Mulai Menyukai

1803 Words
Amel tengah mengerjakan PR ketika ponselnya berbunyi. Awalnya, dia ingin mengacuhkan panggilan tersebut. Namun, si penelepon sepertinya enggan untuk menyerah. Akhirnya Amel meraih ponsel yang dia letakkan di ujung meja, untuk melihat siapa yang sudah mengganggu konsentrasi belajarnya. Amel melotot tidak percaya saat membaca nama yang tertera di layar. Ternyata yang menghubungi dirinya adalah Ardian. Baru kali ini lagi pria itu menghubungi dirinya setalah terkahir di malam natal. “Ngapain dia telepon gue? Mau apa?” gumam Amel. Sejenak dia ragu untuk menjawab panggilan itu. Saat akan menekan warna hijau di layar ponsel, panggilan itu berhenti untuk kesekian kalinya. Amel terus memandangi benda di tangannya, berjaga-jaga andai Ardian meneleponnya kembali. Dugaannya benar, tidak lama kemudian ponselnya kembali berbunyi. Dengan menguatkan hati, Amel menjawab panggilan dari Ardian. “Halo,” ujar Amel. “Kamu sedang apa Amelia?” tanya Ardian. “B-bikin PR,” sahut Amel sedikit tergagap. “Oh …, calon istri yang sangat rajin,” puji Ardian. “Kamu sudah makan?” “Sudah.” “Kapan kamu ujian akhir?” “Bulan depan.” Ardian terdiam sejenak mendengar jawaban dari Amel. “Ada yang kamu butuhkan? Apa uang saku yang selalu saya kirim cukup?” “Uang saku?” tanya Amel bingung. “Ya, sejak kita bertunangan, saya selalu memberikan uang saku untuk kamu, apa kamu tidak terima?” Amel berpikir sejenak mendengar jawaban Ardian. Dan akhirnya dia menyadari bahwa uang sakunya yang bertambah, bukan dari Thomas, ayahnya, melainkan dari pria yang sedang berbicara dengannya melalui ponsel. “Cukup, bahkan berlebih,” sahut Amel yang semakin tenang saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Ardian. “Gunakan dengan baik. Jika kurang, jangan sungkan untuk bilang.” “Iya.” “Kamu sudah memutuskan kuliah di mana? Ambil jurusan apa?” Amel terdiam mendengar pertanyaan Ardian. Dia tidak menyangka jika pria itu peduli dengan pendidikannya, dan bertanya mengenai keinginannya berkuliah di mana. Dia bingung harus menjawab apa. Kedua orang tuanya saja tidak pernah bertanya pada dirinya mengenai kuliah. “Bingung,” sahut Amel. “Kenapa bingung? Memangnya kamu belum memutuskan?” “Sebenernya udah, tapi nggak tau apa papa dan mama setuju.” “Memang kamu ingin ambil jurusan apa?” “Perhotelan,” sahut Amel cepat. Dia ingin kuliah di perhotelan karena ingin bekerja di salah satu resor milik Jonathan. Sahabatnya pernah bilang akan mengambil jurusan perhotelan saat kuliah nanti. Sejak mendengar keinginan Jonathan, dia pun memiliki keinginan yang sama dengan pemikiran akan bertemu lagi dengan sahabatnya di perguruan tinggi. “Pilihan yang baik,” ujar Ardian. “Oh ya?” ujar Amel terkejut mendengar jawaban Ardian yang tidak terdengar meremehkan. “Amelia, nanti saya telepon lagi. Sekarang saya harus pergi. Selamat malam, dan jangan tidur larut.” Amel memandangi ponsel yang baru saja diputus oleh Ardian. Berbicara cukup lama dengan pria itu membuat Amel menyadari jika Ardian tidak seburuk dan sedingin seperti saat pertama kali bertemu. “Ternyata dia nggak terlalu buruk,” gumam Amel. “IH …, gue mikirin apaan sih?!” gerutu Amel sendirian. Kemudian Amel kembali mengerjakan PR nya yang sempat tertunda, hingga tidak menyadari saat Jonathan masuk ke dalam kamarnya melalui pintu kaca. “Kamu lagi apa?” tanya Jonathan yang sudah berdiri di belakang Amel. “Ngagetin aja lo!” seru Amel. “Maaf, habis kamu serius banget sih,” sahut Jonathan. “Kamu lagi ngapain sih?” “Bikin PR,” sahut Amel. “Elo ke mana aja sih baru dateng sekarang?!” “Baru selesai bikin PR,” sahut Jonathan sambil mengambil buku Amel. “Gue belum selesai!” seru Amel sambil berusaha merebut bukunya. “Sebentar, aku periksa dulu.” Jonathan meneliti PR yang sudah sebagian dikerjakan oleh Amel dengan teliti. “Yang ini jawabannya salah Mel,” ujar Jonathan sambil menunjuk soal yang salah. “Kok bisa?” tanya Amel. “Jalannya udah bener, kayaknya kamu salah itung.” “Ajarin dong.” “Sini.” Kemudian Jonathan mengambil kursi yang terletak di dekat meja rias, membawanya ke meja belajar, dan duduk di samping Amel. Kemudian dia mulai menjelaskan pada Amel cara itung yang benar sekaligus jawabannya. “Oh …, ternyata begitu toh, pantes gue salah,” ujar Amel. “Kalo gitu gue benerin dulu.” Amel langsung menghapus jawaban yang salah dan memperbaiki  denga cara yang sudah dituliskan Jonathan. “Kamu udah makan Mel?” tanya Jonathan. Saat gadis itu selesai mengerjakan PR. “Belum,” sahut Amel cepat. Jonathan mengerutkan kening mendengar jawaban gadis itu seolah tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Matanya menatap seksama wajah Amel, dan menemukan jika gadis itu berkata jujur. “Kenapa belum makan? Ini udah malem!” tegur Jonathan. “Nggak laper.” “Ayo makan sama aku.” “Nggak mau ah, orang nggak laper disuruh makan!” sahut Amel. “Aku bikinin nasi goreng kesukaan kamu,” ujar Jonathan sambil menyeret Amel. “JOJO!” seru Amel sambil berusaha melepaskan diri. Jonathan terus menarik Amel keluar dari kamar dan menuju ke dapur, dan tidak mempedulikan protes dari bibir Amel. “Duduk di situ! Awas kalo coba-coba kabur!” ancam Jonathan. “Gaya lo Jo,” ledek Amel. Jonathan tidak mengacuhkan perkataan Amel. Dia berjalan menuju ke lemari pendingin dan memeriksa bahan-bahan apa yang bisa dia pakai untuk isian nasi goreng. Kemudian Jonathan mulai mengeluarkan telur, tomat, mentimun, dan sosis. Jonathan memeriksa magic jar untuk melihat apakah masih ada nasi. Setelah itu dia mulai mengupas bawang dan bahan lainnya. Jonathan mulai memasak nasi goreng untuk Amel sambil terus diperhatikan tanpa kedip oleh gadis itu. Amel selalu merasa senang jika melihat Jonathan memasak, begitu luwes saat memegang peralatan masak. Jonathan menuangkan nasi goreng yang sudah jadi ke atas pirin, kemudian menambahkan irisan mentimun dan tomat. “Sekarang makan dan harus habis!” perintah Jonathan tegas. “Tapi ini banyak banget Jo!” protes Amel. “Aku bantuin dikit, tapi kamu harus habisin!” “Suapin,” pinta Amel manja. Jonathan mengembuskan napas, kemudian mengambil sendok dari tangan Amel dan mulai menyuapi gadis itu. Itulah Jonathan, sahabat yang selalu baik dan hampir tidak pernah menolak keinginannya. “Kamu tuh manja banget sih Mel?” “Biarin,” sahut Amel sekenanya. “Gimana nanti kalo udah punya pacar? Bisa cemburu pacar kamu ke aku kalo kamunya kayak gini terus ke aku.” “Ya nggak bisa gitu lah. Mereka harus bisa terima keberadaan elo, dan harus mau ngertiin.” “Kalo mereka nggak mau ngertiin gimana?” tantang Jonathan. “Mending putus.” “Lha kok gitu, mana bisa begitu Mel. Kalo ngomong jangan suka sembarangan, nggak baik.” “Andai emang bisa beneran gitu Jo,” gumam Amel sedih. “Kamu kenapa? Kok tiba-tiba langsung sedih gitu?” tanya Jonathan bingung. “Gapapa. Nasi gorengnya udah habis, gue juga udah kenyang. Gue mau tidur ya. Bye Jo.” Selesai berkata dalam satu tarikan napas, Amel berlari keluar dari dapur menuju ke kamarnya. Hatinya begitu sedih saat teringat jika sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menjadikan Jonathan sebagai miliknya. Tiba di kamar, Amel langsung mengunci pintu kamar juga pintu kaca, mencegah Jonathan masuk dan melihatnya menangis. Selesai mengunci pintu kaca, Amel terduduk di lantai bersandar pada pintu kaca. Amel menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya. Dia menangis meratapi keadaannya saat ini dan  tentang perasaannya yang mulai tumbuh untuk Jonathan. Bukan lagi perasaan sebagai seorang sahabat, akan tetapi lebih dari itu. Sejak Jonathan menolongnya menyelesaikan masalah dengan Rio, dia mulai melihat Jonathan sebagai seorang lawan jenis. Sekeras apapun dia berusaha untuk membunuh rasa sukanya, semua sia-sia belaka. Bukannya berkurang, malah semakin hari semakin besar. “Tuhan, Amel mesti gimana?” ratap Amel dengan pilu. Jonathan mengejar Amel sampai ke kamar, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena sudah dikunci oleh Amel. Jonathan bergegas keluar rumah dan berlari ke arah kamar Amel. Jonathan menaiki tangga, akan tetapi hasilnya sama. Pintu sudah terlebih dahulu dikunci oleh Amel. Saat itulah dia mendengar suara tangisan Amel yang terdengar begitu sedih. Hatinya terasa perih seperti luka yang diberi yang diberi perasan air jeruk. “Candy, kamu kenapa?” gumam Jonathan. Jonathan duduk di balkon, bersandar pada pintu kaca, dan terus mendengarkan tangisan Amel. Dia mencoba menemani Amel dari luar dan berharap gadis itu segera menghentikan tangisnya. *** Amel terbangun dengan kepala terasa berat dan badan yang kaku. Sesaat dia bingung mengapa dirinya bisa tertidur di karpet, bukan di kasurnya. Akhirnya dia ingat jika semalam menangis. Amel bergegas bangun dan berlari menuju meja rias untuk melihat matanya. “Yah …, bengkak. Gue gimana ke sekolah kalo begini?” gumam Amel. Amel keluar dari kamarnya dan mencari Laras di dapur.  “Mam,” panggil Amel lirih. “Hm?” sahut Laras sambil menoleh ke arah Amel. “Lho ada apa sama mata kamu?”  “Hari ini Amel nggak sekolah ya,” pintanya dengan nada memelas. “Kamu kenapa Lia?” tanya Laras. “Kamu habis nangis?” Amel menganggukkan kepala sebagai jawaban. Laras mengembuskan napas melihat kelakuan putri sulungnya yang akhir-akhir ini berubah cukup drastis. Laras meletakkan spatula kayu dan mematikan kompor. Dia berjalan mendekati Amel dan menatap putrinya dengan penuh kasih. “Ada yang lagi ngeganjel di hati kamu?” Amel menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang perasaannya pada Laras. Amel tidak ingin mendengar nasihat panjang dari Laras. Cukup dirinya sendiri yang menanggung semuanya. “Terus kamu kenapa nangis?” “Gapapa Mam. Amel boleh ya nggak sekolah?” Laras yang tidak tega melihat keadaan Amel yang terlihat kacau akhirnya mengijinkan. “Tapi cuma kali ini!” “Makasih Mam!” seru Amel sambil memeluk Laras dengan erat. “Sana mandi dulu,” usir Laras. “Mama mau selesaiin masak buat sarapan.” “Emang Mama masak apa?”  “Tadi Mama bikin semur daging, sama goreng perkedel jagung.” “Yeay! Kalo gitu Amel mandi dulu. Sarapannya tungguin ya.” Amel langsung menghilang dari dapur menuju ke kamarnya. Setengah jam kemudian, Amel sudah turun lagi ke bawah dan langsung ke ruang makan. “Mata lo kok merah Jo? Habis begadang semalem?” tanya Amel sambil duduk di seberang sahabatnya. “Kamu kenapa masih pake baju rumah?” sahut Jonathan. “Kebiasaan ih, ditanya malah bales nanya!” “Kamu nggak sekolah?” tanya Jonathan sambil mengambil nasi yang sudah tersedia di meja. “Hm,” sahut Amel sambil mencomot sepotong perkedel jagung dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. “Kenapa?” “Gapapa,” sahut Amel sedikit menunduk untuk menyembunyikan matanya. Amel tidak menyadari jika semalam, Jonathan terus menemani sepanjang dia menangis. Jonathan baru pulang ke rumah setelah memastikan Amel tidak menangis lagi. Karena itu matanya terlihat memerah karena kurang tidur. “Terus aku sekolah sendirian dong?” “Hari ini aja. Besok gue sekolah kok.” “Kamu lagi ada masalah apa Mel?” tanya Jonathan. “Nggak ada, sok tau banget deh!” “Iya. Pokoknya kalo ada apa-apa bilang sama aku.” “Baiklah,” sahut Amel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD