Rio Menyatakan Perasaan

2146 Words
“Mel, besok temenin aku ke Senayan yuk,” ujar Jonathan ketika sedang di gazebo. “Mau ngapain?” tanya Amel yang sedang asik membaca majalah remaja. “Olahraga, mumpung besok Sabtu,” sahut Jonathan. “Nggak ah, besok gue mau jalan.” “Ke mana? Sama siapa?” “Sama Rio,” sahut Amel sambil memasukkan anggur ke mulutnya. “Lagi?” tanya Jonathan sambil mengerutkan keningnya. “Iye, kenapa?! Mau ngelarang?!” “Kalo aku bilang iya, kamu pasti marah.”  “Iyalah! Apa hak elo coba ngelarang gue pergi sama dia!” “Tapi aku beneran nggak suka kamu jalan sama dia, Mel,” ujar Jonathan. “Kasih tau gue alesannya kenapa elo nggak suka sama dia?!” tantang Amel. “Sekarang aku belum bisa bilang. Yang aku tau, hati aku nggak tenang aja ngebiarin kamu jalan sama dia.” “Berarti itu kan cuma prasangka elo doang Jo! Udah ah, mending gue ke kamar!” ujar Amel sambil beranjak. “Awas! Nggak boleh masuk ke kamar gue!” ancam Amel sebelum meninggalkan Jonathan. Jonathan memandangi kepergian Amel dengan tatapan sedih. Bagaimana mungkin dia membiarkan gadis yang sudah mencuri hatinya sejak lama terluka. Entah mengapa dia yakin jika Rio punya maksud yang tidak baik terhadap Amel. “Aku cuma nggak mau liat kamu terluka dan kecewa Candy,” gumam Jonathan. “KAK JO!” seru Brenda sambil berlari menghampiri Jonathan. “Kenapa?” tanya Jonathan yang langsung merubah raut wajahnya. “Belum mau pulang kan?” tanya Brenda sambil duduk di seberang Jonathan. “Memang kenapa? Pasti mau minta sesuatu,” tebak Jonathan. “Ajarin aku main gitar lah Kak,” pinta Brenda dengan manja. Jonathan terkekeh mendengar permintaan Brenda. Jonathan menatap Brenda dengan seksama sebelum menjawab. “Tumben pengen belajar main gitar? Ada apakah?” goda Jonathan dengan mata jenaka. Brenda tersipu mendengar candaan Jonathan, dan membuat dia semakin yakin dengan dugaannya. “Ada cowok yang lagi kamu taksir?” tebak Jonathan. Pipi Brenda langsung merona begitu mendengar tebakan Jonathan. “Ah …, tebakan Kakak bener ya?” goda Jonathan. “IH …, jangan keras-keras dong Kak,” sahut Brenda. “Emang kenapa?” “Nanti kalo Kak Amel tau bisa berabe. Kayak nggak tau aja mulut pedes dia,” sahut Brenda. “Tenang, dia nggak akan denger.” “Yakin?” “Hm,” sahut Jonathan.’ “Jadi mau belajar gitarnya?” “Jadi dong.” “Kakak ajarin dari dasarnya ya.” “Oke,” sahut Brenda. Jonathan mengambil gitar yang tadi dia letakkan di sudut gazebo, dan mulai mengajari Brenda bermain gitar mulai dari cara memegang gitar yang benar serta kunci-kunci dasar. Dan untuk sejenak, Jonathan melupakan keresahannya tentang Rio. *** Keesokan harinya, Amel bangun dengan penuh semangat karena sebentar lagi akan bertemu dengan Rio. Hubungannya dengan pemuda itu semakin hari semakin dekat, dan dia semakin menyukai Rio. Amel sangat berharap Rio juga punya perasaan yang sama dengan dirinya. Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh, Amel bergegas mandi dan bersiap-siap, karena Rio akan menjemputnya sebentar lagi.   “Mam, Amel pergi dulu ya.” “Kamu mau ke mana Lia?” tanya Laras. “Mau main Mam.” “Sama Jojo?” “Nggak. Amel ada janjian sama temen.” “Siapa? Sheila?” “Bukan Mam. Pokoknya ada deh …. Nanti pasti Amel bawa ke rumah dan kenalin ke papa dan Mama,” ujar Amel.  “Iya, Mama percaya sama kamu kok. Inget aja pesen Mama ya, jaga diri, sikap, dan tutur kata kamu.” “Iya Mam,” sahut Amel. “Amel pergi dulu ya.” Amel memeluk Laras dan mencium kedua pipi Laras. Amel berlari menuju ke gerbang, karena Rio sudah menunggunya di depan.  “Sori, lama ya?” ujar Amel saat tiba di hadapan Rio. “Nggak juga kok,” sahut Rio santai. “Pergi sekarang?” “Ayo,” sahut Amel. Rio memberikan helm pada Amel sambil memperhatikan penampilan gadis itu. Rio tersenyum samar sambil duduk di motornya. Rio menunggu sampai Amel naik dan duduk di belakangnya. “Mau ke mana kita?” tanya Rio sebelum menjalankan motor. “Kamu mau ke mana?” Amel balik bertanya. “Terserah kamu,” sahut Rio. “Gimana kalo ke PIM?” tanya Amel. “Oke. Kamu pegangan ya,” ujar Rio sambil menyalakan motor. Amel tersenyum kecil mendengar perkataan Rio. Hatinya semakin berbunga-bunga mendapat perhatian manis dari Rio. Dengan malu-malu, Amel melingkarkan tangannya di pinggang Rio. Jonathan yang sudah pulang dari olahraga pagi memperhatikan dari balik gorden di balkon rumahnya. Hatinya sedikit cemburu melihat Amel memeluk Rio, padahal selama ini hanya pada dirinya Amel bersikap begitu. Kemudian Jonathan berjalan menuju ke kamarnya dan menghubungi Christian. “Halo Om,” “Ada apa Jo?” “Yang waktu itu Jo minta udah dikerjakan?” “Sedang dikerjakan, kenapa?” “Udah ada hasilnya?” “Sampai saat ini belum ada titik terang Jo. Orang yang Om suruh belum berhasil menemukan ketiga pria dengan ciri-ciri yang kamu sebutin.” “Jadi kemungkinan itu rekayasa?” “Sepertinya demikian. Karena Om yakin daerah itu aman.” “Oke Om, kalo ada perkembangan, tolong kabarin Jo ya.” “Oke.” “Makasih Om.” Jonathan memutuskan hubungan, kemudian langsung mengirimkan pesan pada Reza. Jo : za, temenin gue Reza : ke mana? Jo : udah, ikut aja Reza : lo jemput gue kan? Jo : iya Reza : oke Jonathan bergegas mandi dan berganti pakaian. Setelah itu dia ke bawah sambil membawa helm dan kunci motor. Di ruang depan, dia berpapasan dengan Surti, ART yang bekerja di rumahnya sejak beberapa tahun belakangan ini. “Bi, Jojo pergi dulu,” ujar Jonathan pada Surti. “Den Jojo mau ke mana?” “Ke rumah Reza.” “Berarti nggak makan siang di rumah?” “Nggak Bi.” Jonathan berjalan keluar rumah dan menuju ke garasi. Jonathan menyalakan motor dan mendiamkan sebentar. Setelah itu barulah dia mengemudikan motor menuju ke rumah sahabatnya. Tiba di rumah Reza, dia melihat sahabatnya sedang duduk di teras sambil makan roti.  Begitu melihat motor Jonathan, Reza bergegas menghampiri Jonathan sambil membawa helm miliknya sendiri. “Mau ke mana kita?” tanya Reza sambil memakai helm. “Ke tempat les Amel,” sahut Jonathan. “Mau ngapain?” tanya Reza bingung. “Ada sesuatu yang mesti gue cari tau.” “Nggak masalah, asal asupan gizi gue dicukupi,” sahut Reza. “Ayo buruan naik.” Reza mengikuti perintah sahabatnya yang langsung melajukan motornya menuju tempat les Amel. Jonathan menepikan motornya beberapa meter sebelum bangunan Cipta Musik, tempat les Amel. “Jo, mau nyari apaan kita di sini?” tanya Reza setelah turun dari motor. “Gue penasaran sama kejadian Amel dihadang preman Za. Ada sesuatu yang janggal menurut gue.” “Ah, bisa-bisaan elo aja kali. Namanya musibah kan bisa terjadi di mana aja,” sahut Reza. “Itu gue juga tau Za. Tapi masalahnya, selama ini belum pernah ada kejadian seperti itu di sini.”  “Mungkin para preman itu emang yang selalu berada di daerah sini Jo,” sahut Reza. “Nggak mungkin Za,” “Kenapa nggak mungkin?” sela Reza penasaran. “Di daerah sini nggak ada premannya, karena yang jaga daerah sini itu petugas keamanan tempat les Amel. Dia mantan preman yang udah tobat, dan sejak Bang Firman kerja di Cipta Musik, sepanjang daerah ini aman Za.” “Elo kenal sama itu orang?” sela Reza semakin penasaran. “Kenalah, kan tiap Amel les, gue nungguin. Karena nggak ada kerjaan ya gue ngobrol-ngobrol sama Bang Firman.” “Oo …,” ujar Reza. “Terus sekarang kita ke sini mau tanya sama Bang Firman?” “Iya, gue masih penasaran Za.” “Emang elo belum sempet nanya? Kan Amel udah dua kali les setelah kejadian kemarin.” “Bukan gue yang anter jemput Za, tapi yang namanya Rio,” sahut Jonathan dengan nada datar. “Berarti itu orang gerak cepet buat mepet Amel. Elo kudu hati-hati Jo.” Jonathan tidak mengacuhkan perkataan Reza. Dia berjalan menuju motor dan mengendarainya  ke pos keamanan Cipta Musik untuk  menemui Firman. “Bang,” sapa Jonathan saat melihat Firman sedang duduk di dalam pos. “Hai Jo, apa kabar? Tumben ke sini?” sahut Firman seraya berjalan keluar dari pos. “Abang lagi sibuk nggak?”  “Nggak tuh, kenapa?” “Gue mau ngobrol sebentar Bang.” “Eh, ngomong-ngomong, kenapa elo nggak anter jemput Amel?” “Nah, gue ke sini mau ngomongin masalah itu Bang.” “Oke. Gimana kalo kita ke warung kopi di seberang?” tanya Firman. Jonathan menganggukkan kepalanya. Firman, Jonathan, dan Reza menyeberangi jalan menuju ke warung kopi dan duduk di sana. Kemudian Jonathan menceritakan kejadian yang menimpa Amel tiga minggu yang lalu sesuai yang gadis itu ceritakan padanya. “Setau gue di sini nggak ada orang-orang yang kayak elo sebutin tadi Jo,” ujar Firman setelah Jonathan selesai bercerita. “Kira-kira Abang bisa bantuin gue buat nyari tau nggak?” “Nggak masalah.” “Sekalian minta tolong Abang awasin cowok yang anter jemput Amel ya. Gue curiga sama dia Bang.” “Siap. Gue juga sebenernya kurang respek sama itu anak Jo,” “Berarti bukan gue doang kan yang ngerasa begitu,” sela Jonathan. “Udah, elo tenang aja. Nanti kalo ada kabar, gue pasti infoin ke elo.” “Makasih ya Bang,” ujar Jonathan. “Kalo gitu gue langsung pamit.” “Mau ke mana lo? Buru-buru amat sih?” “Gue mau ke tempat Amel waktu itu dihadang Bang, siapa tau bisa dapet sesuatu di sana.” “Oke.” Kemudian Jonathan dan reza pergi meninggalkan warung kopi dan menuju ke lokasi tempat Amel bertemu dengan Rio  menggunakan motor. *** Sementara itu, Amel menikmati waktunya bersama Rio dengan gembira. Amel sangat bahagia bisa bersama Rio, apalagi ketika pemuda itu menggandeng tangannya. “Kamu laper?” tanya Rio. “Sedikit,” sahut Amel malu-malu. “Kita makan dulu yuk,” ajak Rio. “Boleh. Mau makan di mana kita?” tanya Amel. “Bebas,” sahut Rio. Akhirnya Amel memilih makan di sebuah restoran Jepang yang ada di dalam mall. Rio mengikuti keinginan gadis itu. Saat mereka sedang menunggu pesanan datang, ponsel Rio berbunyi. “Mel, tunggu sebentar ya, aku mau jawab telepon sebentar.” “Oke,” sahut Amel. Rio berdiri dan berjalan keluar dari restoran sambil menjawab panggilan telepon. “Halo? Ada apa?” “Elo di mana?” tanya suara perempuan dari seberang. “Lagi di PIM. Kenapa?” “Sama dia?” “Iya. Elo mau apa?” “Dia gimana? Seneng diajak jalan sama elo?” “Iyalah.” “Pokoknya harus sukses ya.” “Tenang aja, nggak lama lagi dia bakalan jadi pacar gue.” “Oke.” “Gue tutup dulu teleponnya. Dan jangan hubungin gue lagi. Elo tunggu kabar aja dari gue.” Setelah memutuskan sambungan, Rio kembali masuk ke dalam dan menghampiri Amel yang sedang menata makanan yang baru datang. “Sori, lama ya?” ujar Rio. “Gapapa. Emang siapa yang telepon?” “Mama aku.” “Oh …,” ujar Amel. “Kita makan dulu yuk, mumpung masih hangat.” Rio duduk dan mulai menikmati udon bersama dengan Amel.  “Enak?” tanya Amel. “Bukan enak lagi Mel, tapi mantap,” sahut Rio sambil tersenyum. “Pilihan aku nggak salah kan,” ujar Amel. “Habis ini kamu mau ke mana lagi?” tanya Rio setelah mereka menghabiskan udon. “Nonton yuk,” ujar Amel. “Boleh.” “Yeay!” seru Amel sambil tertawa senang. “Kalo gitu, ayo kita ke sana,” ujar Rio. Selesai menonton, hari sudah gelap, dan sudah waktunya bagi Rio untuk mengantarkan Amel kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Amel memeluk Rio dari belakang dengan erat, serta meletakkan kepalanya pada punggung Rio. Tiba di depan rumah, Amel turun dari motor dan merasaberat harus berpisah dengan Rio. “Kamu masuk ya,” ujar Rio lembut. “Kenapa sih waktu jalannya cepet banget sih!” gerutu Amel. “Nanti kan bisa ketemu lagi.” “Iya, tapi kan aku masih pengen ngobrol sama kamu,” rajuk AMel. “Mel, aku mau tanya,” ujar Rio tiba-tiba. “Tanya apa?’ tanya Amel berharap. “Kamu punya perasaan lebih sama aku?” tanya Rio hati-hati. “Menurut kamu?” Amel balik bertanya. “Kalo memang iya, aku sangat senang Mel, karena itu artinya aku nggak bertepuk sebelah tangan,” sahut Rio. “Maksud kamu?” tanya Amel sambil berdebar-debar. “Aku suka sama kamu sejak pertama kita ketemu Mel. Dan aku sangat berharap kamu mau jadi orang yang bisa aku kangenin setiap saat, bisa berbagi perasaan sama aku, dan selalu nemenin aku,” ujar Rio sambil menggenggam tangan Amel. Amel terpaku mendengar penuturan Rio dan bibirnya tidak dapat berkata-kata.  “Kamu nggak usah jawab sekarang Mel.,” ujar Rio lembut. “Aku pulang dulu ya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD