Eps 05. Khilaf

1065 Words
Sebentar lagi senja. Ia bisa tidur di jalanan jika tidak secepatnya menemukan tempat tinggal. Masih untung jika hanya kedinginan akibat diterpa angin malam dan hanya berselimut kardus, tapi kalau didatangi preman bertubuh kekar yang siap menggagahinya, bagaimana? Pikiran buruk mulai menyerang. Triiing... ada ide. Terlintas nama Odi di kepalanya. Siapa tahu Odi bisa membantu. Berkali-kali Je menelepon Odi, tapi tidak diangkat. “Nih bocah kemana, yak? Duuuh pas lagi dibutuhin malah ngilang aja. Apes banget nasib gue.” Je ngomong sendirian, udah kayak di sinetron-sinetron. Disaat sedang gundah gulana, hapenya berdering dan ia langsung menjawab tanpa melihat caller ID. “Hai, Je!” Suara yang sangat familier, tanpa melihat nama penelepon, Je langsung tahu siapa pemilik suara merdu itu. Milka, teman SMP-nya dulu. “Hai, Mil. Ada apa?” “Nggak ada apa-apa. Kangen aja pengen ngobrol. Udah tiga hari kita nggak telponan.” “Telponannya nanti aja lagi ya. Gue lagi sibuk, nih.” “Sibuk ngapain? Udah mau senja begini masih sibuk aja. Ada les? Atau apa?” “Gue kehilangan tempat tinggal. Kosan gue tutup mendadak dan sekarang gue nggak tau mesti kemana. Gue nggak punya rumah. Nggak punya saudara. Nggak punya orang tua. Trus gue mesti kemana? Masak sih tidur di trotoar? Atau di kolong jembatan? Bisa keseret arus sungai entar pas air pasang tiba-tiba.” Sepi. Keduanya membisu. “Ahaaa… Gue ada ide.” “Apa?” “Gue kan sekarang jadi asisten rumah tangga nih. Nah, rumah majikan gue ini guedeee buanget. Lo tinggal aja sementara waktu di sini.” “Nggak enaklah gue sama majikan lo. Entar apa kata mereka? Dikira gue parasit. Numpang tinggal.” “Eh Je, tenang aja, majikan gue baik banget, kok. Majikan gue juga pernah bilang kalau gue dibolehin bawa saudara untuk tinggal di sini. Dia menganggap kerja gue ini bagus makanya gue dikasih kepercayaan penuh. lo kayak nggak tau gue aja, dari dulu kan Cuma gue murid paling jujur dan rajin di sekolah. Dan itu gue praktekin di sini.” “Tapi…” “Udah, lo nggak usah ragu. Biar gue bilang ke majikan gue kalau lo adalah saudara gue. Tenang aja, majikan gue pasti ngijinin.” Milka menyebutkan alamat rumah. Sebelumnya, Milka sudah pernah menyebutkan alamat itu kepada Je, tapi Je belum pernah mengunjungi Milka ke sana. Je berpikir. Jarak rumah majikan Milka cukup jauh dari sekolahnya. Apa mungkin ia tinggal di rumah itu? Tapi jika ia tidak menerima tawaran Milka, ia pasti akan jadi gelandangan. “Oke, deh.” Je memasukkan ponsel ke tas. Ia berjalan penuh semangat menenteng tas besar berwarna hitam yang berisi pakaian dan perlengkapan sekolahnya. Tidak banyak, sebab ia memang tidak memiliki banyak pakaian. Je tertarik membeli minuman dingin dalam kemasan botol kaca di minimarket terdekat. Tenggorokannya masih terasa kering meski sudah meminum air mineral hampir setengah teko. Je meneguk minuman pengganti ion tubuh dengan degupan kuat. Tubuhnya menyandar di badan mobil yang terparkir di depan minimarket. Setelah isi dalam botol habis, ia melempar botol tersebut ke arah belakang. Praakk!!! Suara apa itu? Je terkejut lalu menoleh. Botol yang ia lempar tepat mengenai kaca mobil yang sejak tadi menjadi sandaran tubuhnya. Kaca retak dan membentuk hiasan seperti sarang laba-laba. Je panik dan bingung harus berbuat apa. Ia melayangkan pandangan ke segala arah, takut ketahuan orang. Terbesit di benak, harga kaca mobil itu tentunya mahal. Merasa tidak ada yang melihat, sekilas ia berpikir lebih baik kabur. Dan benar, ia berlari secepat kilat, tangannya sempat menyambar tas yang ia letakkan di dekat kaki. “Woi! Jangan kabur!” Teriakan itu, pasti dari pemilik mobil. Duuh… Ketahuan. Tapi Je sudah terlanjur melarikan diri. Ia sempat bingung, haruskah kembali, atau lanjut melarikan diri saja? Seandainya dia kembali, nominal uang untuk mengganti kerugian tidaklah sedikit. Akhirnya ia memilih untuk terus kabur, lari tunggang-langgang. Setelah jauh, Je menoleh. Tidak ada tanda-tanda dikejar. Ia mengelus d**a di tengah engahan nafas yang menderu. Ya Tuhan, apa yang sudah ia lakukan? Sesungguhnya ia merasa bersalah karena lari dari tanggung jawab. Tapi bagaimana jika pemilik mobil meminta ganti rugi? Ia tidak punya cukup uang untuk menggantinya. Hidupnya benar-benar terasa rumit hanya karena satu alasan, ceroboh. Sekilas ia berpikir, mobil itu elit, pasti pemiliknya adalah orang kaya. Dan mereka pasti akan dengan mudah menggantinya. Ia menenangkan diri, berusaha membuang jauh rasa bersalah. Angkot membawa Je menuju ke alamat rumah yang disebutkan Milka. Untuk beberapa saat Je terkesima menatap rumah berukuran besar di hadapannya. Je masuk setelah seorang satpam membukakan pintu gerbang atas permintaan Milka. Milka menyambut kedatangan Je dengan girang. Milka memeluk Je sebentar dengan wajahnya berseri-seri. Ia tampak bahagia bisa bertemu dengan sahabat lama setelah hampir enam bulan tidak bertemu. Mereka berjalan menelusuri pekarangan rumah yang luas. Bola mata Je berputar mengamati rumah dengan takjub. Tingkat lima. Sebagian besar terbuat dari kaca. Je lebih tepat menyebutnya istana. “Ini rumah gede banget.” “He’emh…” Milka mengangguk. “Udah hampir dua taon gue kerja di sini. Majikan gue udah nganggep gue kayak keluarga sendiri. Gue udah minta ijin agar lo bisa tinggal di sini untuk sementara waktu, sebelom lo dapet kosan yang baru. Dan majikan gue ngijinin. Tapi inget perjanjian kita, bilang aja lo itu saudara sepupu gue. Nggak enak kan kalo gue bawa-bawa temen tinggal di sini. Okey?” Je mengangguk. “Sini tas lo biar gue bawain.” Milka mengambil tas dari tangan Je. “Ini nggak ada orang selain lo, Mil.” Bola mata Je masih terus liar menatap seisi ruangan yang ia lintasi. Lantai porselin putih yang memantulkan cahaya lampu gantung tampak begitu indah, perabotannya mewah, tak cukup kata untuk menggambarkan betapa Je takjub dengan apa yang ia lihat sekarang. “Kebetulan para pembantu lagi pada dinonaktifkan semua sama majikan gue. Cuma gue yang dipekerjakan di sini ngurusin rumah segede ini.” “Kenapa dinonaktifkan? Apa majikan lo bentar lagi bangkrut?” “Enggak. Majikan gue emang rada aneh. Nggak tau kenapa mereka disuruh off dulu.” Gubrak.. Suara itu, membuat pandangan Milka menoleh ke arah buku-buku yang berjatuhan ke lantai. Buku-buku yang awalnya berada di atas meja dalam posisi tegak berdiri, kini sudah berpindah ke lantai setelah pinggang Je menyenggolnya. Sekali lagi, Je mesti mengakui hidupnya selalu berada di ambang maut akibat kecerobohannya. “Sori!” Je mengangkat dua jari ‘peace’. Milka tersenyum. “Nggak pa-pa.” Milka mengambili buku-buku tersebut dan mengembalikannya ke tempat semula dengan susunan yang sama. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD