Di Ujung Tanduk

2108 Words
“Pap, kenapa akhir-akhir ini kamu pulang terlambat terus?” tanya Laras saat Thomas sampai di rumah menjelang tengah malam. Malam ini Laras sengaja menunggu Thomas di ruang tengah. Sejujurnya dia merasa penasaran dan sedikit curiga pada suaminya. Belum pernah Thomas bersikap seperti sekarang selama mereka menikah selama hampir sembilan belas tahun. Thomas yang tidak menyangka jika istrinya masih terbangun sedikit terkejut ketika mendengar suara Laras. “Masih ada kerjaan yang belum beres,” sahut Thomas datar. Laras mengerutkan kening mendengar jawaban suaminya. Dia memperhatikan Thomas yang duduk di hadapannya sambil melonggarkan dasi serta membuka kancing kemeja paling atas. Wajah Thomas terlihat sangat kusut dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat sangat jelas.  “Kamu lagi ada masalah?” tanya Laras hati-hati. “Sedikit,” sahut Thomas sambil mengembuskan napas lelah. Thomas menyandarkan tubuh di sofa  dan mengacak-acak rambutnya. Tubuhnya terasa sangat penat, begitu juga dengan pikirannya. Ingin rasanya dia berhenti dan melarikan diri dari keadaan ini. Namun, dia selalu teringat akan kedua wajah putrinya. “Sebenernya ada apa Pap?” Thomas membuka mata, dan memandang wajah istrinya. Mungkin sudah saatnya dia mengaku dan menceritakan beban yang saat ini tengah dipikul. “Kamu inget nggak temen bisnis aku yang namanya Herman?” “Yang temen kuliah kamu?” “Iya.” “Memang ada apa sama Herman?” tanya Laras yang mulai merasa khawatir. “Beberapa waktu lalu, aku kan ambil pinjaman dari bank untuk buka cabang baru di Bandung dan untuk menutupi biaya operasional. Nah, saat pinjaman itu aku dapet, Herman nawarin kerja sama dan dilihat dari keuntungan yang dia gambarkan, prospeknya bagus, jadi akhirnya uang itu aku serahin sama Herman. Nggak taunya sekarang dia menghilang entah ke mana,” “Maksud kamu hilang? Herman kabur?!” sela Laras. Rasa dingin merambat di punggung Laras mendengar kalimat terakhir Thomas. Dia langsung membayangkan keadaan keluarga ini jika benar Herman kabur.  “Dia pergi bawa uang itu dan sampe sekarang belum ketemu. Kenapa aku pulang malam terus, karena sedang mencari dia dan sambil berusaha cari jalan keluar untuk mencari suntikan dana untuk membayar bunga dan pokok pinjaman ke bank.” “Ya Tuhan …, terus sekarang gimana? Yang kamu jadiin jaminan di bank apa?”  Laras mulai dilanda kepanikan mengetahui Herman membawa lari uang pinjaman dari bank. “Semua aset kita,” ujar Thomas sambil menjambak rambutnya sendiri. “Termasuk rumah ini?”  Thomas hanya memandang wajah istrinya tanpa sanggup untuk menjawab. Namun, pandangan Thomas sudah menjawab semuanya. “Terus sekarang gimana Pap?” tanya Laras berusaha tegar di depan suaminya. Dia tidak ingin menambah beban pikiran suaminya dengan bersikap panik.  “Pihak bank sudah mulai menagih pembayaran kedua, dan aku belum bisa bayar.” “Oh Tuhan,” desah Laras. “Gimana nasib anak-anak Pap?” Laras tidak dapat membayangkan jika mereka sampai bangkrut. Membayangkan kedua putrinya akan mengalami kesusahan membuat Laras menitikkan air mata.  “Kamu nggak bisa cari pinjaman di tempat lain?” “Mereka semua langsung menjauh begitu tau aku mendapat masalah,” ujar Thomas dengan lesu. “Terus sekarang kita mesti gimana?” tanya Laras yang mulai merasa putus asa. “Pokoknya kamu nggak boleh bilang apa-apa sama Amel dan Brenda. Papa akan terus berusaha biar keadaan bisa membaik.” “Kenapa nggak minta bantuan sama Handoko?” usul Laras. “Aku nggak mau mereka tau keadaan kita. Jangan coba-coba kamu bilang sama Jonathan,” ujar Thomas memperingatkan istrinya. Secara finansial, keadaan Handoko jauh di atas mereka, akan tetapi itu tidak membuat Thomas ingin meminta bantuan pada ayah Jonathan.  “Iya Pap.” *** “Selamat  pagi,” sapa seorang pria pada Gita, sekretaris Thomas. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?’ tanya Gita ramah. “Bapak Thomas ada?” “Dari mana ya Pak? Apa Bapak sudah membuat janji?” “Saya Hartono. Tolong tunjukkan kartu ini pada beliau,” ujar Hartono ramah. Gita menerima kartu yang diberikan oleh Hartono. Setelah membaca sekilas, Gita pun berdiri dari kursinya. “Baik Pak, silakan tunggu sebentar,” ujar Gita. Hartono berjalan ke arah sofa di depan ruangan Thomas, sementara Gita masuk ke dalam ruangan setelah terlebih dahulu mengetuk pintu. “Masuk!” seru Thomas dari dalam. “Ada apa Git?’ tanya Thomas. Gita berjalan menghampiri meja Thomas. “Permisi Pak, di depan ada yang mau ketemu.” “Siapa?” tanya Thomas. “Namanya Hartono, dan beliau menitipkan ini pada saya,” sahut Gita sembari meletakkan kartu nama di meja Thomas. Thomas mengambil kartu nama tersebut dan membaca nama yang tertera di sana.  “Suruh masuk Git,” ujar Thomas setelah berpikir sejenak. “Baik Pak.” Gita keluar dari ruangan dan menghampiri Hartono, dan memberitahu pria di hadapannya jika Thomas bersedia untuk bertemu. “Permisi Pak, silakan langsung masuk.” “Baik. Terima kasih.” Hartono berdiri dan berjalan memasuki ruangan Thomas. Dia berjalan dengan tenang menuju Thomas yang berdiri di sofa. “Silakan duduk,” ujar Thomas yang sudah menunggu Hartono. “Apa kabar,” ujar Hartono setelah duduk di sofa berseberangan dengan Thomas. “Baik. Ada perlu apa ke sini?” “Saya akan langsung ke pokok permasalahan,” ujar Hartono. “Silakan.” “Saya dapat membantu anda untuk menyelesaikan masalah dengan pihak bank,” ujar Hartono tanpa basa-basi. “Maksud anda?” tanya Thomas. “Kami tahu saat ini anda sedang mengalami masalah keuangan dan memiliki pinjaman pada bank dalam jumlah yang sangat besar. Dan saat ini anda sedang membutuhkan uang untuk membayar cicilan ke bank, akan tetapi tidak memiliki dana,” “Terus?” sela Thomas. “Kami akan memberikan suntikan dana sehingga anda bukan hanya dapat membayar cicilan hutang, akan tetapi langsung dapat melunasinya.” Thomas terdiam mendengar perkataan yang baru saja diucapkan pria di hadapannya ini.  Jujur saja dia memang sangat membutuhkan suntikan dana untuk membantunya keluar dari masalah pinjaman pada bank. Dan tawaran pria di hadapannya ini sangat menggiurkan. Namun, dia juga tau harus ada sesuatu yang dikorbankan untuk mendapatkan suntikan dana. Tidak ada yang gratis di dunia ini. “Apa yang anda minta sebagai imbalan?” tanya Thomas setelah berpikir sejenak. “Putri sulung anda yang bernama Amelia Cantika Wongso.” “Maksudnya, anda hendak menikahi putri saya?!” tanya Thomas sambil berteriak marah. Hartono tertawa mendengar perkataan Thomas.  “Bukan saya, melainkan pimpinan saya,” sahut Hartono lugas. “Pimpinan anda?” tanya Thomas terkejut. “Ya,” sahut Hartono sambil menyerahkan selembar foto pada Thomas. “Dia yang akan menikahi Amelia, putri anda.” Mata Thomas melotot tidak percaya melihat foto yang berada di tangannya saat ini. Bagaimana mungkin pria di dalam foto ini yang akan menikahi Amelia. “Anda tidak salah?” tanya Thomas. “Jika anda setuju dan menandatangani surat perjanjian, dana akan langsung kami siapkan. Dan jika acara pertunangan sudah berlangsung, kami akan langsung mengirimkan dana tersebut ke rekening anda. Anggap saja itu sebagai mas kawin putri anda. Namun, semua terserah pada anda,” ujar Hartono. “Tapi anak saya baru berusia tujuh belas tahun,” ujar Thomas lesu. “Tenang saja. Pimpinan kami akan menunggu sampai anak itu cukup umur untuk menikah. Kami tidak akan memaksa. Kami juga akan memberikan anda waktu untuk berpikir. Silakan hubungi saya, jika anda sudah membuat keputusan.” “Berapa lama waktu yang anda berikan?” “Tergantung,” sahut Hartono. “Saya rasa pertemuan ini sudah cukup, dan saya mohon diri. Anda dapat menghubungi saya di nomor yang ada di kartu. Terima kasih.” Hartono berdiri dan langsung berjalan meninggalkan ruangan Thomas. Dia sangat yakin jika pria itu akan menghubunginya, karena sudah tidak ada jalan lain bagi Thomas.  Thomas duduk terpekur di sofa sambil memandangi foto yang masih dia pegang. Memberikan Amelia pada orang itu sama saja seperti menjual putrinya sendiri. “Apa yang harus saya lakukan?” gumam Thomas. Sejujurnya Thomas sangat tertarik dengan tawaran dari Hartono. Namun, membayangkan Amel harus bertunangan bahkan menikah dengan pimpinan Hartono membuat hatinya merasa sangat gundah. Mana mungkin dirinya sanggup melihat putrinya bersanding dengan orang itu. “ARGH …!” Thomas berteriak mengeluarkan sesak di dadanya. *** Hari ini Thomas sengaja pulang ke rumah lebih awal. Dia ingin berbicara dengan Laras mengenai tawaran Hartono tadi siang. “Tumben pulang cepat?” tanya Laras sambil membantu Thomas membuka dasi. “Ada yang mau aku obrolin sama kamu.” “Tentang?” “Nanti aja. Sekarang aku mau mandi dulu.” “Kamu udah makan Pap?” tanya Laras. “Belum.” “Kalo gitu, Mama siapin makan buat kamu. Selesai mandi, kamu ke bawah dan makan dulu.” “Hm.” Laras keluar dari kamar dan menuju ke dapur. Dia mulai menyiapkan makanan untuk Thomas. Walaupun memliki ART di rumah, tetapi untuk urusan makan Thomas dan anak-anak, Laras selalu menyiapkan semuanya sendiri. Selesai membuat masakan sederhana untuk Thomas, Laras menyiapkan semuanya di meja makan, di mana Thomas sudah duduk menunggunya. “Makan dulu Pap, mumpung masih hangat,” ujar Laras dan duduk di seberang suaminya.  Thomas mulai makan dalam diam sampai habis. Sepanjang Thomas makan, Laras mengamati suaminya yang terlihat lebih kurus dan wajahnya juga lebih tirus dibanding beberapa waktu yang lalu.  Selesai makan, Thomas kembali ke kamar tidur diikuti oleh Laras. Setelah mengunci pintu, Thomas menarik tangan Laras dan mengajak istrinya untuk duduk di tempat tidur. Kemudian dia mulai menceritakan pertemuannya dengan Hartono. “KAMU GILA PAP?!” teriak Laras. “Kamu tega menjual anak kamu sendiri?!” “Siapa yang bilang aku mau menjual Amel?! sahut Thomas kasar. “Aku kan tanya pendapat kamu, karena terus terang aku udah nggak bisa mikir. Kepalaku rasanya mau pecah!” Setelah mengatakan itu, Thomas menutup wajahnya dan terisak. Laras terkejut saat mendengar isakan suaminya. Hatinya langsung merasa bersalah telah berkata kasar pada Thomas. “Maafin aku Pap. Aku nggak maksud bilang gitu ke kamu, aku cuma kaget waktu kamu bilang tentang orang yang mau bantu kita,” ujar Laras sambil memeluk suaminya. “Terus terang Mam, rasanya aku mau nyerah dan pergi ninggalin semua. Tapi aku juga nggak bisa ninggalin kalian.” “Apa udah nggak ada jalan lain Pap?” “Rasanya sangat mustahil Mam. Hanya orang seperti Hartono atau Handoko yang bisa menolong kita saat ini, tapi aku nggak akan minta tolong sama Handoko.” “Tapi apa mesti dengan menerima lamaran dia? Kok rasanya seperti menjual anak kita sendiri.” “Aku juga nggak mau begitu. Andai ada jalan keluar yang lain,” gumam Thomas. “Pap,” ujar Laras yang tidak tega melihat wajah usut Thomas. “Sekarang kita istirahat dulu ya. Besok kita pikirin lagi sambil mencoba mencari jalan keluar yang terbaik.” Laras membantu Thomas berbaring di tempat tidur serta menyelimuti suaminya. Setelah itu dia sendiri naik ke tempat tidur dan berbaring di samping Thomas. *** “Pagi Mam, pagi Pap,” ujar Amel yang baru turun dari kamarnya. “Pagi juga Mel,” ujar Thomas berusaha ceria di depan anaknya. “Tumben Papa udah bangun?” “Papa kangen sama kamu, udah lama kan kita nggak sarapan bareng,” sahut Thomas. “Tunggu!” ujar Amel sambil menatap wajah Thomas dengan seksama. “Papa sakit? Kok keliatan lesu banget sih?!” “Nggak kok. Papa cuma lagi banyak kerjaan di kantor.” “Bener?”  “Iya Mel. Udah kamu buruan makan, nanti terlambat.” “Baiklah,” sahut Amel dengan nada manja. Hati Thomas terasa begitu nyeri melihat keceriaan Amel. Jika dia menerima tawaran Hartono, berarti dia yang akan menghancurkan kebahagiaan anaknya sendiri. “Pagi Mam, pagi Pap,” sapa Brenda dan Jonathan yang baru bergabung di ruang makan. “Pagi juga,” sahut Laras. “Eh ada kamu Jo,” ujar Thomas. “Apa kabar? Gimana papa kamu?” “Semua kabar baik Pap.” “Ayo, ayo, sarapan dulu,” ujar Laras sambil meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Brenda dan Jonathan. Selama sarapan, Jonathan memperhatikan Thomas diam-diam dengan seksama, dan merasa ada sesuatu yang berbeda dari ayah Amel. Namun, dia tetap diam dan terus menghabiskan sarapan di piringnya. “Mel, gimana sekolah kamu?” tanya Thomas. “Semua oke Pap.” “Nilai-nilai kamu gimana?” “Baik, dan semakin baik dengan adanya Jojo,” sahut Amel sambil tersenyum manis. “Kamu gimana Cha?” tanya Thomas pada Brenda. “Selalu baik Pap, dan tanpa bantuan siapapun,” sahut Brenda sambil tersenyum jahil pada Amel. Thomas terkekeh melihat kedua putrinya yang kerap berdebat, akan tetapi saling mendukung dan menyayangi.  “Pap, Mam, Amel berangkat dulu ya,”  ujar Amel seraya berdiri dari kursi. “Jojo kan belum selesai makan,” sahut Laras. “Amel tau kok.” “Terus?” “Amel dijemput sama Rio dan dia udah nunggu di depan,” sahut Amel sambil berjalan keluar, dan tidak melihat mata Jonathan yang berubah menjadi dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD