Keputusan yang Berat

1816 Words
“Kamu nggak ke kantor Pap?” tanya Laras saat melihat suaminya masih berbaring di tempat tidur. “Kepalaku pusing Mam,” sahut Thomas. “Kamu sakit?” tanya Laras sambil menyentuh dahi Thomas. “Aku nggak sakit, tapi kepala rasanya mau pecah.” “Kenapa? Boleh Mama tau?” “Pihak bank udah kasih ultimatum, kalo dalam dua minggu aku nggak bayar cicilan, maka akan ada penyitaan aset.” Laras yang duduk di tepi tempat tidur terdiam mendengar perkataan suaminya. Sampai hari ini, Herman belum diketahui keberadaannya. Pria itu seolah-olah menghilang entah ke mana. Dan mereka yang akhirnya harus menanggung semuanya. Belum lagi memikirkan jika jalan keluar terakhir yang mereka miliki adalah dengan menyerahkan Amel untuk bertunangan dengan Ardian.  Sejujurnya kepala Laras pun rasanya ingin pecah. Dia tidak sanggup membiarkan Amel yang harus menanggung semuanya. Bagaimana nasib putrinya jika menjadi istri dari Ardian. Laras benar-benar tidak dapat membayangkan perasaan putrinya.  “Belum ada jalan keluar lain?” tanya Laras yang benar-benar khawatir. “Belum, dan satu-satunya jalan ya tawaran Hartono.” “Haruskah kita ….” Laras tidak mampu melanjutkan ucapannya. Laras sangat takut membayangkan jika Amel benar-benar harus menjalani perjodohan yang tidak seimbang ini. Memang semuanya dapat terselesaikan saat mereka menyetujui permintaan Hartono, tetapi di satu sisi mereka harus merenggut kebahagiaan Amel. Apalagi dia juga sudah melihat foto pria yang ingin menikahi Amel. Dan sebagai seorang ibu, rasanya sangat berat menerima pria itu sebagai menantu. Andai dia dapat menggantikan posisi putrinya. Laras rela melakukan apapun, asalkan Amel bisa terbebas dari beban ini.  Namun, Laras juga paham mengapa Thomas tidak ingin meminta bantuan dari Handoko. Mereka merasa malu jika sampai mendapat bantuan lagi dari ayahnya Jonathan yang selama ini selalu baik dan pernah menolong mereka beberapa tahun yang silam. Bahkan, Handoko menolak ketika Thomas ingin mengembalikan pinjaman yang saat itu digunakan untuk memperbesar usaha mereka hingga bisa seperti sekarang. Apa kata Handoko jika sampai mengetahui suaminya terlibat hutang dengan bank dalam jumlah yang sangat besar. “Sebenernya aku kemarin ini menghubungi Hartono dan minta bertemu dengan bosnya yang bernama Ardian,” “Kamu serius mau jodohin Amel sama dia?” sela Laras. “Habis mau gimana lagi Mam, kita udah nggak ada jalan lain.” “Terus tanggapan Hartono?” tanya Laras was-was. “Belum ada kabar,” Thomas belum lagi selesai berkata-kata ketika ponsel miliknya berbunyi. Laras meraih ponsel yang ada di meja nakas dan melihat siapa yang menelepon, ternyata Hartono. “Pap, Hartono telepon,” ujar Laras. Thomas mengambil ponsel dan memandangi nama yang muncul di layar. Hatinya bimbang antara menjawab panggilan atau mengabaikannya. “Pap kok nggak dijawab?’ tegur Laras. Akhirnya Thomas menggeser warna hijau di layar serta menempelkan ponsel di telinganya. “Selamat pagi,” ujar Thomas. “Anda belum tiba di kantor? Ada yang ingin saya bicarakan.” “Saya masih ada di rumah.” “Saat ini saya dan Pak Ardian ada di ruangan kantor anda. Kebetulan hari ini beliau memiliki waktu luang dan ingin bertemu. Apa anda bisa tiba di kantor secepatnya?” “Oke, sebentar lagi saya berangkat.” “Baik, akan kami tunggu. Tapi mohon secepatnya, karena waktu Pak Ardian tidak banyak.” “Apa katanya Pap?” tanya Laras penasaran. “Dia dan Ardian ada di kantor.” “Sekarang?” “Hm.” “Kamu yakin dengan hal ini?” tanya Laras. “Entah, aku juga bingung. Tapi kalo nggak kita terima ….” Thomas tidak melanjutkan ucapannya. Dia malah berjalan menuju ke kamar mandi. Otaknya saat ini benar-benar buntu, tidak dapat berpikir apapun. Thomas menyalakan shower dan membiarkan air dingin membasahi kepalanya. Sebagai seorang ayah, dia pun tidak menginginkan hal ini. Namun, nasib perusahaan dan kelangsungan hidup keluarganya sedang di ujung tanduk. Thomas sangat menyesali kecerobohannya yang percaya begitu saja dengan perkataan Herman, dan sekarang semuanya menjadi kacau. Selesai mandi dan berpakaian, Thomas bergegas turun ke bawah dan langsung menuju ke halaman tanpa berbicara lagi dengan Laras. “Pagi Pak,” ujar Gita saat melihat Thomas datang. “Pagi juga.” “Pak di dalam ada,” “Iya, saya tau. Kamu sudah buatkan minum?” sela Thomas. “Sudah Pak.” “Oke, kalo gitu tolong larang siapapun yang mau ketemu saya,” ujar Thomas. “Baik Pak.” Setelah itu Thomas bergegas masuk ke ruangannya dan berjalan menghampiri Hartono dan pria yang duduk di samping pria itu. “Selamat pagi,” sapa Thomas. “Selamat pagi juga,” sahut Hartono mewakili Ardian. “Boleh kami tau mengapa anda menghubungi?” tanya Hartono tanpa basa-basi. “Sebenarnya saya ….” “Apa anda sudah memutuskan?” sela Ardian. “Sudah.” “Dan apa jawaban anda?” “Saya menerima tawaran anda,” sahut Thomas lesu. “Tapi apa bisa secepatnya saya menerima suntikan dana dari anda?” “Akan saya kirim setelah saya resmi bertunangan dengan Amel,” sahut pria yang duduk di samping Hartono. “Oh ya, perkenalkan saya Ardian.” Thomas menerima uluran tangan Ardian sambil berusaha tidak memandang ke arah pria itu. “Kapan saya dapat bertemu dan bertunangan dengan Amel?” tanya Ardian. “Secepatnya,” sahut Thomas. “Tolong beri saya waktu karena saya belum mengatakan apapun pada putri saya.” “Kapan tenggat waktu yang diberikan oleh bank?” tanya Ardian. “Dua minggu lagi.” “Oke, paling lambat Sabtu depan saya sudah harus bertunangan dengan Amel, sehingga dana bisa langsung saya berikan sebagai mas kawin untuk Amel,” ujar Ardian dengan tegas. Thomas mengembuskan napas mendengar perkataan Ardian. Saat ini dirinya benar-benar merasa seperti penjahat karena sudah tega menjual anaknya sendiri demi menyelamatkan perusahaannya. “Baiklah,” ujar Thomas yang tidak memiliki jalan lain. “Saya akan kirimkan baju untuk Amel kenakan saat acara pertunangan nanti.” “Baik.” “Dan jangan katakan apapun mengenai diri saya pada Amel. Saya ingin memberikan kejutan untuk dia, sekaligus saya ingin mengetahui reaksi dia saat bertemu dengan saya.” “Baik.” “Dan satu lagi, biarkan dia tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Saya ingin Amel sendiri yang memutuskan pemuda itu, bukan karena paksaan dari kalian ataupun pihak kami.” “Baik,” sahut Thomas yang merasa sedikit bingung dengan permintaan Ardian. “Ada yang ingin anda tanyakan?” ujar Ardian melihat kerutan di kening Thomas. Thomas bingung untuk bertanya karena tidak ingin menyinggung perasaan pria yang sebentar lagi akan menjadi calon menantunya. “Jika memang ada pertanyaan, silakan dikeluarkan agar tidak menjadi ganjalan,” ujar Ardian. “Bagaimana anda tahu jika saat ini Amel memliki kekasih?” “Bukan perkara sulit untuk mengetahui segala sesuatu tentang calon istri saya,” sahut Ardian dengan nada suara yang membuat bulu tengkuk Thomas meremang. “Ada lagi yang ingin ditanyakan?” “Tidak ada,” sahut Thomas. “Baiklah. Kalau begitu urusan selesai, dan anda bisa menandatangani surat perjanjian,” “Surat perjanjian?” sela Thomas. “Ya,” sahut Hartono lugas. “Kami juga memerlukan bukti keseriusan anda. Jadi Bapak Ardian membutuhkan jaminan hitam di atas putih, karena uang yang harus beliau keluarkan bukanlah jumlah yang kecil.” “Baiklah,” sahut Thomas. Hartono membuka koper dan meletakkan surat perjanjian yang sudah diberi materai di atas meja. Kemudian menyerahkan pulpen pada Thomas. Dengan tangan gemetar, Thomas menerima pulpen yang disodorkan Hartono dan berusaha membubuhkan tanda tangan. Setelah itu, Ardian juga membubuhkan tanda tangannya. “Selesai!” ujar Ardian sambil tersenyum puas. *** Dalam perjalanan pulang, Thomas terus berpikir bagaimana caranya memberitahu Amel tanpa membuat anaknya terluka. Secepatnya dia harus berbicara supaya minggu depan saat Ardian datang acara pertunangan dapat berjalan dengan lancar. Tiba di rumah, Thomas langsung masuk ke dalam kamar dan mengurung diri di sana.  “Papa kenapa Mam?” tanya Amel bingung melihat Thomas hanya diam saja. “Mungkin cape,” sahut Laras. “Cape atau ada masalah?” “Ah, kamu asal aja kalo ngomong.” “Nggak asal Mam. Amel baru pernah liat papa kayak gitu.” “Mel, mending kamu tidur, kan besok sekolah,” ujar Laras yang tidak ingin membahas masalah Thomas lagi. “Baiklah,” sahut Amel. “Kalo gitu Amel ke kamar dulu.” Amel pun pergi meninggalkan Laras menuju ke kamarnya. Begitu Amel menghilang, Laras langsung mendatangi Thomas di kamar. Dia ingin mengetahui tentang pertemuan Thomas dan Hartono. Tiba di kamar, Laras melihat suaminya sedang berdiri di balkon. Laras  menghampiri Thomas dan berdiri di samping. “Papa udah ketemu sama yang namanya Ardian,” ujar Thomas tanpa diminta. “Terus?” “Persis seperti di foto.” “Dan?” “Papa juga udah tanda tangan surat perjanjian sama dia. Sabtu depan mereka sudah harus bertunangan, dan setelah itu baru dana akan diberikan untuk melunasi hutang kita.” “Sabtu depan?” “Iya.” “Terus gimana sama Amel? Siapa yang mau ngomong sama dia? Terus Rio gimana?” “Secepatnya kita berdua harus ngomong sama Amel dan minta dia untuk mengerti dan menerima keadaan. Mengenai masalah Rio, Ardia mau Amel sendiri yang memutuskan hubungan.” “Aku nggak salah denger kan? Dia itu sebenernya waras atau nggak sih? Mama baru tau ada orang seperti itu, yang nggak peduli calon istrinya masih menjalin kasih dengan pria lain. Dengan dia bilang mau Amel sendiri yang mutusin hubungan berarti kan dia itu ….” Laras tidak melanjutkan ucapannya karena merasa sangat terkejut. “Papa juga bingung, tapi sekaligus khawatir.” “Karena?” “Dari mana dia tau kalo Amel udah punya pacar? Apa selama ini dia itu menyelidiki kehidupan Amel? Kalo bener, apa jadinya nasib Amel saat nikah sama Ardian?” “Sekarang ini yang lebih mendesak untuk dipikirin adalah gimana caranya ngomong sama Amel, Mam. Bukan Papa egois, tapi kalo semuanya gagal, maka kita harus mengulang semua dari nol dan entah apa yang akan dilakukan oleh Ardian.” *** Di rumahnya, Ardian duduk diam sendirian di kamarnya sambil memandangi foto gadis yang sebentar lagi akan menjadi miliknya. “Akhirnya …, setelah sekian lama menunggu,” desah Ardian sambil membelai wajah Amel di dalam foto seolah-olah itu adalah sosok Amel sesungguhnya. Saat sedang memandangi foto Amel, ponsel Ardian berbunyi. Dia melihat nama yang tertulis di layar, kemudian mengangkatnya. “Ya?” “Persiapan untuk pertunangan sudah beres.” “Baik. Bagaimana dengan orang itu?” “Seperti yang kamu perkirakan, dia masih berhubungan dengan gadis itu di belakang Amel. Ada yang harus saya lakukan dengan dia?” “Biarin aja, kita tunggu sampai saya resmi bertunangan. Setelah itu kita lihat tindakan Amel.” “Baik. Ada lagi?” “Mulai besok, terus ikuti Amel dan beritahu saya semua yang dia lakukan. Tugas kamu hanya menjaga dan melaporkan.” “Baik.” Ardian memutuskan sambungan dan kembali menatap foto Amel. “Aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu, bahkan memberikan semua yang kamu ingini. Hanya satu yang aku minta, setialah sampai akhir.” Perlahan Ardian bangkit dan berjalan menuju ke tempat tidur, kemudian perlahan membaringkan tubuhnya. “Selamat tidur Cantik,” gumam Ardian sambil memeluk foto Amel. Keputusan 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD