Mencari Gara-Gara

1696 Words
“Mel, kamu turun dulu,” ujar Jonathan sambil menghentikan motor di depan gerbang sekolah. “Nggak mau, kita masuk sama-sama aja,” sahut Amel yang tetap duduk di belakang. Jonathan kembali menjalankan motor menuju tempat parkir, dan membiarkan Amel tetap duduk di belakang.  “Ayo turun.” Amel turun dari motor, melepaskan helm, dan menyerahkan pada Jonathan. Dia berdiri sampai Jonathan selesai menyimpan helm. Setelah itu mereka berjalan bersisian menuju kelas yang berada di lantai tiga. Saat Jonathan dan Amel baru tiba di tangga terakhir, mereka langsung disambut teriakan dari depan kelas yang berada di ujung lorong. “JOJO! AMEL!” seru Reza dari kejauhan sambil melambaikan tangannya. “Ya ampun itu anak,” ujar Amel. “Teriak-teriak kayak di hutan, bikin malu aja deh!” “Mungkin dia seneng ketemu kita,” sahut Jonathan kalem. “Kan setahun nggak ketemu.” “Tapi nggak usah pake teriak segala kali,” dumel Amel. Hari ini adalah hari pertama mereka kembali masuk sekolah setelah libur semester. Sebenarnya Amel merasa malas untuk sekolah, akan tetapi tadi pagi Jonathan berhasil membujuknya untuk masuk. Jujur saja, Amel merasa segan harus bertemu dengan Sheila. Hatinya masih kesal jika mengingat perbuatan temannya itu.  “Elo tuh Za, hobi banget sih teriak-teriak? Mirip Tarzan tau,” ledek Amel saat Reza tiba di hadapan Amel dan Jonathan. “Kayak sendirinya nggak Mel,” sahut Reza. “Gue kan cewek, wajar kali. Lha elo?” timpal Amel tidak mau kalah. Mereka terus mengobrol sambil berjalan menuju kelas, dan tidak menyadari jika Sheila sedang berjalan di belakang.  “Minggir!” seru Sheila sambil mendorong Amel dari belakang. Amel yang tidak siap terdorong ke depan dan hampir jatuh tersungkur, beruntung ada Jonathan yang dengan sigap menahan badannya. “WOY! Kalem aja kali!” sahut Reza kesal melihat kelakuan Sheila. “Bukan urusan elo!”sahut Sheila. “Dasar nggak tau sopan,” gerutu Reza. ‘Untung elo tuh cewek Shel!” “Emang kalo gue cowok, elo mau ngapain?!” tantang Sheila sambil berkacak pinggang. Anak-anak yang mendengar teriakan Sheila mulai keluar dari kelas untuk melihat apa yang terjadi.  “Udah, biarin aja,” sahut Jonathan yang tidak ingin menjadi tontonan. “Ayo Mel, ke kelas dulu, bentar lagi bel.” Mereka berjalan bersisian menuju kelas dan meninggalkan Sheila yang tampak tidak puas karena gagal membuat keributan. Sheila terus menatap dengan penuh kemarahan sampai ketiga orang itu masuk ke dalam kelas. Semenjak rahasianya terbongkar, Amel memutuskan kontak dengan Sheila. Bahkan Amel memblokir nomornya sehingga Sheila tidak dapat menghubungi dan mencoba mengajak Amel untuk berteman lagi. Sheila merasa sangat marah diperlakukan seperti itu oleh Amel yang dulu selalu bersikap baik. Terkadang jika sedang sendirian, dia merindukan masa-masa saat dekat dengan Amel, tapi jika mengingat semua penghinaan yang telah diterimanya, membuat Sheila kembali marah dan ingin membalas dendam. Keinginannya untuk membalas dendam semakin besar saat tadi melihat Amel yang seperti tidak dapat dipisahkan dari Jonathan. Sheila merasa sangat cemburu sekaligus tidak dapat menerima kenyataan bahwa Jonathan sama sekali tidak melirik dirinya. Sepanjang pelajaran, Amel tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Dia terus memikirkan sikap Sheila tadi. Diam-diam Jonathan terus memperhatikan sikap Amel hingga bel istirahat berbunyi. “Kantin yuk,” ujar Reza saat istirahat. “Ayo,” sahut Jonathan. “Kamu ikut ya Mel.” Jonathan sedikit khawatir meninggalkan sahabatnya sendirian di kelas. Dia tidak ingin terjadi sesuatu saat dirinya tidak ada. “Tapi gue pengen di kelas aja,” tolak Amel. “Temenin aku,” pinta Jonathan sambil menarik tangan Amel. Akhirnya dengan terpaksa, Amel bangkit dari kursi dan berjalan mengikuti Jonathan dan Reza ke kantin yang terletak di lantai dasar sekolah. Di kantin, Amel tetap berdiri di samping Jonathan yang mengantri untuk membeli makanan, karena pemuda itu tidak melepaskan genggaman tangannya dari Amel. Sheila yang sudah lebih dulu tiba, melihat hal itu, dan kembali merasa cemburu. “Kamu mau makan apa?” tanya Jonathan. “Nggak tau, bingung.” “Tumben amat,” ledek Reza. “Biarin.” Sejak Ardian meneleponnya, selera makan Amel seolah menghilang. Di rumah pun dia makan dengan terpaksa karena tidak ingin mendengar omelan Laras. “Gue nebeng aja sama elo deh Jo,” ujar Amel. “Hm,” sahut Jonathan. “Kamu cari tempat duduk dulu gih.” “Oke.” Amel keluar dari antrian dan mulai mengedarkan pandangan mencari meja yang masih kosong, dan menemukan satu meja yang berada di tengah ruangan. Amel bergegas ke sana dan langsung duduk. Amel duduk menunggu Jonathan dan Reza sambil melihat ponsel, sehingga tidak menyadari Sheila yang berjalan ke arahnya sambil membawa semangkuk bakso. “ADUH!” pekik Amel saat kuah bakso panas tumpah mengenai baju serta tangannya.. Jonathan langsung memalingkan wajah saat mendengar suara pekikan Amel. Melihat Amel yang terkena siraman bakso, serta Sheila yang berdiri sambil menyeringai membuat Jonathan langsung berlari menghampiri. Begitu juga dengan Reza yang langsung melupakan rasa laparnya. “Elo kalo jalan liat-liat dong!” seru Amel pada Sheila. “Gue nggak liat, emang kenapa?!” sahut Sheila ketus. “Nggak liat, apa sengaja?!” tukas Amel kesal. Baju seragamnya basah dan menjadi berwarna kemerahan terkena sambal. Amel menatap tajam pada Sheila. Anak-anak yang melihat hal itu mulai berkerumun di sekitar Amel dan Sheila. “Kalo sengaja emang kenapa?! Nggak suka?!” tantang Sheila. “Udah Mel, kita pergi dari sini,” ujar Jonathan yang sudah tiba di samping Amel. “CIH!” desis Sheila penuh kebencian saat melihat betapa perhatiannya Jonathan pada Amel. “Minggir!” ujar Jonathan sambil mendorong Sheila ke samping. “Elo keterlaluan Shel!’ tegur Reza yang juga sudah tiba di dekat Sheila. “Bukan gue yang keterlaluan, tapi mereka!” sahut Sheila ketus. “Kenapa jadi nyalahin mereka?! Kan elo yang numpahin makanan ke baju seragam Amel!” “Peduli amat!” sentak Sheila. Sheila langsung meninggalkan kantin dan kembali ke kelas. Niatnya untuk mempermalukan Amel gagal. Dia tidak mengira kalau Jonathan akan langsung datang dan membawa Amel pergi. Sheila juga tidak menyangka jika Reza berani menegur di depan anak-anak yang lain. Bukannya mempermalukan, malah dirinya yang mendapat malu. Sementara itu, Jonathan menunggu di depan kamar mandi sementara Amel berada di dalam mencoba membersihkan baju seragamnya. Amel keluar dari kamar mandi dengan wajah ditekuk. Dia merasa sangat kesal karena noda yang menempel di seragamnya tidak bisa hilang. “Nggak bisa ilang Jo, malah yang ada jadi basah semua,” ujar Amel antara kesal dan sedih. “Kamu bawa baju ganti nggak?” tanya Jonathan. Amel menggelengkan kepalanya dengan lesu. Jonathan tampak berpikir sejenak sambil memperhatikan seragam Amel.  “Kamu tunggu sini,” ujar Jonathan yang langsung berjalan meninggalkan Amel. “Elo mau ke mana?!” seru Amel. Terpaksa Amel menunggu Jonathan di depan kamar mandi. Tidak lama kemudian, Jonathan kembali sambil membawa sesuatu di tangan dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. “Ganti seragam kamu sama ini,” ujar Jonathan sambil menyerahkan plastik berisi baju olahraga yang masih baru. “Elo beli?” tanya Amel. “Hm.” “Tapi kan,” “Udah buruan ganti, ntar keburu bel masuk!”  “Iya, iya,” sahut Amel sambil kembali membuka pintu kamar mandi. Tidak lama kemudian, Amel keluar dengan mengenakan baju olahraga, dan berjalan bersisian dengan Jonathan kembali ke kelas. *** Saat bel pulang berbunyi, Amel bergegas menyimpan buku di dalam tas dan berdiri menunggu Jonathan yang masih membereskan mejanya. Setelah itu Amel, Jonathan dan Reza berjalan bersama meninggalkan kelas menuju ke luar gedung sekolah.  Saat tiba di depan gedung, langkah kaki Amel terhenti ketika melihat pemandangan di depannya. Sheila yang berlari dan langsung memeluk Rio dengan mesra. Amel memalingkan wajah karena tidak menduga akan melihat hal seperti itu di lingkungan sekolah.  Jonathan yang memahami perasaan Amel langsung merangkul bahu Amel dan membawa gadis itu menuju tempat parkir.  Jonathan menyerahkan helm pada Amel dan menunggu sampai gadis itu siap, kemudian dia menyalakan motor dan membiarkan Amel yang begitu duduk di motor langsung memeluk pinggang Jonathan dengan erat. “Kita mau ke mana?!” teriak Amel saat motor yang dikendarai Jonathan tidak mengarah ke rumah. “Temenin aku makan es campur,” sahut Jonathan dengan suara keras. Jonathan mengendarai motor menuju ke tempat es campur favorit mereka yang terletak di daerah Fatmawati. Setelah tiba dan memarkir motor, Jonathan menunggu sampai Amel turun, kemudian menggandeng tangan gadis itu untuk masuk ke dalam. “Mang, es campur nya dua ya,” pinta Jonathan saat masuk ke dalam kedai. “Siap Mas,” sahut penjual. Jonathan mengajak Amel duduk di pojok ruangan. Jonathan menatap dalam mata Amel, kemudian perlahan dia meraih tangan gadis itu. “Kamu marah?” tanya Jonathan. “Sedikit,” sahut Amel. “Kenapa harus marah?” “Kesel aja ngeliat mereka. Berani banget Rio dateng ke sekolah jemput Sheila, pake acara pelukan segala!” sungut Amel kesal. “Kamu cemburu?” goda Jonathan. “Ngapain mesti cemburu? Gue udah nggak ada rasa tuh sama Rio!” sahut Amel ketus. “Gue cuma nggak suka aja. Ntar apa kata yang lain ngeliat mereka? Muka gue mau ditaruh di mana?!” “Nggak usah dengerin apa kata mereka. Toh mereka kan nggak tau apa-apa, kecuali Sheila yang buka mulut.” “Tetep aja gue malu Jo! Kenapa gue bisa bodoh banget, sampe ketipu sama sikap baik Rio, bahkan ngebiarin dia ngejemput gue, bawa ke rumah dan ngenalin ke mama” ujar Amel lirih. “Jadiin pelajaran Mel, untuk nggak terlalu mudah percaya sama orang, terutama yang bersikap sangat manis.” “Permisi,” ujar penjual es campur sambil meletakkan nampan berisi pesanan mereka. “Makan dulu, biar adem hati kamu,” ujar Jonathan. Amel menuruti saran Jonathan, dan memasukkan sesendok es ke dalam mulut. Rasa manis, segar, dan dingin menyatu di dalam mulutnya. Perlahan membuat perasaannya mulai membaik. Amel menghabiskan es miliknya dalam sekejap. Jonathan diam-diam tersenyum melihat Amel makan sampai habis dan sudah kembali ceria. “Pulang sekarang?” tanya Jonathan yang juga sudah menghabiskan es miliknya. “Mau keliling dulu, boleh?” pinta Amel. “Mau ke mana?” “Nggak tau, muter-muter aja. Gue bosen di rumah.” “Oke,” sahut Jonathan. Setelah membayar, Jonathan dan Amel kembali ke motor. Jonathan membawa Amel berkeliling dengan motor hingga menjelang maghrib. Setelah itu dia mengendarai motor menuju rumah. Selesai menurunkan Amel, dia membawa motor ke rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD