Malam Natal Kelabu

1931 Words
“Kak!” Udah selesai belum?!” teriak Brenda dari depan kamar Amel. “Bentaran lagi!” sahut Amel. “Cepetan dikit napa!” gerutu Brenda. Amel bergegas merapikan rambut untuk terakhir kalinya. Setelah itu dia meraih tas dan bergegas menuju ke pintu. Sore ini mereka sekeluarga akan menghadiri ibadah malam Natal, seperti yang selalu dilakukan setiap tahun. Tadi Amel sempat tertidur, hingga terlambat untuk bersiap-siap.  “Bawel banget deh,” ujar Amel saat keluar dari kamar. “Bukan bawel Kak, tapi ntar kalo jalanan macet, elo bakalan ngedumel panjang kali lebar! Malesin banget dengernya!” sahut Brenda apa adanya. “Lagian kan masih sore, masih banyak waktu!” “Ibadah mulai jam tujuh, ini udah jam setengah enam. Emang elo nggak perlu nyari tempat duduk?!” “Udah, udah! Kalian tuh hobi banget ribut sih,” lerai Thomas yang baru keluar dari kamar bersama Laras. “Ayo kita jalan,” ujar Laras. Mereka berempat berjalan menuruni tangga dan meneruskan langkah menuju ke depan. “Jojo pergi sama siapa Lia?” tanya Laras. “Katanya bareng sama kita Mam,” sahut Amel. “Kok belum da,” “Sore Mam, sore Pap,” sapa Jonathan yang baru tiba. “Baru ditanyain, udah nongol aja,” ujar Laras. “Kalo gitu kita langsung berangkat aja.” Saat tiba di depan, Thomas memberikan kunci mobil pada Jonathan. Thomas sudah menganggap pemuda di sampingnya seperti anak sendiri, karena dia tidak memiliki anak laki-laki. Thomas pernah berharap Jonathan lah kelak yang akan menikahi Amel, akan tetapi itu hanyalah tinggal angan semata. “Tolong kamu yang bawa mobil ya Jo.” “Siap Pap,” sahut Jonathan sambil menerima kunci dari Thomas. “Kalo Jojo yang nyetir, Amel duduk di depan ya,” ujarnya sambil berlari memutari mobil bagian depan. Keempat orang yang melihat kelakuan Amel tersenyum sambil menggelengkan kepala. Jonathan masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin sambil menunggu yang lain naik. Jalanan cukup padat sehingga mobil yang dikendarai Jonathan tidak dapat berjalan cepat, sehingga saat tiba, gereja sudah mulai ramai. Jonathan mengarahkan mobil ke pelataran gereja, dan menurunkan Thomas, Laras, dan Brenda di sana. “Kamu nggak ikut turun?” tanya Jonathan sambil menatap Amel yang tetap duduk. “Nggak, bareng elo aja.” “Aku mau cari parkir dulu lho.” “Biarin,” sahut Amel sekenanya. Jonathan mengembuskan napas mendengar jawaban Amel, akan tetapi akhirnya menuruti permintaan gadis itu. Jonathan mencari tempat parkir ditemani oleh Amel. Setelah berputar dua kali, akhirnya dia menemukan tempat dan langsung memarkir mobil “Ayo turun,” ujar Jonathan sambil melepas sabuk pengaman. Amel bergegas turun dan menghampiri Jonathan. Dia menunggu sampai pemuda itu keluar dari mobil. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju pintu masuk dan langsung menuju ruang ibadah yang mulai penuh. “Mama duduk di mana ya?” tanya Amel sambil mencari-cari anggota keluarganya. “Itu di sana,” ujar Jonathan sambil menunjuk ke barisan tengah. “Yah …, tapi udah nggak ada tempat buat kita,” keluh Amel kecewa. “Kita cari tempat lain aja,” ujar Jonathan sambil terus berjalan mencari tempat duduk. Akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk di barisan paling belakang. Jonathan menunggu sampai Amel duduk, baru dia duduk di samping sahabatnya. Tidak lama kemudian ibadah malam Natal dimulai. Amel selalu senang datang beribadah setiap malam Natal, karena suasana yang begitu berbeda dan terasa lebih khidmat. Mereka mengikuti acara dengan tenang. Selesai ibadah, Jonathan dan Amel keluar duluan dan menunggu di dekat pintu keluar sambil mencari-cari Thomas, Laras, dan Brenda.  “Itu Papa,” ujar Amel sambil melambaikan tangannya. Thomas, Laras, dan Brenda berjalan menghampiri mereka. Sesekali Thomas dan Laras berhenti entah karena disapa ataupun menyapa kenalan sambil memberikan ucapan selamat Natal. “Kita pulang sekarang Pap?” tanya Amel. “Sebentar lagi Mel, masih padat di depan,” sahut Thomas. Mereka berdiri di pelataran gereja, menunggu hingga aga sepi. Saat menunggu, tiba-tiba hujan turun dengan cukup deras. Karena letak mobil yang cukup jauh, mereka menunggu hingga hujan sedikit reda. “Pap, Jojo ambil mobil dulu.” Jonathan berlari ke mobil sambil menudungi kepala dengan kedua tangannya ke arah mobil. Tidak lama kemudian, mobil datang dan semua bergegas masuk. “Elo basah,” ujar Amel. “Iya, sedikit sahut Jonathan. Jonathan mengemudi ke arah rumah dalam diam, ditemani lagu-lagu Natal dari pemutar musik di mobil.  “Kita langsung makan aja ya,” ujar Laras saat mereka memasuki rumah. “Siapa takut,” sahut Brenda yang memang sudah kelaparan. Di meja makan sudah tersedia hidangan yang cukup istimewa yang telah dipersiapkan oleh Laras sejak pagi. Mereka menikmati makan malam dalam suasana yang hangat sambil mengobrol dan bertukar cerita. Selesai makan, semuanya berkumpul di ruang keluarga ditemani alunan musik Natal. Mereka sengaja berkumpul menunggu saatnya untuk membuka kado. Menjelang jam dua belas, Amel mematikan lampu di ruangan dan menyalakan lampu yang menghiasi pohon Natal.  Tepat jam dua belas, setelah saling mengucapkan selamat Natal, Amel dan Brenda mulai membagikan kado sesuai nama yang tertera. Amel memegang kado terakhir sambil mengerutkan kening. Tidak ada nama yang tercantum di sana. “Ini punya siapa?” tanya Amel sambil memegang kado terakhir yang berada di bawah pohon Natal. “Itu punya kamu Lia,” sahut Laras. “Dari?” tanya Amel. “Dari ….”  Laras tidak berani menyebutkan nama pemberi karena ada Jonathan. Dia tidak mungkin menyebutkan nama Ardian, selain tidak ingin membuat Amel merasa sedih dan malu, dia juga ingin menjaga perasaan Jonathan. Sedangkan Jonathan yang sedang membuka kado langsung terdiam. Namun, pembicaraan mengenai kado untuk Amel langsung terhenti.  “Mau ke mana Jo?” tanya Amel saat melihat sahabatnya berdiri. “Mau pulang sebentar,” sahut Jonathan. “Mau ngapain?” “Ada perlu.” Jonathan berjalan meninggalkan rumah Amel menuju ke rumahnya. Dia ingin membagikan kado untuk semua orang yang bekerja di rumah seperti yang selalu dia lakukan tiap tahun. “Kak hp lo bunyi tuh,” ujar Brenda yang tengah asik membuka kado. “Siapa sih?” gumam Amel. Tanpa melihat siapa, dia langsung menjawab panggilan tersebut. “Halo?” sapa Amel. “Selamat Natal Amelia,” sahut pria di seberang. “Ini siapa ya?” tanya Amel bingung. Amel melihat layar ponsel, akan tetapi tidak tertulis nama di sana, hanya sederetan nomor. Suaranya pun terdengar asing di telinganya.  “Kamu lupa sama tunangan sendiri?” tanya Ardian tenang. Amel langsung terdiam begitu mendengar kata tunangan. Badannya terasa dingin seperti habis diguyur air es. Perlahan Amel berdiri dan berjalan menjauhi ruang keluarga. Amel tidak ingin orang tua dan adiknya tahu. Amel masuk ke dalam kamar mandi yang berada tidak jauh dari sana. “M-maaf,” ujar Amel terbata-bata. “Kamu nggak mau ngucapin Natal?” tegur Ardian lembut. “S-selamat N-natal,” sahut Amel. “Kenapa kamu gugup?” Selembut apapun suara Ardian, di telinga Amel tetap terdengar mengerikan. Amel langsung terbayang sosok pria yang sudah memasangkan cincin di jarinya. Tanpa Amel sadari, tubuhnya bergetar dengan hebat, hingga dia harus mengepalkan tangannya untuk meredakan rasa takut di hatinya. “Gapapa,” sahut Amel. “Saya cuma mau bilang sama kamu, selamat menikmati sisa waktu kamu, tapi jangan coba-coba selingkuh. Dan saya sangat berterima kasih karena kamu sudah memutuskan hubungan dengan pemuda bernama Rio.” Tubuh Amel seketika terasa lemas saat Ardian menyebut nama Rio. Bagaimana Ardian bisa tahu tentang Rio. Tidak mungkin kedua orang tuanya melaporkan hal itu pada Ardian. Amel perlahan jatuh terduduk di lantai karena kakinya terasa sangat lemas. Kepalanya juga mulai berdenyut-denyut.  “Satu lagi, kenapa kamu nggak pernah pakai cincin pertunangan? Apa kamu malu bertunangan dengan saya?” tanya Ardian sopan tapi terasa seperti palu yang menghantam kepala Amel. “M-maaf,” ujar Amel. “Teleponnya saya tutup dulu, dan tolong simpan nomor ini. Sesekali saya akan menghubungi kamu.” Amel mematikan sambungan telepon seperti robot. Perlahan air bening mengalir dari kedua matanya. Malam Natal yang penuh sukacita berubah menjadi kesedihan dalam sekejap.  Setelah merasa lebih baik, perlahan Amel berdiri sambil berpegangan dan keluar dari kamar mandi. Dia berjalan kembali ke ruang keluarga sambil terus berpegangan supaya tidak jatuh. Jonathan yang baru saja kembali, langsung menghampiri Amel dan menahan tubuh Amel yang mulai limbung. “Kamu kenapa Mel?” tanya Jonathan saat melihat gadis itu sangat pucat. “Gapapa,” sahut Amel lirih. “Gapapa apanya? Badan kamu dingin semua!” tegur Jonathan. “Kepala gue pusing Jo,” bisik Amel. Jonathan memapah Amel masuk ke dalam ruang keluarga dan mendudukkan gadis itu di salah satu sofa. Thomas, Laras, dan Brenda terkejut melihat Amel yang begitu pucat. “Kamu kenapa Lia?!” seru Laras sambil bergegas menghampiri putrinya.. “Pusing.” Hanya kata itu yang mampu Amel ucapkan. Pikirannya terasa kosong, dan dia tidak mampu berpikir apa-apa. “Kamu istirahat aja ya,” ujar Jonathan lembut. “Tunggu bentar, badan gue lemes banget.” Tanpa berkata apa-apa, Jonathan langsung menggendong Amel dan membawa gadis itu ke kamarnya. Dia membaringkan Amel di tempat tidur, kemudian menyelimutinya. Jonathan duduk di samping Amel dan terus menggenggam tangan Amel yang terasa sangat dingin. Jonathan menemani hingga Amel tertidur. Setelah itu dia keluar dari kamar untuk bergabung kembali dengan yang lain. Begitu Jonathan keluar, Amel kembali membuka matanya. Dia sengaja berpura-pura sudah tidur, karena Amel ingin sendirian saja. Dia tidak ingin Jonathan sampai mengetahui rahasianya.Tak terasa air matanya kembali mengalir membasahi pipi dan bantal.  “Kenapa dia harus telepon?’ keluh Amel sendirian. “Boleh nggak sih dibatalin aja?” Amel terus menangis hingga tertidur. Dia bahkan tidak tahu saat Jonathan kembali ke kamarnya untuk mengecek keadaan Amel.  Jojo datang menghampiri dan duduk di samping Amel. Dia melihat jejak air mata di pipi dan bantal.  “Kenapa kamu nangis Candy?” bisik Jonathan sambil mengusap sisa air mata di kelopak mata Amel.  Jonathan menemani Amel sepanjang malam. Menjelang subuh, Jonathan berpindah posisi menjadi duduk di karpet, dan meletakkan kepalanya di tempat tidur. Dia terus menemani Amel sampai dirinya sendiri tertidur. Ketika membuka mata, Amel melihat Jonathan yang tertidur dengan kepala berada di tempat tidur. Amel memandangi wajah sahabatnya. Perlahan Amel mengulurkan tangan dan membelai pipi Jonathan dengan lembut.  “Ternyata elo tuh ganteng banget ya Jo,” bisik Amel. “Kenapa gue baru sadar.” Tangan Amel berpindah ke rambut Jonathan yang berwarna hitam dan lebat. Dia membelai kepala Jonathan sambil tersenyum sendirian. “Andai elo yang jadi tunangan gue, mungkin rasanya nggak akan senyesek ini,” gumam Amel lagi. “Mungkin awalnya susah buat ngubah rasa persahabatan jadi cinta, tapi gue yakin bakal bisa. Sayangnya bukan elo Jo yang jadi tunangan gue.” Jonathan yang sebenarnya sudah bangun, terkejut mendengar perkataan Amel barusan. Namun, dia tetap memejamkan mata dan bernapas dengan teratur. Setelah beberapa waktu, Jonathan perlahan membuka matanya dan hal pertama yang dia lihat adalah wajah cantik Amel. “Kamu udah bangun?” tanya Jonathan. “Hm.”  “Udah lama?” tanya Jonathan sambil pura-pura menguap. “Belum. Gue kaget pas bangun ngeliat elo tidur sambil duduk. Emang badan lo nggak pegel?” “Nggak, udah biasa juga kan.” “Belagunya kumat deh,” ledek Amel. “Emang kenyataan kan? Siapa yang suka nyuruh aku nemenin tidur?” “Udah ah, mending gue buka kado aja,” sahut Amel yang malu mendengar perkataan Jonathan. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menuju tumpukan kado yang belum sempat dibuka. Jonathan mengamati kesibukan Amel sambil terus memikirkan perkataan gadis itu. “Mel, aku pulang dulu ya, mau mandi,” ujar Jonathan yang mulai bosan. “Tapi ntar ke sini lagi kan?” tanya Amel. “Hm, tapi kayaknya aku mau tidur dulu sebentar.” “Jangan lama-lama!” “Emang kenapa? Kamu mau ngapain?” “Gapapa sih, cuma bosen aja kalo nggak ada elo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD