Asal Kamu Bahagia

2053 Words
“Kenapa muka kamu keliatan seneng banget Mel?” tanya Jonathan keesokan harinya saat main ke rumah Amel. “Keliatan banget ya?” tanya Amel sambil tak berhenti tersenyum. “Hm.” “Semalem Rio ‘nembak’ gue Jo,” ujar Amel. “Terus kamu jawab apa?” tanya Jonathan dengan nada datar. “Belum gue jawab sih. Dia bilang gue boleh jawab setelah yakin,” sahut Amel yang tidak menyadari perubahan raut wajah dan suara Jonathan. Jonathan mengubah posisi duduknya dan menatap lurus pada Amel yang berada di sampingnya. “Mel, apa nggak bisa kamu pertimbangkan lagi? Kamu kan baru kenal sama dia, dan belum tau latar belakang keluarga, dan dengan siap dia bergaul,” ujar Jonathan mencoba membujuk Amel. “Menurut gue nggak perlu deh, semua kan bisa bertahap Jo. Lagian kenapa sih elo kayaknya nggak suka banget sama Rio? Jangan-jangan elo cemburu ya? Takut kalo gue nggak sayang lagi sama elo?” Jonathan mengembuskan napas mendengar perkataan Amel. Da memandangi gadis itu dengan hati yang terluka.  “Aku cuma nggak pengen liat kamu terluka Mel,” sahut Jonathan. “Tenang aja, gue nggak bakalan terluka karena Rio, karena gue yakin banget dia cowok baik-baik,” sahut Amel dengan mantap. “Terserah kamu aja!” sahut Jonathan. Jonathan kenal betul sifat  Amel. Keras kepala, sering bertindak ceroboh, dan selalu mengikuti perasaannya tanpa mau berpikir panjang. Saat ini, percuma saja berbicara panjang lebar pada Amel yang sedang berbahagia, karena pasti akan ditolak mentah-mentah.  *** “Shel, gue punya kabar penting buat elo,” ujar Amel ketika bertemu Sheila di kelas pagi hari. “Kabar apaan?” tanya Sheila kurang antusias. “Waktu Sabtu, Rio nembak gue.” “Oh ya? Terus elo jawab apa?”  “Belum gue jawab sih. Rencananya besok baru gue jawab, pas dia anter gue les.” “Emang elo beneran suka ya sama Rio?” pancing Sheila. “Iya,” sahut Amel malu-malu. “Terus Jo mau dikemanain?” “Gue itu sama Jo cuma sahabat Shel, nggak lebih dari itu,” sahut Amel. “Kalo gue ngejar Jo gimana?” tanya Sheila. “Elo suka sama Jo?’ tanya Amel sedikit terkejut. “Iya. Gue udah suka sama Jo sejak tahun lalu,” sahut Sheila. “Wuih …, keren. Terus kenapa nggak coba elo deketin?” “Udah, tapi hasilnya nihil,” “Terus elo mau nyerah?” sela Amel gemas. “Nggak juga. Gue sempet mikir Jo dingin ke cewek karena dia pacaran sama elo. Ternyata nggak toh. Kalo elo nggak keberatan, gue mau coba deketin dia lagi.” “Silakan aja, gue nggak keberatan kok. Tapi asal elo tau, dia emang nggak suka deket-deket sama cewek Shel. Elo kan liat sendiri gimana dia kalo di sekolah.” “Iya sih. Gue penasaran, jangan-jangan dia pernah disakitin sama cewek ya?” “Nggak tuh. Dari gue kenal dia pas masih kecil emang udah gitu. Nggak suka main dan ngobrol sama cewek. Temen cewek dia ya cuma gue doang.” “Aneh dan unik,” gumam Sheila. “Kurang satu lagi Shel. Jonathan itu spesies langka,” sahut Amel. “Kasih tau gue dong cara ngedeketin dia, dan supaya gue bisa ngobrol-ngobrol gitu lah sama Jo.” “Kalo itu gue ngga tau Shel, elo coba aja sendiri,” sahut Amel.  “Mel!” seru Reza dari pintu kelas. “Nggak usah pake teriak kali Za!” sahut Amel. “Ada apaan?!” “Dicariin sama Ibu Widia di ruang guru.” “Eh, kenapa?” tanya Amel bingung. “Mana gue tau. Buruan, bentar lagi kan bel masuk,” sahut Reza yang langsung pergi lagi. “Ih, ngomong kok nggak jelas,” gerutu Amel sambil berdiri.”Gue ke ruang guru dulu Shel.” Amel berjalan meninggalkan kelas menuju ruang guru untuk menemui Widia, guru Bahasa Indonesia. “Liat aja Mel, Jonathan pasti bakalan jadi milik gue,” gumam Sheila setelah Amel keluar kelas. *** Pulang sekolah, seperti biasa Amel berjalan mengikuti Jonathan menuju ke parkiran motor. Sejak kemarin, sahabatnya ini lebih banyak diam dan Amel merasa Jonathan seperti sedang marah. “Jo, kenapa sih dari kemarin elo diem aja? Elo marah sama gue?” tanya Amel saat menunggu Jonathan memakai jaket di area parkir. “Nggak,” sahut Jonathan singkat. “Jangan bohong deh, kan gue kenal elo Jo,” sahut Amel sambil memakai helm yang diberikan Jonathan. “Ayo naik,” ujar Jonathan. “Aku anter kamu sampe rumah, udah gitu aku mau ada perlu.” “Elo mau ke mana? Gue ikut ajalah sekalian,” ujar Amel yang merasa semakin aneh dengan sikap Jonathan. Biasanya Jonathan selalu pergi bersama dirinya, walaupun hanya ke mini market.  “Nggak bisa Mel,” sahut Jonathan. “Ih, mau main rahasiaan sama gue?!”  “Bukan gitu, aku mau ke kantor papi. Tadi pagi papi nyuruh aku ke sana. Kamu kan paling nggak suka kalo ke sana,” sahut Jonathan tanpa memandang Amel. “Oo …, bilang dong dari tadi!” ujar Amel yang akhirnya naik dan duduk di belakang Jonathan, “Pegangan,” ujar Jonathan tidak menanggapi perkataan Amel. Jonathan mengendarai motor dalam diam, dan membuat Amel semakin merasa ada sesuatu yang tidak beres pada sahabatnya. Tetapi Amel juga tidak ingin bertanya lebih lanjut. Terkadang, Jonathan bisa bersikap sangat misterius dan sukar ditebak. Jika sudah seperti ini, Amel akan memilih diam dan bersikap tidak peduli. Jonathan mengantarkan Amel sampai di depan rumahnya. Jonathan mematikan motor dan menunggu sampai gadis itu turun dari motor. “Elo mau langsung pergi lagi?” tanya Amel ketika sudah turun dari motor. Jonathan melepaskan helm, kemudian menatap Amel. “Hm, aku jalan dulu ya.” Amel menatap manik mata Jonathan lekat-lekat. “Elo kayak lagi nutupin sesuatu Jo.” “Perasaan kamu aja Mel,” sahut Jonathan sambil memakai kembali helm nya. Kemudian Jonathan menyalakan kembali motornya dan pergi tanpa banyak bicara pada Amel. Jonathan mengendarai motor menuju ke kantor Christ. Jonathan memang sengaja menyebut akan ke kantor ayahnya, supaya Amel tidak bertanya lebih lanjut. Dia tidak ingin orang lain, bahkan Amel mengetahui urusan yang sedang menunggunya. Setelah memarkir motor, Jonathan berjalan memasuki bangunan dua lantai milik Christ. “Sore Mbak Lis, om ada?” tanya Jonathan pada Elisabeth, sekretaris Christ. “Oh kamu Jo, langsung masuk aja,” sahut Lisa. Jonathan membuka pintu kantor “Sore Om,” sapa Jonathan sambil melangkah masuk. “Hai Jo, sini masuk.” Jonathan berjalan menuju sofa yang ada “Kenapa Om panggil Jo ke sini?” “Kamu baca ini,” ujar Christ sambil menyerahkan amplop cokelat pada Jonathan. Jonathan menerima amplop yang disodorkan, membuka dengan cepat dan membaca isinya. “Ini maksudnya apa Om?” tanya Jonathan. “Almarhum mama kamu menitipkan ini buat kamu Jo,” “Kok bisa?” sela Jonathan datar. “Ceritanya panjang, dan Om rasa yang berhak menceritakan semua adalah papa kamu. Tugas Om adalah menyerahkan ini dan menjada semua aset mama kamu yang sudah dia limpahkan untuk kamu.” “Tapi Jo nggak mau terima semua ini Om. Jo nggak butuh yang beginian. Yang Jo butuhin itu adalah dia dan kasih sayang yang nggak pernah dia kasih buat Jo,” ujar Jonathan dengan tatapan terluka. “Om ngerti perasaan kamu, tapi saran Om minta papa kamu buat ceritain semuanya. Dan mengenai wasiat mama kamu, ini semua akan Om urus sesuai janji Om sama dia.” “Terserah Om aja,” sahut Jonathan. “Oh iya, kamu ada denger berita tentang papanya Amel?” tanya Christ. “Mengenai?” “Yang Om tahu, baru-baru ini dia mengambil pinjaman di bank dengan jumlah yang sangat besar untuk membuka cabang baru di Bandung.” “Kok bisa? Bukannya cabang yang di Surabaya sedang ada masalah?” tanya Jonathan. Christ memandangi anak sahabatnya dengan seksama. Walaupun usianya masih belia, akan tetapi naluri bisnis Jonathan sangat tajam dan biasanya apa yang diprediksi olehnya selalu benar. “Entahlah. Menurut Om kali ini Thomas terlalu berani dalam berspekulasi.” “Om tahu apa yang dijadikan jaminan sama Om Thomas?” “Rumah dan pabrik yang di Cikarang Jo.” Jonathan terdiam mendengar penjelasan dari Christ. Hatinya menjadi tidak tenang mendengar rumah utama dan pabrik yang di Cikarang yang dijadikan jaminan. Jika sampai gagal, dapat dipastikan keluarga Amel akan gulung tikar dan terjerat hutang yang sangat besar. “Semoga nggak terjadi apa-apa,” ujar Jonathan. “Papa kamu belum pulang Jo?” tanya Christ. “Belum Om,” sahut Jonathan. “Om, Jo pulang dulu ya,” ujar Jonathan sambil bangkit berdiri. Jonathan meninggalkan kantor Christ untuk kembali ke rumah. Di tengah jalan, dia mampir membelikan martabak untuk Amel. Tiba di rumah, Jonathan langsung berjalan menuju rumah Amel untuk mengantarkan martabak. “Kamu dari mana Jo?” tanya Laras. “Habis keluar sebentar Mam,” sahut Jonathan. “Amel mana Mam?” “Ada di belakang, katanya mau bikin PR.” “Kalo gitu Jo ke belakang dulu Mam,” ujar Jonathan. “Oh iya, ini buat Mama,” ujar Jonathan sambil mengulurkan bungkusan berisi martabak.” “Terus buat Lia?” tanya Laras sambil menerima bungkusan dari Jonathan. “Ini,” sahut Jonathan sambil menunjukkan bungkusan lain di tangannya.  “Sana ke belakang,” ujar Laras sambil menepuk pundak Jonathan. Jonathan bergegas ke belakang untuk menyerahkan bungkusan berisi martabak pada Amel. Dari jauh dia melihat gadis itu sedang sibuk menulis. “Mel kamu udah makan?” tanya Jonathan setelah tiba di samping Amel. “Udah,” sahut Amel sambil menoleh ke arah Jonathan. “Elo baru pulang?” “Hm.” “Itu apaan?” tanya Amel sambil menunjuk bungkusan di tangan Jonathan. Jonathan mengarahkan bungkusan di tangannya ke depan hidung Amel sambil tertawa kecil, sengaja menggoda gadis itu. “Martabak?” tanya Amel setelah mengendus bungkusan. “Hm.” “Martabak Purnama?” tanya Amel lagi. “Hm.” “Yeay!” seru Amel sambil merebut bungkusan dari tangan Jonathan. Amel segera mengeluarkan dus berisi martabak dan langsung mengambil sepotong serta memasukkan ke dalam mulut. “Mm …, ini enak banget,” ujar Amel dengan mulut penuh. “Makannya pelan-pelan,” tegur Jonathan sambil tersenyum melihat tingkah Amel. “Biarin, mumpung mama nggak liat,” sahut Amel. “Elo nggak makan?” tanya Amel. “Buat kamu aja.” “Beneran?” “Hm.” “Yeay,” sahut Amel sambil tertawa lebar menampakkan kedua lesung di pipinya. Jonathan mengambil buku PR Amel dan memeriksa tugas yang dikerjakan gadis itu.  Dia mengambil pensil dan mulai mencoret-coret di bagian yang salah serta memberikan jawaban yang benar.  “Salahnya banyak ya?” tanya Amel. “Nggak juga, cuma kamu kurang teliti aja,” sahut Jonathan. “Habis nungguin elo lama sih, jadi gue ngerjain sendiri.” “Sori ya, tadi banyak yang diobrolin di sana.” “Nggak masalah, kan sekarang elo udah di sini,” sahut Amel. “Eh, elo belum mandi?” tanya Amel yang baru sadar kalo Jonathan masih mengenakan seragam sekolah. “Belum, tadi pas sampe cuma taruh motor doang, terus langsung ke sini.” “Mandi dulu gih.” “Ntar aja, sekalian aku pulang.” “Jo, gue mau tanya.” “Tanya apa?’ sahut Jonathan lembut. “Tapi elo nggak boleh marah.” “Hm.” “Gue tau elo nggak suka sama Rio, tapi gue pengen terima dia. Menurut lo gimana?” Jonathan terdiam mendengar pertanyaan Amel. Jawaban apapun yang dia berikan, sama-sama tidak menyenangkan. Jonathan mengembuskan napas sebelum menjawab. “Terserah kamu aja Mel, toh kamu yang jalanin.” “Elo nggak marah?” tanya Amel. “Selama kamu seneng dan bahagia, aku nggak masalah,” sahut Jonathan. “Walaupun hati aku sakit Candy. Asalkan kamu bahagia, aku juga bahagia,” lanjut Jonathan dalam hati. Amel berdiri dan langsung menubruk Jonathan serta memeluk pemuda itu dengan erat. “Makasih Jojo,” ujar Amel. “Kenapa makasih?” “Karena elo udah ijinin gue sama Rio.” “Kenapa harus makasih sama aku sih?” “Karena buat gue, pendapat elo itu penting.” Jonathan terdiam mendengar perkataan Amel. Hatinya terasa sakit membayangkan Amel akan menjalin hubungan dengan Rio.  “Aku pulang dulu ya Mel,” ujar Jonathan sambil melepaskan pelukan gadis itu. “Kenapa?” tanya Amel. “Aku cape, pengen mandi terus tidur.” Jonathan bergegas bangkit dan berjalan meninggalkan Amel. Dia tidak ingin gadis itu mengetahui kekecewaan yang mungkin terpancar dari matanya. Kare
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD