Rio Datang ke Sekolah

2093 Words
Kak Lia!” seru Brenda dari luar kamar sambil menggedor kamar kakaknya. “Berisik banget sih!” balas Lia dari dalam kamar. “Kakak mau sekolah nggak sih?!” “Tunggu sebentar! Tanggung nih!” teriak Amel yang baru selesai mandi. “Pokoknya kalo lima menit lagi nggak turun, aku tinggal!” ancam Brenda. “Tinggal aja. Gue pergi bareng Jojo!” sahut Amel. “Terserah ah!” Brenda mengentakkan kaki dan berjalan meninggalkan kamar kakaknya. Brenda turun ke bawah dan menuju ruang makan dengan wajah cemberut. Hari ini dia harus berangkat lebih pagi karena ada tugas kelompok yang belum selesai dan harus dikumpul hari ini. Jadi kemarin Brenda sudah janjian dengan teman-teman sekelompok untuk menyelesaikan pagi ini. “Mana kakakmu Cha?” tanya Larasati. “Nggak tau!” “Lho kok gitu jawabnya?” “Biarin ah, kesel sama Kak Lia!” “Pagi-pagi kok udah kesel? Ntar cantiknya ilang lho?” goda Jonathan yang baru masuk ke ruang makan. “Tanya aja sama sahabat Kak Jo!” gerutu Brenda. “Pagi Mam,” sapa Jonathan sambil memeluk Larasati dengan erat. “Kamu udah sarapan belum Jo?” “Belum dong, makanya Jojo ke sini.” “Ayo cepetan duduk, terus kamu makan,” ujar Larasati. Jonathan menuruti perintah Laras dan duduk di salah satu kursi. “Lia ngapain lagi?” tanya Jonathan pada Brenda yang sedang menghabiskan s**u. “Masih di kamar, nggak tau lagi ngapain. Mam, aku jalan duluan ya.” Brenda mencium pipi Laras sebelum pergi. “Jo, kamu tolong panggil Lia dulu ya,” pinta Laras. “Oke Mam.” Jonathan beranjak dari kursi dan berjalan menuju ke kamar Amel. “Mel.” Jonathan memanggil sahabatnya sambil mengetuk pintu kamar. “Masuk aja Jo!” sahut Amel dengan suara keras. Jonathan membuka pintu “Kamu belum siap?” tanya Jonathan melihat gadis itu masih menyisir rambutnya. “Keliatannya?” “Semalem begadang lagi?” “Maunya?” “Kamu mau aku tinggal juga?” tanya Jonathan sabar. “Ini udah selesai,” sahut Amel cepat. Amel berlari ke meja belajar dan mengambil tas sekolahnya. Kemudian bergegas menyusul Jonathan yang sudah terlebih dulu turun. “Ma, Lia pergi dulu!” seru Amel sambil berlari melintasi ruang makan. “Eh, mana bisa gitu. Sarapan dulu!’ ujar Laras tegas. Amel langsung menghentikan larinya begitu mendengar suara tegas Laras. Perlahan dia membalikkan badan serta berjalan menuju ruang makan dan duduk di samping Jonathan yang sudah mulai makan roti panggang yang diolesi selai stroberi. “Mam, dari kemarin kok Amel nggak liat papa?” tanya Amel sambil mengambil selembar roti panggang serta mengolesinya dengan selai cokelat. “Oh, Mama lupa bilang, Papa kamu lagi ke Surabaya ngecek kantor cabang di sana.” “Kapan pulang Mam?” “Hari Jumat malam, itu juga kalo di sana udah beres. Memang kenapa?” “Gapapa, kangen aja sama papa.” “Iya. tapi sekarang mending cepetan makannya terus berangkat sekolah, nanti kesiangan.” “Tenang Mam, nggak akan telat selama perginya sama Jojo,” sahut Amel dengan mulut penuh. “Hush! Kamu kalo ngomong suka ngawur.” “Emang kenyataan Mam. Jojo itu kalo bawa motor emang jarang ngebut, tapi selalu bisa sampai sekolah sebelum waktunya masuk,” sahut Amel dengan nada bangga. “Iya, iya, Mama percaya.” Tidak lama kemudian Jonathan dan Amel berangkat ke sekolah menggunakan motor kesayangan Jonathan. *** Ketika jam pelajaran berakhir, Amel bergegas membereskan tas nya dan keluar dari kelas bersama Sheila serta meninggalkan Jonathan yang sedang mengobrol dengan Reza dan juga Bima. Di halaman sekolah, langkah Amel terhenti karena dia melihat Rio yang sedang berdiri dekat gerbang sekolah.  Rio yang memang sengaja datang untuk bertemu dengan Amel langsung melambaikan tangannya saat melihat gadis itu. Amel bergegas menghampiri Rio sambil menarik tangan Sheila. “Hai Amel,” sapa Rio ramah saat Amel tiba di hadapannya. “Kok kamu bisa di sini?” tanya Amel gugup. “Mau ketemu siapa?” “Ketemu sama kamu dong.” “Kok bisa tau aku sekolah di sini?” tanya Amel. “Dari tanda lokasi di seragam kamu,” sahut Rio sambil menunjuk seragam Amel. “Oh ….” sahutt Amel bingung. “Dia siapa Mel?” bisik Sheila. “Eh? Oh, ini namanya Rio. Dia yang kemarin ini nolongin gue pas diganggu sama preman,” sahut Amel linglung. “Kamu temennya Amel?” tanya Rio ramah pada Sheila. “Iya. Kenalin gue Sheila.” “Saya Rio,” ujarnya sambil mengulurkan tangan pada Sheila. “Kamu udah mau pulang Mel?’ tanya Rio. “I-iya,” sahut Amel. “Boleh kalo aku yang anter kamu pulang?” tanya Rio sambil menatap Amel. “Eng …,” “Maaf, tapi Amel pulang sama saya,” sela Jonathan yang sudah tiba dan berdiri di belakang Amel. “Oh, maaf,” ujar Rio. Amel membalikkan badan dan menatap Jonathan. “Jo, gue hari ini pulang sendiri ya,” ujar Amel. Jonathan langsung mengerutkan kening begitu mendengar perkataan sahabatnya. Biasanya Jonathan akan mengijinkan jika Amel ingin pulang sendiri, akan tetapi kali ini hatinya merasa was-was. Entah mengapa dirinya merasakan sesuatu hal yang kurang baik terhadap Rio. Dan tanpa sepengetahuan Amel, dia sedang menyelidiki kasus preman yang menimpa Amel. “Ya …,” pinta Amel karena Jonathan hanya diam saja. “Kamu yakin?’ tanya Jonathan sedikit sangsi. “Iya.” “Terus kamu mau pulang sama siapa ?” “Em …, sama Sheila.” Jonathan menatap tajam pada Amel, dan membuat gadis itu langsung menundukkan kepalanya. “Terserah kamu aja!” ujar Jonathan datar dan langsung berbalik meninggalkan Amel. “Mel, kayanya Jo marah tuh sama elo,” bisik Sheila yang sedikit takut melihat sikap Jonathan yang dingin. “Biarin aja, ntar juga baik lagi,” sahut Amel acuh. Sementara itu, Rio terus memperhatikan interaksi antara Amel dan Jonathan. Diam-diam Rio tersenyum saat Jonathan tidak melarang Amel untuk pulang bersama Sheila yang artinya dia akan dapat bersama dengan Amel, gadis yang sudah mengusik hati dan pikirannya. “Kamu jadi anter aku pulang?” tanya Amel pada Rio setelah Jonathan pergi. “Kalo kamu oke, ayo aja.” “Oke,” sahut Amel cepat. “Tapi aku sama Sheila ya?” “Silakan,” sahut Rio. “Ayo Shel.” Amel menarik tangan Sheila supaya mengikuti dirinya. Sheila mengikuti Amel sambil sesekali menoleh ke arah Jonathan yang ternyata memperhatikan mereka dari jauh. “Andai Jonathan mau ngeliat gue dan bersikap manis ke gue,” batin Sheila. “Kita naik mikrolet lagi kan?” tanya Amel. “Nggak. Aku tadi habis dari kampus dan kebetulan bawa mobil. Keberatan?” tanya Rio. “Nggak lah,” sahut Amel sambil tersenyum manis. Amel dan Sheila berjalan mengikuti Rio menuju mobil. Rio sengaja meminjam mobil kepada salah seorang teman kampusnya agar dapat mengantar Amel pulang, sekaligus supaya terlihat sebagai pemuda dari keluarga berada. “Gimana kalo kita makan dulu?” tanya Rio setelah mereka berada di dalam mobil. Amel menoleh ke belakang dan meminta pendapat Sheila melalui pandangan mata. Amel melihat Sheila mengangguk. “Boleh juga,” sahut Amel. “Kamu mau makan apa?” tanya Rio. “Hm …, mie ayam sepertinya enak,” sahut Amel. “Oke. Punya tempat favorit?” “Ada sih, tapi lumayan jauh.” “Di mana?” “Di deket Hotel M,” sahut Amel. “Itu kan di deket Fatmawati, bener nggak?” tanya Rio. “Iya,” sahut Amel malu-malu. “Baiklah,” ujar Rio setelah berpikir sejenak. Rio mengendarai mobil menuju ke tempat mie ayam yang disebutkan oleh Amel. Setelah tiba, mereka bertiga turun dari mobil dan masuk ke dalam warung. “Kamu sering ke sini?” tanya Rio. “Iya. Biasanya sama Jojo.” “Amel tuh hobi makan lho,” ujar Sheila pada Rio. “Oh ya?” “Iya. Tapi dia kalo pergi selalu sama temennya yang tadi,” ujar Sheila. “Ih, apaan sih lo Shel?!” desis Amel yang tidak suka  dengan perkataan temannya. Rio tertawa mendengar percakapan gadis-gadis di hadapannya. Apalagi saat melihat wajah cemberut Amel yang sangat menggemaskan di matanya.  “Aku nggak masalah kok,” sahut Rio santai. Amel langsung tersipu mendengar perkataan Rio. Amel mengambil gelas berisi teh hangat dan meminumnya untuk menutupi rasa gugupnya. Tidak lama kemudian, pesanan mereka datang. Mereka makan sambil mengobrol dan tertawa, sehingga perlahan-lahan kekakuan di antara Amel dan Rio mulai mencair. Sepanjang makan, diam-diam Amel selalu mencuri-curi pandang kepada Rio yang duduk persis di hadapannya. Hati Amel semakin berdebar setiap meihat Rio tersenyum. “Kenapa ngeliatin aku terus?” tanya Rio sambil tersenyum. “Apa ada kotoran di muka aku?” “Eng …, nggak ada kok,” sahut Amel tersipu-sipu. Sheila yang sejak tadi memperhatikan, diam-diam merasa kesal dan cemburu pada Amel. Entah mengapa, temannya ini selalu mudah untuk bergaul bahkan cowok-cowok di sekolah banyak yang menyukainya. Namun, sampai hari ini Amel tidak pernah menanggapi hal itu, malah selalu lengket pada Jonathan. “Kalo udah selesai makannya, kita pulang yuk,” ajak Rio. Amel sedikit kecewa mendengar ucapan Rio. Sebenarnya dia masih ingin berlama-lama di sini supaya bisa puas memandangi pemuda tampan tersebut. Rio yang memperhatikan perubahan raut wajah Amel seperti memahami perasaan gadis itu. “Kapan-kapan kan kita bisa pergi lagi,” ujar Rio. “Beneran?” sahut Amel dengan antusias. “Hm.” Amel pun bergegas bangkit dan langsung berdiri di samping Rio sambil tersenyum manis. Sedangkan Sheila semakin  cemberut melihat keakraban di depan matanya. Bahkan Rio pun tidak sedetik pun memandang dirinya sejak tadi. “Aku mesti anter kamu ke mana?” tanya Rio pada Sheila ketika sudah berada di dalam mobil. “Biar gue turun di halte setelah lampu merah depan aja,” sahut Sheila. “Lho emang kenapa? Rumah kamu di mana?” tanya Rio. “Nggak jauh sih dari halte depan.” “Ya udah kalo gitu biar sekalian aku anter aja, toh searah.” “Begitu juga baik,” sahut Sheila sambil tersenyum manis. Siapa yang tidak suka mendengar suara Rio yang lembut juga penuh perhatian. Rio mengemudikan mobilnya dalam diam hingga tiba di halte bis yang disebutkan oleh Sheila. Rio menepikan mobilnya di pinggir jalan dan menunggu sampai gadis itu turun. “Makasih ya,” ujar Sheila sebelum menutup pintu mobil. “Gue duluan Mel.” “Tiati Shel,” sahut Amel. Kemudian Rio kembali menjalankan mobil menuju ke rumah Amel. Di tengah jalan, tiba-tiba Rio teringat akan sesuatu dan menoleh pada Amel yang duduk di sampingnya. “Mm, aku boleh minta nomor ponsel kamu?’ tanya Rio. “Buat?”  “Buat ngobrol sama kamu dong. Masa iya buat nagih utang,” sahut Rio. Amel meringis mendengar jawaban Rio, dan menjadi malu sendiri karena sejak tadi pikiran Amel tertuju pada Rio. Kemudian dia menyebutkan nomor ponselnya yang langsung disimpan Rio di memori ponsel. “Orang tua kamu marah nggak kamu pulang telat?” “Nggak lah,” sahut Amel cepat. “Aku juga sering kok pulang telat. Emang kenapa?” “Gapapa,” sahut Rio. “Mm, kalo misal aku ajak kamu pergi lagi, atau main ke rumah kamu boleh?” Amel terkejut mendengar pertanyaan Rio. Hatinya berdetak kencang dan wajahnya langsung merona merah.  “Eng …, gapapa kok,” ujar Amel pelan. “Kamu lucu ya,” ujar Rio sambil mengacak-acak rambut Amel dengan tangan kirinya. Amel semakin tersipu mendapat perlakuan manis dari Rio. Selama ini hanya Jonathan yang selalu mengacak-acak rambut dan mengelus kepalanya. Entah mengapa, saat Rio yang melakukannya, hatinya seakan hendak melompat keluar. “Nah, kita udah sampe di depan komplek. Aku mesti ke mana?” tanya Rio. Kemudian Amel mulai menunjukkan jalan menuju ke arah rumahnya. “Nah, itu rumah aku,” ujar Amel sambil menunjuk rumah berlantai dua di depan mereka. Rio menepikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Tata. Rio memperhatikan rumah Amel dengan seksama. Rumah berlantai dua bergaya eropa klasik yang identik dengan pilar-pilar besar. Muncul seringai kecil di wajah Rio saat mengamati rumah Amel.  “Makasih ya udah anterin aku pulang.” “Sama-sama,” sahut Rio. “Eh, makasih juga udah traktir.” Rio tertawa mendengar perkataan Amel, dan menunggu sampai Amel turun. “Hati-hati ya,” ujar Amel sambil menundukkan kepalanya untuk melihat pada Rio. “Oke. Nanti malam aku telepon ya.” “Siap,” sahut Amel sambil tersenyum manis. Jonathan yang memang sedang berdiri di balkon rumahnya, melihat saat Amel turun dari mobil. Dari tempatnya berdiri, Jonathan memang tidak dapat melihat dengan jelas roman wajah Rio, akan tetapi hatinya semakin merasa khawatir mengetahui pemuda itu sudah mengetahui rumah Amel.  “Sepertinya aku mesti minta bantuan om Christ untuk mencari tahu tentang Rio,” gumam Jonathan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD