Mimpi adalah Bunga Tidur

1920 Words
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Seperti biasa Amel berangkat sekolah bersama Jonathan. Saat sahabatnya sedang memarkir motor, Amel masuk terlebih dahulu ke dalam sekolah. “Amel!” seru Sheila saat gadis itu baru tiba di lantai tiga. “Kebiasaan lo Shel, kayak lagi di hutan.” “Gue lagi sedih nih,” ujar Sheila sambil memasang wajah sedih. “Kenapa lagi?” “Kita pisah kelas Mel.” “Oh ya? Elo di kelas mana?” “XII IPA -3.” “Oh, gue di mana?” “Elo di IPA-2, bareng sama Jojo dan Reza lagi. Gue kepisah sendiri.” “Ya udah nasib berarti,” sahut Amel santai. “Udah ah, gue ke kelas dulu ya, mau ngetek meja.” “Nggak usah elo ketek, Jojo pasti udah jagain buat elo,” sahut Sheila tanpa bisa menutupi kekesalannya. “Gue duluan ya,” sahut Amel yang tidak mempedulikan perkataan Sheila.  Amel sedikit kesal pada Sheila karena selama libur, beberapa kali dia membatalkan janji di saat-saat akhir. Karena itu, dia sengaja bersikap tak acuh, akan tetapi sepertinya Sheila tidak menyadari hal itu. Amel berjalan menuju kelasnya yang baru yang terletak di ujung. Dia masuk ke dalam kelas dan melihat kalau Jonathan sudah menempati kursi di pojok kelas paling belakang dekat jendela. Sambil tertawa, Amel berjalan menghampiri Jonathan dan langsung duduk di samping pemuda itu. “Makasih Jojo,” ujar Amel sambil tersenyum. “Emang kamu yakin ini tempat buat kamu?” “Yakin dong. Nggak mungkin elo mau duduk sama yang lain.” Jonathan tertawa dan mengacak rambut Amel dengan gemas. “Kebiasaan ih! Ntar rambut gue berantakan!” “Biarin,” sahut Jonathan jahil. “Eh Mel, Sheila nggak sekelas sama kita?” tanya Reza yang baru masuk kelas. “Nggak, dia di IPA-3.” “Bagus dong kalo gitu,” sahut Reza. “Emang udah nggak suka sama Sheila?” tanya Amel sedikit terkejut dengan jawaban Reza. “Dari dulu juga nggak suka Mel, cuma kasian aja.” “s***s lo Za.” “Emang kenyataan,” sahut Reza singkat. Amel terdiam mendengar jawaban Reza. Nada suaranya terdengar dingin dan kentara tidak suka. Berbeda sekali dengan sikap Reza saat semester yang lalu. “Udah ah, mending gue ngeliatin anak baru, siapa tau ada yang nempel di hati.” Reza berjalan meninggalkan kelas, memilih menghindari tatapan Amel yang seperti mencurigai sesuatu.  “Reza kenapa sih?” tanya Amel pada Jonathan. Jonathan hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.  *** Ketika jam sekolah berakhir, Amel bersama Jonathan dan Reza meninggalkan kelas menuju keluar. Amel berjalan sambil tersenyum- senyum. Dirinya senang karena akan dijemput oleh Rio. Selama liburan kemarin, dirinya hanya beberapa kali bertemu dengan Rio karena kekasihnya harus menemani ibunya keluar kota menemui keluarga besar. “Mel, dijemput tuh sama pujaan hati,” bisik Reza saat melihat Rio sedang berdiri menunggu di dekat pintu gerbang. “Berisik ih,” sahut Amel. “Jo, gue duluan ya.” Amel segera berlari menghampiri Rio. “Udah lama?’ tanya Amel saat tiba di hadapan Rio. “Belum. Pulang sekarang?’ tanya Rio sambil mengambil tas Amel. “Oke.” “Nggak mau jalan dulu?” tanya Rio. “Nggak ah, mau pulang aja, terus tidur. Aku ngantuk.” “Nggak kangen sama aku?” goda Rio. “Kangen sih, tapi rasa ngantuknya lebih gede, jadi aku milih tidur aja. Kan besok masih bisa.” “Oke,” sahut Rio. Dia menggamit tangan Amel dan menggandengnya menuju motor yang diparkir di depan gerbang sekolah. Sementara itu Jonathan terus memandangi mereka berdua dengan tatapan dingin dan berusaha menahan amarahnya dengan mengepalkan kedua tangan. “Ayo Jo, kita pulang,” ujar Reza sambil merangkul bahu sahabatnya. “Lo langsung pulang?” tanya Jonathan yang sudah kembali bersikap wajar. “Iyalah. Gue mesti jaga warung. Nyokap mau arisan.” “Arisan di hari Senin?” tanya Jonathan. “Mestinya kemarin, cuma yang punya rumah baru bisa hari ini.” “Owh ….” “Elo sendiri?’ tanya Reza sambil memakai helm. “Gue mau pergi dulu, ada urusan.” “Gaya lo, kayak yang punya bisnis aja.” “Gue duluan ya,” sahut Jonathan yang langsung tancap gas. Amel yang melihat motor Jonathan, awalnya hendak melambaikan tangan, akan tetapi urung karena Jonathan sedikitpun tidak memelankan laju motor, dan bersikap seolah tidak melihat Amel. “Aneh. Ngapain pake ngebut segala,” gumam Amel. “Kenapa Mel?” tanya Rio. “Ah, gapapa. Aku naik ya.” Amel naik dan duduk menunggu sampai motor yang dikendarai Rio meninggalkan sekolah. Amel terus diam sepanjang perjalanan pulang, dan tidak mengacuhkan pertanyaan Rio. Dia terus memikirkan apa yang terjadi pada Jonathan. Padahal sepanjang hari tadi, sepertinya tidak terjadi apa-apa. Rio menghentikan motor tepat di depan gerbang rumah Amel, dan menunggu hingga kekasihnya turun. Karena pikirannya sedang tertuju pada Jonathan, Amel langsung membalikkan badan menuju pagar dan mengabaikan keberadaan kekasihnya. Rio yang melihat hal itu, hanya mampu menggelengkan kepala dan langsung pergi meninggalkan rumah Amel. Harga dirinya kembali terluka karena sikap gadis itu. Begitu tiba di halaman, Amel bergegas ke samping dan membuka pintu penghubung dan langsung berjalan menuju pintu utama rumah Jonathan. Namun, di tengah pekarangan yang luas, nampak Kang Usman yang sedang menyapu daun-daun kering. “Kang, Jojo udah sampe?” “Belum Neng, emang nggak bareng?” “Nggak. Tadi Jojo pulang sendiri. Ya udah, kalo gitu Amel pulang dulu.” “Jojo ke mana ya?” gumam Amel sambil berjalan memasuki rumah. “Lia! Kalo jalan liat-liat dong,” tegur Laras yang hampir ditabrak oleh Amel. “Maaf Mam, nggak liat,” sahut Amel  “Kamu lagi mikirin apa sih?” “Gapapa,” sahut Amel sambil meneruskan langkahnya. “Eh Mam, papa ke mana sih? Kok akhir-akhir ini jarang keliatan?” “Mama juga kurang tau, tapi memang akhir-akhir ini selalu pulang larut.” “Ya udah. Amel ke atas dulu ya.” Tiba di kamar, Amel langsung mengganti baju kemudian berbaring di tempat tidur, dan menutupi wajahnya dengan bantal. Tidak lama kemudian Amel sudah terlelap, karena memang dia sudah menahan kantuk sejak tadi. Sore hari, Jonathan mendatangi kamar Amel melalui balkon. Saat tiba, dia melihat sahabatnya sedang tertidur, dan memutuskan ke bawah untuk menyimpan tiramisu yang dia beli dalam lemari pendingin. Menjelang maghrib, Jonathan memutuskan untuk membangunkan Amel dengan cara menggelitik telinga gadis itu menggunakan bulu ayam. Amel memaksa membuka matanya saat merasa geli di bagian telinganya. “JOJO!” seru Amel kesal karena tidurnya terganggu. Jonathan terkekeh melihat Amel bangun sambil marah-marah. “Hobi banget sih gangguin gue tidur!” seru Amel sambil beranjak duduk. “Ini udah mau maghrib Mel, nggak boleh tidur lagi.” “Biarin, kan gue ngantuk.” “Mandi gih biar seger. Udah gitu ke bawah, aku beli tiramisu.” “Oke,” sahut Amel begitu mendengar kue kesukaannya. “Aku ke bawah duluan.” “Jo,di gazebo aja!” seru Amel sebelum menghilang ke dalam kamar mandi. “Hm.” Jonathan beranjak dari tepi tempat tidur dan berjalan keluar amar menuju ke ruang makan dan mengambil kotak berisi tiramisu. Dia berjalan menuju ke gazebo yang berada di samping rumah dan duduk menunggu Amel sambil bermain gitar. Sekitar setengah jam kemudian Amel datang dengan wajah segar dan langsung duduk di samping Jonathan. Untuk sesaat pemuda itu diam, dan menikmati aroma sampo yang digunakan Amel. “Kenapa lo?” tanya Amel melihat sahabatnya duduk sambil memejamkan mata. “Gapapa. Tuh dimakan,” ujar Jonathan sambil menunjuk kotak kue dengan dagunya. Tanpa ragu, Amel mengambil otak dan langsung membukanya. “Hm …” gumam Amel sambil menikmati suapan pertama tiramisu. “Ini baru enak ...,.” Jonathan mendengkus geli melihat kelakuan Amel. “Bagi dong,” ujar Jonathan. “Nih,” ujar Amel sambil menyodorkan kotak. “Suapin,” pinta Jonathan. “Dasar manja,” sahut Amel sambil menyodorkan sendok berisi tiramisu pada Jonathan. “Kak! Dipanggil mama!” seru Brenda dari pintu kaca. “Mau ngapain?!” balas Amel dengan suara keras. “Mana aku tau ih! Buruan!” “IYA!” sahut Amel. “Jo, gue ke dalem dulu. Elo mau ikut apa di sini aja?” “Ikut aja, aku juga mau pulang.” “Nggak makan dulu?” “Emang mama masak apa?” “Nggak tau.” Amel dan Jonathan berdiri lalu bersama-sama masuk ke dalam rumah.  “Kenapa Mam?” tanya Amel. “Makan dulu, ini udah malam,” sahut Laras. “Kamu juga Jo.” “Iya Mam,” sahut Amel dan Jonathan. “Papa belum pulang?” tanya Amel saat sudah duduk di ruang makan. “Belum. Sepertinya bakal pulang terlambat lagi,” sahut Laras sambil mengambilkan makanan untuk Amel, Brenda, dan Jonathan. “Papa kenapa sih Mam? Kok pulang malem terus?” tanya Brenda. “Mungkin lagi banyak yang harus dikerjakan.” “Kok kamu diem aja Jo? Makanannya nggak enak?” tanya Laras. “Enak kok Mam,” sahut Jonathan sambil mengacungkan kedua ibu jari tangannya. “Kalo enak, makan yang banyak.” “Iya Mam.” “Kamu juga Lia, makan yang banyak.” “Kenyang Mam.” “Kenyang makan apa?’ tegur Laras. “Tadi habis makan tiramisu.” “Buat aku mana?” sela Brenda. “Anak kecil sih nggak dapet jatah,” ejek Amel. “Dih, belagu banget sih yang udah tujuh belas,” sahut Brenda sambil meleletkan lidahnya. “Sudah! Lagi makan nggak boleh berdebat,” lerai Laras. “Besok Kakak beliin buat kamu,” ujar Jonathan pada Brenda. “Yeay! Kak Jo memang yang terbaik. Mestinya Kak Jo aja yang jadi kakak aku, bukannya dia.” “Maksud lo?” tanya Amel. “Nggak ada, geer banget deh.” “Brenda!” ujar Laras. “Maaf Mam.” “Mam,” panggil Amel. “Hm?” “Tapi papa baik-baik aja kan?” tanya Amel yang tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. “Baik. Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begini?” “Beberapa malam yang lalu, Amel mimpi papa kayak yang lagi kena masalah gitu. Mimpinya nggak enak banget Mam.” “Kamunya lagi kangen papa kali. Lagian, mimpi itu kan bunga tidur. Nggak usah dijadiin pikiran,” ujar Laras berusaha tenang. Sejak beberapa waktu lalu pun Laras sempat bermimpi yang kurang baik tentang suaminya. Namun, dia hanya diam dan tidak memberitahu siapapun. Dan sekarang, perasaannya semakin tidak tenang mendengar Amel berkata seperti tadi. Tidak dapat dipungkiri jika Amel memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Thomas. Dan kerap putri sulungnya dapat mengetahui jika ada yang tidak beres dengan ayahnya. Selesai makan, Jonathan masih diam di rumah Amel sampai mendekati jam tidur. Setelah itu dia pamit dengan alasan ingin beristirahat. Sampai di rumah, Jonathan langsung menghubungi seseorang dan meminta bantuan untuk menyelidiki sesuatu. Tengah berbaring di tempat tidur, ponselnya berbunyi. Jonathan langsung menjawab panggilan begitu melihat nama yang tertera di layar. “Halo?” “Saya udah dapet info. Dugaan kamu ternyata benar,” ujar seorang pria. “Terus?” “Tinggal menunggu waktu.” “Nggak ada jalan lain?”  “Sampai saat ini keliatannya nggak ada. Dia masih berusaha untuk membereskan semuanya dengan jalan pintas.” “Oke. Kabarin terus perkembangannya.” “Siap.” Jonathan mengembuskan napas setelah memutuskan sambungan telepon. Pikirannya menjadi tidak tenang setelah mendapat telepon. Akhirnya Jonathan berdiri, dan menyambar jaket yang tersampir di kursi dan keluar dari kamar. Di bawah, dia mengambil kunci mobil dan berjalan menuju garasi. “Den Jojo mau ke mana?” tanya Usman. “Mau keluar sebentar Kang. Kalo Amel atau siapapun tanya, jangan bilang saya pergi ya.” “Siap Den.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD