Eps 07. Sial

820 Words
Lagi-lagi, sial. Kaki Je terpeleset hingga tubuhnya terhuyung dan punggungnya membentur bufet buku terbuat dari kayu, alhasil bufet setinggi satu setengah meter itu goyang dan bergerak hampir tumbang. Je tinggal menunggu bufet itu menghantam tubuhnya. Tapi ternyata hal buruk itu tidak sempat terjadi, kedua tangan Je spontan menahan bufet. Kini posisi bufet miring, enam puluh derajat dari lantai. Bersamaan dengan itu, buku-buku yang tadinya tersusun rapi di dalam bufet tanpa pintu itu, berjatuhan ke lantai. Ruangan Justin benar-benar hancur sekarang. Susah payah Je menahan bufet supaya tidak menimpa tubuhnya. “Justin, ayo bantuin, dong!” Seruan Je membuat Justin spontan bergerak maju membantu memegangi bufet dan membetulkan posisi bufet ke posisi semula. Je mengulum senyum melihat Justin yang tiba-tiba manut pada perintahnya. Mendadak Je merasa jadi tuan rumah untuk sesaat. “Heh, kenapa cengar-cengir?” gertak Justin. Je langsung menutup mulutnya yang cengar-cengir dengan telapak tangan. “Ya ampun! Lihatlah ruanganku! Kau ini malapetaka atau apa?” Justin memegangi lengan kanan Je. “Manusia,” jawab Je polos. Justin hampir mengetuk kepala Je dengan buku tebal yang teronggok di lantai, tapi ia memilih diam. Ya, diam itu kan lebih baik dari pada ngamuk-ngamuk. “Oke oke. Tapi ini lepasin. Sakit.” Je memegang tangan Justin yang mencengkeram erat lengan kanannya. Sudut bibir Justin malah tertarik saat melihat mata Je yang berputar-putar menahan sakit. “Urusan kita yang pertama belum selesai,” ucap Justin. “Kamu udah hancurkan pesta ulang tahunku, kamu pecahkan kaca mobilku, dan sekarang kamu hancurkan ruang kerjaku. Besok apa lagi?” “Nggak ada lagi. Doakan agar aku berhenti bertindak ceroboh.” “Kamu ingat pernah menawarkanku akan menuruti semua kemauanku, bukan?” Je mengingat kata-katanya di hotel saat pertama kali bertemu Justin, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. “Fine, aku setuju,” ucap Justin. “Trus?” Dahi Je mulai berkerut, bersiap menerima maklumat. “Jadi...” “Jadi apa?” Je tidak sabaran. “Nyerocos mulu. Jangan potong ucapanku kalau kamu mau dengar apa yang akan kukatakan.” “Oke. Bicaralah!” “Mulai detik ini, kau jadi tawananku.” “Tawanan?” Je tertawa. “Oke, dengan senang hati.” Justin mengernyitkan dahi melihat aksi Je yang aneh. Bukannya ketakutan, malah girang. “Cukup turuti semua kemauan dan perintahku.” Justin tersenyum licik membayangkan ide dalam kepalanya. “Ini artinya aku nggak perlu mengganti semua kerugianmu, bukan?” “Memangnya mau pakai apa kamu menggantinya? Daun? Justru karena aku yakin kamu nggak bisa mengganti semua itu, kupastikan kamu jadi tawananku sampai batas waktu yang nggak bisa ditentukan.” “Oke.” Je tersenyum lebar. Itu artinya mulai detik itu ia akan tinggal di sana dengan gratis. Mulai soal makan, tempat tinggal dan semuanya dianggap gratis selayaknya seorang tawanan. Cukup menguntungkan, meski ia tetap harus waspada menghadapi lelaki seperti Justin. Je membungkukkan badan dan menyentuh kertas yang berserakan di lantai ketika Justin melepas pegangannya. “Jangan sentuh apa pun!” Suara keras Justin membuat Je berhenti bergerak. “Kenapa? Aku akan membereskannya.” “Kamu hanya akan membuat semuanya jadi tambah kacau. Pergilah! Dan panggil Milka ke sini!” “Siap!” Je meletakkan ujung jari-jarinya di sudut pelipis layaknya sedang hormat saat upacara bendera. Duk! Dan lagi, muka Je harus bertabrakan dengan pintu akibat matanya yang tidak fokus ke depan, jalannya sudah lurus lempeng, tapi matanya entah kemana-mana hingga akhirnya tidak menyadari pintu sudah menanti di depan mata. Hantaman yang cukup keras membuat keningnya jontor dalam seketika. “Nggak apa-apa,” tukas Je sembari menoleh ke arah Justin dan tersenyum, lalu pergi dan hilang di balik pintu. Justin menghembuskan napas kasar. Ia frustasi melihat ruangannya yang benar-benar kacau. Pintu kembali terbuka dan kepala Je nongol dari balik pintu. Dia lagi! Justin mengambil buku paling tebal di lantai lalu melemparnya ke arah Je. Wuuus. Duez! Tepat sasaran, kening Je yang sudah jontor, semakin benjol. “Halooo... Justin, kemana aku harus mencari Milka?” Bayangan di kepala Justin spontan ngeblur saat mendengar suara cempreng Je menanyainya. Untung saja adegan pelemparan buku itu hanya ada dalam pikirannya. Jika benar-benar terjadi, pasti Je sudah kejengkang sekarang. Apa tadi? Je bertanya pada Justin dimana harus mencari Milka? Jadi sekarang Justin malah disuruh-suruh terus oleh Je? Setelah ini Justin perlu banyak-banyak mengucap tahlil supaya dadanya yang panas cepat menjadi dingin. Justin frustasi Ya Allah Ya Allah... “Kamu pergi cari ke kamarnya atau di dapur sana!” titah Justin. “Tapi aku nggak tau kamarnya dimana. Bisa tunjukkan padaku dimana kamar Milka?” Oh ya ampun, itu sama saja Justin sendiri yang harus bergerak mencari Milka. “Ya udah, pergi sana! Biar kutelepon aja dia.” Justin mengambil ponselnya dari saku celana. Untung saja Je itu cewek. Kalau cowok, sudah habislah dia. “Jadi sekarang aku mesti kemana?” Justin menggaruk kepalanya mendengar Je yang tidak berhenti bertanya. “Di situ aja, jangan kemana-mana. Rumahku bisa hancur kalau kamu keluyuran.” Je nurut, berdiri di ambang pintu seperti pengawal pintu kerajaan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD