidak mengganggu aktifitasnya.
***