Sheila Mulai Beraksi

2170 Words
Bel pulang sudah berbunyi, dan seperti biasa Amel berjalan keluar kelas bersama Sheila. Mereka berjalan sambil mengobrol hingga tiba di pelataran depan. Sheila yang memang sejak tadi memandangi sekitar, melihat Rio yang berdiri di dekat pos keamanan. “Mel, elo dijemput tuh,” bisik Sheila sambil menyenggol temannya. “Mana?” sahut Amel sambil mencari-cari sosok Rio. “Tuh, di deket pos.” “Oh iya. Gue ke sana dulu ya,” ujar Amel sambil berlari menghampiri Rio dan meninggalkan Sheila. Amel akhirnya resmi menjalin hubungan dengan Rio. Dan sejak saat itu, Rio mulai rutin menjemput Amel di sekolah. Hubungan mereka yang baru berjalan selama tiga minggu terasa begitu indah dan manis buat Amel. Dirinya selalu tidak sabar menunggu saat bertemu dengan Rio, pujaan hatinya. “Udah lama?” tanya Amel saat tiba di pos. “Belum. Aku baru sampe,” sahut Rio sambil tersenyum. “Mau pulang sekarang?” “Hm,” sahut Amel sambil menganggukkan kepalanya. “Ayo,” ujar Rio sambil meraih tangan Amel dan menggandengnya. Sementara itu, melihat Amel dan Rio sudah pergi, Sheila bergegas menghampiri Jonathan yang baru saja keluar dari gedung sekolah. “Jo, udah mau pulang?” tanya Sheila sambil tersenyum manis. Jonathan hanya melirik Sheila kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke tempat parkir tanpa mengacuhkan Sheila yang berjalan di sampingnya. “Kok ditanya cuma diem sih?” protes Sheila sedikit berani. “Masa elo nggak bisa liat?!” sahut Jonathan dingin. “Nanya kan nggak salah dong Jo,” balas Sheila semakin percaya diri. Sheila sudah bertekad untuk terus mendekati Jonathan dan menarik perhatian pemuda yang disukainya itu. Apalagi, Amel dengan jelas sudah mengatakan tidak memiliki perasaan khusus pada Jonathan dan karena sudah memiliki kekasih.  Jonathan melanjutkan langkahnya menuju motor dengan langkah yang sedikit dipercepat. Sedangkan Reza yang baru keluar dari gedung sekolah, langsung mengejar sahabatnya. “Aku ikutan pulang boleh?” tanya Sheila sambil memegang lengan Jonathan. Jonathan yang merasa risih, langsung menepiskan tangan Sheila.  “Lepasin!” “Emang kenapa? Amel kok boleh pegang elo?” tanya Sheila dengan nada tidak suka. Jonathan menghadap ke Sheila dan menatap gadis di hadapannya dengan pandangan dingin dan menusuk. Reza yang melihat gelagat tidak baik, langsung menghampiri dan menahan tangan Sheila. “Shel, jangan begitu, sini ikut aja sama gue,” sela Reza. “Nggak mau! Gue mau sama Jonathan aja,” sahut Sheila keras kepala. Tanpa mengatakan apa-apa, Reza menarik tangan Sheila dan membawanya menjauhi Jonathan. Reza agak gentar melihat wajah Jonathan yang berubah menjadi keras dan dingin. Sahabatnya jarang sekali menunjukkan ekspresi seperti itu, kecuali jika ada sesuatu yang sangat mengganggu dirinya. “Apaan sih! Lepasin!” sentak Sheila kesal. “Elo liat situasi dulu dong,” tegur Reza. “Situasi apan?! Emang mau ada perang segala?!” “Elo nggak liat tuh muka Jo?” tanya Reza. Sheila mengikuti pandangan Reza dan sedikit terkejut melihat tatapan Jonathan yang begitu keras dan dingin. Namun, Sheila tidak ingin menunjukkannya di depan Reza. “Gue heran sama dia, kenapa sih kok anti banget sama cewek?! Tapi bisa bersikap manis dan perhatian sama Amel! Emang kelebihan Amel di mana sih?!” Reza terkejut mendengar perkataan Sheila serta sorot mata gadis itu yang menunjukkan kemarahan dan juga kebencian. Selama ini Reza mengenal Sheila sebagai gadis yang manis dan ramah, berbanding terbalik dengan apa yang dia lihat sekarang. “Elo kok ngomongnya gitu sih Shel? Kan Amel temen elo? Lagian Jonathan mau gimana kan bukan urusan elo juga,” sahut Reza. “Tau ah, mending gue pulang!” Sheila mulai berjalan meninggalkan Reza. “Elo mau gue anter nggak?” tanya Reza. “Nggak usah! Gue tuh maunya pulang dianter sama dia,” ujar Sheila sambil menunjuk ke arah Jonathan yang sudah menyalakan mesin motornya. “Tapi karena dianya belum mau, mending gue pulang sendiri!” sahut Sheila dingin. “Mau sampe kapan juga, elo nggak akan pernah berhasil ngedapetin hati dia Shel,” ujar Reza. “Kenapa?!” tantang Sheila dengan mata berapi-api. “Hati dia udah ada yang punya,” sahut Reza. “Siapa?! Amel?!” cecar Sheila. “Mana gue tau siapa orangnya, cuma Jo dan Tuhan yang tau.” “Nggak seru lo!” ujar Sheila seraya berjalan kembali. Reza menggelengkan kepala melihat kelakuan Sheila. Benar kata Jonathan bahwa Sheila itu hanya berpura-pura bersikap ramah dan bersahabat pada Amel. Awalnya Reza menganggap itu hanya sebuah kekhawatiran belaka. Namun, sekarang Reza harus mengakui jika insting Jonathan itu benar, karena dia sudah melihat dengan mata kepala sendiri sikap Sheila. “Ternyata dugaan elo bener Jo,” gumam Reza. “Gue jadi khawatir sama Amel.” *** Rio mengantarkan Amel pulang menggunakan motor. Dia sengaja mengendarai motor dengan kecepatan rendah supaya dapat lebih lama menikmati waktu dengan Amel. Namun, selambat apapun, akhirnya mereka tiba juga di rumah Amel. “Rio, kamu nggak mau masuk dulu?’ tanya Amel ketika turun dari motor. “Nggak enak sama keluarga kamu Mel,” sahut Rio yang baru saja melepas helm. “Gapapa, masuk aja. Mama mau kenal sama kamu.” “Serius?” “Iya lah, masa aku boong sih?” sahut Amel. “Ikut masuk ya,” pinta Amel. “Baiklah,” sahut Rio. “Motornya aku bawa ke dalem?” “Iya dong,” sahut Amel. Amel berjalan menuju gerbang dan meminta pada sekuriti untuk membukakan gerbang supaya motor Rio dapat masuk ke dalam.  “Ayo,” ujar Amel naik kembali ke atas motor. Rio mengendarai motor memasuki halam rumah Amel yang luas dan menghentikannya tepat di dekat undakan rumah. Amel turun dari motor dan menggandeng tangan Rio. Mereka menaiki tangga teras menuju ke pintu rumah yang sudah dibuka oleh salah satu ART. Amel membawa Rio masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan Laras. “Mam, kenalin ini Rio,” ujar Amel pada Laras yang sedang duduk sambil membaca majalah di ruang tengah. Laras berdiri dan berjalan menghampiri Amel dan Rio. Dia memperhatikan pemuda yang dibawa oleh anaknya.  “Selamat sore Tante, kenalin saya Rio,” ujar Rio dengan santun. “Oh, jadi ini orangnya yang udah bikin Lia jatuh hati?” goda Laras. “Ih Mama! Apaan sih?!” ujar Amel manja. “Lho, Mama bener kan?” sahut Laras. Pipi Amel kontan merona mendengar perkataan laras yang diucapkan di depan Rio. “Kalian mending ngobrol di belakang gih, biar nyaman,” ujar Laras. “Iya Mam,” ujar Amel. “Ayo kita ke belakang,” ujar Amel sambil menggandeng tangan Rio. Rio berjalan mengikuti Amel sambil memperhatikan sekeliling Rumah yang besar dengan perabotan berkelas menghiasi rumah gadis yang kini resmi menjadi kekasihnya. Sebuah seringai muncul di sudut bibir Rio. “Kamu duduk sini dulu ya, aku mau ke dapur sebentar,” ujar Amel setelah mereka tiba di gazebo. “Oke.” Amel berlari meninggalkan Rio menuju ke dapur. “Mbak, tolong bikinin minum ya, sekalian bawain kue,” pinta Amel pada salah satu ART yang bekerja di sana. “Baik Non.” Amel kembali berjalan menuju ke gazebo untuk menghabiskan waktu bersama dengan Rio. Di ruang makan, Amel bertemu dengan adiknya yang sedang mengambil minum dari dalam lemari pendingin. “Kak, di belakang ada siapa?” tanya Brenda. “Pacar gue, kenapa?” “Gapapa,” sahut Brenda. “Terus Kak Jo di mana?” “Mana gue tau, kan gue bukan pengasuhnya,” sahut Amel sambil berjalan meninggalkan adiknya. “Ish, diajak ngomong, jawabnya sembarangan,” gerutu Brenda. Brenda mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Jonathan.  “Kak Jo, di rumah nggak?” “Iya, kenapa Cha?” “Brenda ke rumah ya, boleh?” “Boleh, emang kamu mau apa?” “Latihan gitar lagi Kak, mumpung Kak Amel lagi ada pacarnya.” Jonathan terdiam mendengar perkataan Brenda. Dia sudah tahu jika Rio sedang bertamu di sebelah, akan tetapi tetap saja hatinya terasa sakit ketika Brenda mengatakannya. Namun, Jonathan sudah bertekad untuk menyembunyikan perasaannya, demi Amel. “Kalo mau ke sini, dateng aja. Aku lagi luang kok.” “Oke.Chaca ke sana sekarang.” Setelah memutus sambungan, Brenda bergegas ke rumah Jonathan dan berlatih gitar. Sementara itu di gazebo Amel merasa sangat senang dapat menghabiskan sore hari bersama Rio di sini, di rumahnya. Sampai ponsel Rio berbunyi. “Tunggu sebentar ya,” ujar Rio sambil berjalan sedikit menjauhi Amel untuk menjawab panggilan tersebut. “Halo?” “Elo di mana sih?! Masih sama dia?!” “Iya, gue lagi di rumahnya.” “Serius lo?” “Hm.” “Pulang sekarang dong, gue pengen ngomong. Penting!” “Nggak bisa nanti?” “Pokoknya pulang sekarang! Gue kangen tau!” “Oke.” Rio memutus sambungan telepon dan berjalan kembali menghampiri Amel yang sedang membuka salah satu media sosial. “Mel, aku pulang dulu ya,” ujar Rio. “Kenapa?” “Mama aku mau minta dianterin belanja,” sahut Rio. “Oh …, padahal aku masih pengen ngobrol,” sahut Amel sedikit kecewa. “Nanti kan masih bisa.”  “Iya. Aku anter ke depan yuk,” ujar Amel sambil bangkit berdiri. Amel mengantarkan Rio sampai ke teras dan menunggu sampai kekasihnya pergi, barulah dia masuk ke dalam rumah. “Kamu dari mana?” tanya Laras. “Habis anterin Rio pulang,” sahut Amel lesu. “Lho? Kenapa udah pulang? Kenapa nggak sekalian diajak makan malam?” tanya Laras. “Dia mau pergi anterin mamanya belanja,” sahut Amel. Laras tertawa melihat wajah Amel yang cemberut. “Udah, jangan manyun, ntar jadi jelek. Mending kamu mandi, bentar lagi kan mau makan malam,” ujar laras sambil menepuk bahu anaknya. *** Setelah makan malam, Amel pergi ke rumah Jojo. Rasanya sedikit aneh bagi Amel karena bertemu sahabatnya hanya di sekolah, dan Jonathan juga tidak muncul di rumahnya untuk ikut makan malam bersama seperti biasanya. “Bi, Jojo mana?” tanya Amel pada Surti. “Ada di kamarnya Non,” sahut Surti. Amel berjalan menaiki tangga dan menuju ke kamar Jonathan. Tiba di depan kamar, tanpa permisi Amle langsung membuka pintu seperti yang biasa dia lakukan. “Jojo!” seru Amel. “Lho, kok nggak ada?” gumam Amel ketika tidak menemukan Jonathan. Amel berjalan menuju balkon, tempat favorit Jonathan saat di dalam kamar. “Ternyata di sini,” ujar Amel sambil berdiri di samping Jonathan. “Ngapain ke sini?” tanya Jonathan. “Kangen lah sama elo, kan cuma ketemu tadi pas di sekolah.” “Kan kamunya sibuk Mel,” sahut Jonathan. “Elo nyindir gue?!”  “Nggak, mau ngapain juga nyindir kamu.” “Elo udah makan belum Jo? Kenapa tadi nggak ke rumah?” “Gapapa. Tadi Bibi masak, kasian kalo nggak dimakan,” sahut Jonathan. “Tumben amat.” “Kamu masih lama di sininya? Aku mau tidur Mel, cape,” ujar Jonathan sengaja mengusir Amel secara halus. “Elo kenapa sih? Sakit? Masa jam segini udah mau tidur?” protes Amel. “Besok kan sekolah Mel, dan aku nggak mau kesiangan,” ujar Jonathan memberi alasan. “Bohong! Paling elo mau nonton atau main playstation,” sahut Amel. Jonathan tidak mengacuhkan perkataan Amel. Dia membalikkan badan dan berjalan menuju tempat tidur. Jonathan sengaja merebahkan badan dan menarik selimut untuk memastikan pada gadis itu jika dirinya benar-benar ingin beristirahat. “Elo beneran ngantuk?” tanya Amel yang terkejut melihat Jonathan berbaring di kasur sambil memejamkan matanya. “Kamu kalo dibilangin suka nggak percaya sih.” “Ya udah kalo gitu gue pulang.”  Amel berjalan meninggalkan kamar Jonathan dengan perasaan yang sedikit kecewa. Tadinya dia ingin mengobrol dengan Jonathan. Tidak disangka reaksi sahabatnya akan seperti tadi, bahkan terasa sedikit dingin. Begitu Amel keluar, Jonathan bergegas mengunci pintu kamar untuk memastikan Amel tidak dapat masuk. Saat ini dirinya benar-benar merasa enggan mengobrol dengan gadis itu. Dia ingin menenangkan perasaannya supaya nanti dia bisa bersikap seperti biasa pada Amel. *** Sepulang dari rumah Amel, Rio mengendarai motor menuju ke rumah di mana sudah ada seseorang yang menunggunya. Dia sengaja berbohong pada Amel, karena tidak ingin gadis itu mengetahui sesuatu yang sengaja dia tutupi. Rio membuka pintu pagar, dan membawa motornya masuk ke dalam. Setelah itu dia berjalan memasuki rumah.  “Udah lama?” tanya Rio. “Udah dari tadi kali, elonya aja yang lama.” “Kan udah dibilang jangan ngehubungin gue kalo lagi sama Amel!” “Tapi kan gue bosen sendirian di sini,” sahut gadis itu. “Itu urusan elo! Kan elo yang nyuruh gue buat ngedeketin dia, jadi terima aja resikonya,” sahut Rio datar. “Jangan bilang kalo elo suka beneran sama dia?!”  “Kalo iya kenapa? Gue yakin kalo gue beneran sama dia, hidup gue pasti terjamin.” “Dasar matre lo! Terus gue mau dikemanain?!” “Gampang! Tetep seperti sekarang, dan dia nggak akan tau. Toh yang bakal untung juga elo kan, kecipratan hartanya dia,” sahut Rio. “Ngomongnya enak banget lo! Terus gue mesti jadi yang kedua?!” “Kalo emang perlu, kenapa nggak? Hari gini jangan mikirin cinta doang, tapi liat kenyataan hidup. Kita butuh yang namanya uang kan buat bisa hidup nyaman,’ sahut Rio dengan santai. “Pokoknya awas kalo gue sampe tau elo main hati ke Amel!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD