Hari Kelulusan

2008 Words
“Mel, kamu udah siap?” tanya Jonathan ketika datang ke rumah Amel. “Udah dong,” sahut Amel. “Kita jalan sekarang?” “Boleh.” “Tapi gue rada takut Jo.” “Kenapa?” “Kalo nggak lulus gimana?” “Pasti lulus,” sahut Jonathan meyakinkan sahabatnya. “Kalian udah mau berangkat?” tanya Laras. “Iya Mam,” sahut Amel. “Kamu udah sarapan Jo?” “Udah Mam. Kita jalan dulu ya Mam.” “Iya, hati-hati. Langsung pulang ya,” pesan Laras. “Yah …, masa langsung pulang. Hari ini Amel mau main dulu ya Mam,” pinta Amel sambil memeluk Laras. “Boleh, asal sama Jojo.” “Siap,” sahut Amel. Jonathan membonceng Amel menuju ke sekolah, untuk melihat pengumuman kelulusan. Sepanjang perjalanan, Amel duduk dengan gelisah. Dia sedikit khawatir jika sampai tidak lulus. Berkali-kali Amel mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, sebelum melihat sendiri pengumuman hari ini, dia tidak akan bisa tenang. Tiba di sekolah, tanpa menunggu Jonathan, Amel begegas menuju papan mading di mana telah ditempel pengumuman. Dengan cepat dia mencari namanya di antara sekian banyak nama siswa kelas XII lainnya.  “Udah ketemu?” tanya Jonathan yang sudah berdiri di belakang Amel. “Belum, bantuin dong,” pinta Amel. Jonathan pun mulai sibuk mencari namanya dan juga nama Amel.  “Ini,” ujar Jonathan sambil menunjuk nama Amel dan juga namanya. “YEAY!” sorak Amel sambil memeluk Jonathan. “Kita lulus Jo!” Jonathan balas memeluk Amel dengan erat. Hatinya juga terasa plong saat melihat nama mereka berdua di kertas. “WHOA! Akhirnya lulus juga kita!” seru Reza sambil memukul punggung Jonathan. “Sakit Za!” ujar Jonathan kalem.  “Kenapa ekspresi lo datar doang sih?! Nggak seru banget sih!”  “Terus gue mesti gimana? Teriak-teriak? Loncat-loncat?” “Ya nggak harus gitu juga sih. Tapi minimal muka datar lo tuh kasih senyum dikit.” “Udah ah! Elo hobi banget sih nyari ribut Za!” tukas Amel. “Mending jalan-jalan yuk, ngerayain hari ini.” “Kamu mau ke mana Mel?” tanya Jonathan. “Ke mana-mana hatiku senang Jo!” seru Amel sambil mencubit gemas pipi Jonathan. “Ke rumah gue aja yuk,” usul Reza. “Mau ngapain?” tanya Amel. “Nyokap tadi nyuruh gue bawa elo orang ke rumah. Dia masak banyak, katanya mau ngerayain lulus-lulusan hari ini.” “Wah kalo ada makan-makan, kita sih nggak nolak, iya nggak Jo,” sahut Amel cepat. Jonathan menganggukkan kepanya. “Ya udah, kalo gitu mari kita cabut!” seru Reza sambil bergaya seperti seorang kapten. Amel, dan Jonathan akhirnya mengikuti Reza menuju ke parkiran. Amel kembali membonceng di motor Jonathan saat menuju ke rumah Reza. Dalam perjalanan, dia mengirim pesan pada Laras, memberitahu jika dirinya dan Jonathan lulus, sekaligus pergi main ke rumah Reza. Tiba di rumah Reza, Amel yang baru turun dari motor langsung disambut dengan teriakan heboh Rohani yang kebetulan sedang menjaga warung. “AH …, akhirnya kau datang juga Nak!” seru Rohani yang langsung berlari keluar dari warung dan memeluk Amel dengan erat. “Mak, jangan begitu lah!” seru Reza yang sedikit malu melihat tingkah ibunya. “Tau apa kau hah!” sentak Rohani. “Kusuruh kau bawa Amel ke sini sejak jaman dahulu, tak pernah kaudengar!” “Tapi kan sekarang orangnya udah dateng Mak,” keluh Reza. “Iya, setelah kau kuancam tak boleh pulang kan!” Jonathan dan Amel tergelak mendengar perdebatan antara Rohani dan Reza. Walaupun terlihat seperti tidak akur, sebenarnya Rohani sangat menyayangi Reza. “Kalian tunggu di sini ya, Tante mau nyiapin makan siang dulu,” ujar Rohani ramah. “Dan kau! Jaga warung!” lanjut Rohani pada Reza dengan ketus. Setelah itu Rohani berjalan ke dapur meninggalkan ketiga anak muda yang akhirnya memutuskan duduk di dalam warung. “Elo sih Mel!” sungut Reza. “Coba dari kemarin-kemarin elo ke sini, kan gue nggak bakal kena marah.” “Sori deh, kan gue nggak enak ke sini mulu.” Mereka bertiga mengobrol dengan seru, dan sesekali Amel membantu Reza melayani pembeli yang datang berbelanja di warung. “Ayo kita makan dulu,” ujar Rohani sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan yang dijadikan warung. Jonathan, Amel, dan Reza bergegas menuju ke dalam rumah dan terkejut melihat begitu banyak makanan yang tersaji di meja makan. “Bagaimana? Enakkah?” tanya Rohani pada Amel dan Jonathan saat keduanya makan. “Enak Tan, seperti biasa,” sahut Jonathan sambil mengacungkan ibu jarinya. “Iya Tan, ini bener-bener enak,” timpal Amel. “Kalo enak, habiskan,” “Terus Reza gimana?” sela Amel. “Dia sih gampang, pake telur juga bisa,” sahut Rohani. Jonathan menundukkan kepala dan tersenyum mendengar jawaban Rohani yang terdengar asal. Reza yang kebetulan melihat, mendekatkan wajahnya pada Jonathan. “Awas lo ya!” desis Reza. “Sori, sori Za. Elo sama nyokap lagi kenapa sih?” “Nggak tau gue. Udah dua hari nyokap uring-uringan, dan gue yang kena getahnya.” Selesai makan mereka kembali mengobrol sambil menikmati cemilan di warung hingga sore. Setelah itu Jonathan dan Amel pamit pulang. *** Amel baru saja selesai mandi ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. “Siapa? Masuk aja nggak dikunci,” sahut Amel. “Kak,” panggil Brenda sambil membuka pintu kamar Amel.  “Apaan?” tanya Amel sambil menyisir rambut. “Eng ...,.” Brenda ragu-ragu untuk berkata. “Apaan sih?!” “Eng …, itu di bawah ada yang nyari.” “Siapa?” tanya Amel sambil mengerutkan kening. Brenda tidak langsung menjawab. Dia bingung sekaligus tidak tega memberitahu kakaknya jika yang datang itu adalah Ardian. “Siapa?!” tanya Amel dengan nada sedikit tinggi. “Kak Ardian,” sahut Brenda pelan. “Siapa?!” “Kak Ardian, tunangan elo.” “T-u-n-a-n-g-a-n gue?” tanya Amel sambil mengeja kata tunangan dengan perlahan. Seketika wajahnya berubah pias, dan tangannya menjadi dingin. Tubuhnya terasa kebas dari ujung kepala hingga kaki. “Elo gapapa Kak?” tanya Brenda yang khawatir melihat perubahan wajah Amel. “G-ga-papa,” sahut Amel terbata. Amel memegangi jantungnya yang berdetak sangat kencang, seperti sedang lomba lari maraton. Napasnya pun langsung terasa berat. Tiba-tiba Laras datang dan langsung menghampiri Amel. “Lia,” panggil Laras dengan lembut. Namun, Amel hanya duduk diam dengan tatapan kosong dan tidak membalas panggilan Laras. “Lia!” panggil Laras dengan suara lebih kencang sambil menyentuh bahu putrinya. “Eh, iya Mam?” sahut Amel yang tersadar. “Di bawah ada Ardian. Kamu ganti baju, terus temuin dia ya,” ujar Laras lembut. Dia memahami perasaan Amel. Jika dirinya yang berada di posisi Amel, mungkin dia juga akan bereaksi sama seperti putrinya.  “I-iya Mam.” “Mau Mama bantu?” tanya Laras. “Nggak usah Mam, Amel bisa sendiri,”  sahutnya. “Mama sama Brenda keluar dulu, biar Amel bisa salin.” “Oke,” ujar Laras. Kemudian Laras menggamit tangan Brenda dan membawanya keluar dari kamar Amel. Laras sengaja ingin memberikan putrinya sedikit waktu untuk menenangkan diri. Begitu Laras dan Brenda pergi, Amel bergegas mengambil ponsel yang dia letakkan di atas meja rias. Dia mencoba menghubungi Jonathan untuk meminta bantuan membawa dirinya kabur melalui balkon. Namun, sampai tiga kali mencoba, Jonathan tidak juga menjawab panggilan Amel. “Kenapa nggak diangkat sih?!” gerutu Amel panik. “Jojo ke mana sih?! Giliran dibutuhin malah ngilang!” Dia benar-benar tidak ingin menemui Ardian, apalagi jika harus mengobrol dengan pria itu. Amel merasa benar-benar tidak sanggup jika harus bertatapan dengan Ardian. Dia takut reaksinya akan membuat pria itu tersinggung, yang berakibat pada keadaaan keuangan ayahnya. “Duh gue mesti gimana dong?” gumam Amel semakin panik. Amel mencoba menghubungi Jonathan lagi, akan tetapi hasilnya tetap sama. Jonathan tidak menjawab panggilannya. Akhirnya dengan berat hati, Amel berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian. Dengan malas, Amel memilih sembarang baju dan mengganti baju tidur yang sudah dikenakan. Selesai berganti pakaian, Amel keluar dari kamar. Dengan langkah diseret, Amel berjalan menuruni tangga dan menuju ke ruang tamu. Ketika hampir mencapai ruang tamu, Amel dapat mendengar kedua orang tuanya tengah berbincang dengan Ardian. Sambil menguatkan hati, Amel masuk ke ruang tamu dan berjalan menghampiri sofa, tempat Ardian dan kedua orang tuanya. “S-selamat malam,” sapa Amel. “Ah, ini anaknya udah dateng!” seru Thomas sambil tertawa. “Sini Mel.” Amel berjalan mendekati Thomas dengan langkah perlahan, dan duduk dengan terpaksa karena Ardian duduk tepat di seberangnya. Amel menundukkan wajah, supaya tidak perlu melihat ke arah Ardian. “Apa kabar?” sapa Ardian ramah. “Baik,” sahut Amel pelan. “Saya dengar kamu sudah lulus?” “Iya.” “Sudah memutuskan untuk kuliah di mana?” Amel menggelengkan kepala sebagai jawaban. Lidahnya terasa kelu dan berat untuk menjawab.  “Tapi sudah pasti ingin mengambil jurusan perhotelan?” tanya Ardian. Kali ini Amel mengganggukkan kepalanya. “Perhotelan?” ujar Laras. “Kok Mama baru tau Lia?” “Amel emang belum bilang Mam,” sahut Amel cepat. “Kenapa perhotelan? Kan masih banyak pilihan yang lain!” protes Laras. “Maaf,” sela Ardian sopan. “Saya rasa tidak masalah jika dia mengambil jurusan itu.” “Tapi,” “Sebagai orang tua, seharusnya memberi dukungan penuh untuk cita-cita anak, bukan malah menolak,” tegur Ardian halus. Seketika Amel mengangkat kepala dan memandang Ardian. Dia tidak percaya jika Ardian berani berkata demikian pada ibunya. Jauh di dalam hati, Amel merasa senang karena Ardian telah membelanya. Laras yang ditegur demikian oleh Ardian, langsung terdiam dan sedikit menundukkan wajah. Ardian menatap Amel dengan seksama, kemudian sedikit memajukan tubuhnya agar dapat lebih jelas melihat calon istrinya. “Sudah menentukan tempatnya?” tanya Ardian. “Sudah,” sahut Amel.  “Di mana?” Kemudian Amel menyebutkan nama sebuah perguruan tinggi yang terletak di Jakarta dan memiliki reputasi yang baik. Tempat yang dipilih Amel adalah salah satu perguruan tinggi terbaik di bidang perhotelan. Amel memilih tempat yang sama dengan Jonathan. “Tidak masalah,” sahut Ardian tenang. “Maksud kamu?” tanya Thomas. “Semua biaya kuliah Amelia, akan saya tanggung. Karena itu sudah kewajiban saya sebagai calon suaminya,” sahut Ardian santai. “Tapi,” “Tenang saja, ini tidak termasuk dalam perjanjian kita,” sela Ardian lugas. “Saya hanya memikirkan kesejahteraan Amelia, tidak lebih dari itu. Saya harap anda mau mengerti,” sela Ardian. “Baiklah,” ujar Thomas dengan berat hati. “Sekarang boleh tinggalkan kami berdua? Saya ingin mengobrol dengan Amelia, sekaligus mengenalnya lebih jauh. Thomas dan Laras saling berpandangan satu sama lain. Mereka sedikit khawatir meninggalkan putri mereka hanya berduaan saja dengan Ardian. “Tenang saja, saya tidak akan melakukan hal-hal yang akan merugikan Amelia,” janji Ardian saat melihat kedua orang tua Amel sedikit keberatan. Akhirnya Thomas berdiri dari sofa, menarik tangan istrinya dan keluar dari ruang tamu dengan terpaksa. “Kamu sudah makan?” tanya Ardian ketika kedua orang tua Amel sudah pergi. “Belum,” sahut Amel jujur. “Kenapa belum makan? Ini sudah lewat dari jam makan malam kamu,” tegur Ardian. Amel terdiam mendengar perkataan Ardian. Mengapa pria ini bisa tahu jam makan malamnya, seolah-olah pria ini sudah lama mengenal Amel. “Kenapa tidak menjawab?!” tuntut Ardian. “Masih kenyang,” sahut Amel. “Tadi ke rumah teman, dan makan banyak di sana.” Amel mencoba menjelaskan karena melihat pria itu terlihat mengerutkan kening dan wajahnya terlihat tidak suka. “Oh, oke.” “Kenapa kamu datang?” tanya Amel. Karena penasaran, Amel melupakan rasa takut dan bertanya karena penasaran. “Seperti yang saya bilang sama orang tua kamu tadi, saya ingin mengenal kamu,” sahut Ardian sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar. “Kenal saya? Maksudnya?” “Selama ini saya hanya bisa liat foto kamu, tanpa dapat berbicara. Karena itu, saya memutuskan mulai sekarang akan belajar mengenal kamu.” “Tapi,” “Tenang saja, saya tidak akan mengganggu waktu kamu,” janji Ardian. Entah mengapa, hati Amel perlahan dapat merasakan ketulusan pria yang duduk di seberangnya, walaupun dirinya masih kesulitan menerima penampilan fisik Ardian yang jauh dari kata sempurna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD