APAKAH INI NYATA?

1428 Words
"Dahulu aku tidak mengerti kenapa orang-orang ingin hidup lebih lama di dunia ini, sampai ketika aku bertemu denganmu. Halo seseorang yang membuatku merasakan hal baru, ingin menjadi alasanku menyematkan semoga panjang umur dalam do’a?” ***  Gabriel masih tertidur pulas.  Aku mengamati wajah tampannya, mulai dari helaian rambut yang menutupi keningnya, kemudian alis tebalnya, hidung mancungnya dan terakhir bibirnya yang membuatku hampir kehabisan napas. Hah, dia terlihat seksi sekaligus lucu seperti bayi. Aku tidak akan pernah bosan memandangi wajahnya setiap hari.  Awalnya aku akan pergi ke kamar mandi- aku mengatakan itu kepada diriku sejak satu jam yang lalu tetapi karena Gabriel benar-benar memelukku erat, aku tidak bisa pergi kemana-mana. Laki-laki ini benar-benar membuatku menjadi gulingnya.  “Kamu tidak ingin bangun?” gumamku. “Riel?”  Memainkan jariku di kedua alis Gabriel dengan membuat gerakan kecil di sana sampai akhirnya si empunya alis menangkap tanganku. Meskipun sedikit terkejut, aku juga tersenyum lebar.  "Selamat pagi," sapanya sambil membuka mata. Dia tersenyum manis sebelum mendaratkan ciumannya di bibirku. "Tidur nyenyak?"  Membalas kecupannya, aku terkekeh. "Selamat siang, Tuan Effendi. Tidak perlu khawatir karena tidurku nyenyak sekali, terima kasih banyak padamu,” balasku dan saat melihat Gabriel kebingungan, aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa. "Kita bangun telat, sekarang sudah hampir jam 12 siang."  "Oh ya?" Gabriel mengedipkan matanya dengan lucu, bibirnya sedikit di manyunkan, dan dia terlihat sedikit bingung. Aku tebak ini adalah pertama kalinya dia bangun terlambat.  Setelah selesai melihat sekeliling, Gabriel kembali menatapku. Kali ini dia bahkan tidak berkedip dan benar-benar menatap lurus ke arah mataku. Bibirnya membentuk sebuah senyum kecil yang sangatlah lucu, itu terjadi cukup lama sampai kemudian dia menghela nafas.  "Aku lapar,” keluhnya.  "Jika kamu sudah melepaskanku dari tadi, makanan mungkin sudah tersedia, Tuan Muda." Aku tersenyum mengejek tetapi Tuan Muda ini bahkan tidak melonggarkan pelukannya. "Riel? Kamu ingin kelaparan seharian?"  "Hm?"  "Ayo lepas, aku harus pergi ke kamar mandi."  "Lima menit."  Menghela napas, aku mencubit lengannya. "Riel?!"  Gabriel memanyunkan bibirnya, dia melonggarkan pelukannya sedikit demi sedikit sampai akhirnya aku bebas. Tapi baru saja kaki kananku menyentuh lantai, aku teringat satu hal.  "Aku pakai selimutnya!" seruku sambil menarik-narik selimut yang menutupi kami berdua. "Kamu bisa mengambil bajumu sendiri di bawah, aku harus pergi ke kamar mandi."  "No." Gabriel menggeleng, dia enggan melepaskan selimutnya dan senyum tengilnya itu selalu muncul di saat-saat seperti ini. "Kalau kamu ingin ke kamar mandi, ya sudah pergi sana."  Dia ini gila ya?  "Bajuku ada di sebelah sana, kamu ingat kalau kamu yang melemparnya tadi malam, bukan? Ayo ambil!" perintahku, tetapi bukannya segera mengambil bajuku, dia malah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah menyebalkan.  "No."  Haish, apa bahasa pertamanya adalah ‘No’?  "Effendi!!"  Gabriel tertawa terbahak-bahak, dia terlihat bahagia sekali. "Wajah kamu selalu selucu ini ketika marah? Menggemaskan sekali!" dia mendekatkan wajahnya pada wajahku dan mencium pipi kiriku.  "Sudah, kan? Ayo ambil sekarang!"  Dia mengambil kemeja putihnya yang dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai semalaman. "Pakai itu saja," ktanya sambil tersenyum, dia mengedikkan bahu.  Aku berdecak tetapi tidak ingin melontarkan protes berlebih. Dia itu menyebalkan dan usil sekali. Hah, boys always be boys, huh?  "Apa lihat-lihat?" bentakku malu sambil melotot.  "Lalu? Aku punya dua mata. Lagipula kenapa memangnya? Toh aku sudah melihat semuanya."  Menutup telingaku, aku tidak ingin mendengarkan Gabriel berbicara. Hauh, rasanya wajahku akan terbakar jika meladeni suamiku ini lebih lama.  "Risha, ingin mandi bersama? Kita berdua?"  "Tidak!" teriakku dari dalam kamar mandi. Dia itu selain usil, ternyata juga m***m.  Di dalam kamar mandi aku menunggu sampai Gabriel benar-benar pergi dari depan pintu, setelahnya aku duduk di atas kloset dan kembali merenung. Bagaimana jika aku mencoba menelpon markas lagi? Maksudku, aku sudah mencobanya berkali-kali sebelum ini dan sama sekali tidak mendapat balasan. Tetapi siapa tahu hari ini aku akan mendapatkan hasil berbeda, bukankah begitu? Lagipula tidak ada salahnya mencoba.  Aku mulai berdiri dan memejamkan mata, mencoba untuk fokus.   "Halo? Markas misi 16, Petugas Arsila memanggil. Halo? Markas misi 16, Petugas Arsila memanggil. Halo?"  Tidak ada jawaban. Sial, sekarang aku merasa seperti alien yang tersesat.  Bagaimana tidak? Selama aku menjalankan misi sebagai pelayan di sebuah kafe yang memiliki tempat perjudian rahasia, aku tidak pernah melihat orang-orang PRUNUS lewat. Aku pikir itu hal normal, karena sewaktu mereka membuat pikiranku berada dalam tubuh seekor kucing ataupun anjing, aku juga tidak sesering itu melihat orang-orang PRUNUS. Tapi ternyata kali ini berbeda.  Tidak, sebenarnya ada lagi yang lebih aneh. Aku memang pernah mendengar bahwa seniorku di PRUNUS melakukan misi pernikahan dengan menyamar menjadi pengantin wanita. Tapi aku? Aku tidak menyamar, wajahku masih sama saja. Hanya nama ku yang berubah.  Apa jangan-jangan aku terbuang? Atau musuh menemukan markas PRUNUS dan berhasil menghancurkannya sehingga sistem kami mulai eror dan semua orang di sana menjalani misi yang tidak masuk akal seperti ini? Apa kami dilempar ke seluruh belahan dunia?  “Hahaha tidak mungkin, kan? PRUNUS memiliki sistem keamanan yang kuat, sekuat imajinasiku sekarang,” aku mencoba menenangkan diri. “Benar, tidak ada masalah. Tidak ada, Arsila. Kau akan baik-baik saja dan ya, kau hanya perlu menikmati semua- haish, lagi-lagi mereka membuatku pusing.”   Mencoba menghilangkan kemungkinan terburuk, aku memilih untuk menyelesaikan ritual mandiku. Aku benar-benar kesal, gelisah dan takut pada saat yang bersamaan sampai kemudian tanda kemerahan yang aku temukan di beberapa titik tubuhku membuatku kembali merona.  “Gabriel sialan!” umpatku.   Aku membuka pintu kamar mandi tetapi tidak menemukan Gabriel di dalam kamar. Memilih untuk tidak peduli, aku langsung berjalan cepat ke arah lemari, mengambil baju berwarna merah muda dan segera memakainya.  Tuan Effendi itu pergi kemana, ya?  "Riel?" Aku berjalan menuruni tangga sambil memanggil nama Gabriel. Dia tidak terlihat di manapun da- oh? Apa itu?  Melangkah perlahan dengan mulut menganga karena takjub, aku melihat sarapan-tidak, makan siang kami sudah selesai di siapkan. Aku langsung tersenyum karena suamiku itu menyiapkannya dengan sangat baik.  "Oh? Kamu sudah selesai mandi?" Gabriel mengecup puncak kepalaku dari belakang, dia juga mengacak-acak rambutku. “Hm, harum.”  Sebenarnya aku masih sering terkejut tiap kali Gabriel mencium, memeluk atau menggenggam tanganku. Maklum, ini benar-benar pertama kalinya untukku.  "Hm, kamu dari mana tadi?" tanyaku.  "Keluar untuk memberi kopi kepada satpam," Gabriel tersenyum. "Ayo makan, aku sudah lapar sekali. Kamu juga, kan?"  "Cih, ini karena kamu ‘kebo’. Bisa-bisanya telat bangun."  Gabriel terkekeh pelan. Kami akhirnya mulai makan dan berbicara sesekali- sebenarnya hanya aku yang berbicara dengan terus memuji hasil masakannya. Wah, aku pikir jika dulu aku pergi berkencan dan tidak diam di rumah untuk meratapi diri sendiri, mungkin sekarang aku akan baik-baik saja.   Hm, tetapi aku cukup bersyukur karena PRUNUS menyelamatkanku dari krisis percaya diri dan membuatku cukup mempunyai alasan untuk bertahan hidup. Setidaknya mereka memberiku bonus besar hari ini.  "Biar aku saja," ucapku saat Gabriel hendak berdiri untuk mencuci piring, "Karena kamu sudah masak, sekarang giliran aku yang cuci piring."  "Ah iya, aku memiliki hadiah untuk kamu." Gabriel tiba-tiba berlari ke arah kamar. "Tunggu, oke?” teriaknya.  Hauh, dia benar-benar seperti anak kecil.  "Risha!"  Wow, aku bahkan baru saja meletakkan piring kotor dan dia sudah kembali, benar-benar sangat cepat.  "TADA!" teriaknya riang, Gabriel bahkan memberiku tatapan seperti anak kucing menunjukkan sesuatu yang dibawanya dari luar kepada majikannya. Matanya benar-benar berbinar.   Kenapa aku merasa memiliki adik kecil alih-alih suami? Dia benar-benar imut.  "Kamu pernah bilang ingin membaca buku ini," katanya, dia menggerak-gerakkan buku bersampul biru di tangannya, benar-benar bersemangat sekali. Dia bahkan berjalan ke arahku, menarik lenganku untuk duduk di sofa bersamanya.   “Piring kotornya-“  Aku bahkan belum selesai bicara dan dia sudah menarikku. Sudahlah, aku turuti saja.  "Suami kamu ini hebat lho, buku ini susah sekali dicari sekarang." Gabriel tersenyum, memuji. Entah kenapa senyumnya, sikapnya, cara dia menatap membuatku ingin berada di posisi ini lebih lama.  Maaf, Arisha.  "Terima kasih," ucapku sambil tersenyum sebelum kemudian memberanikan diri untuk mengecup pipinya terlebih dahulu. "Sekali lagi terima kasih."  Gabriel mengacak rambutku, dia mengalungkan lengannya di sekitar bahuku. Ini posisi yang benar-benar sangat nyaman. Dulu.. hah, bahkan aku tidak pernah membayangkan sesuatu yang berbau romantis akan terjadi padaku. Tapi sepertinya mulai sekarang aku akan mengalaminya setiap hari.  Ternyata rasanya.. menyenangkan.  "Menurut kamu, anak kelinci baru ini.. bisa mengganti posisi anak kelinci yang lama?" tanyaku.  "Hm.." Gabriel tampak berpikir.  "Menurut kamu, orang baru.. semirip apapun dia, senyaman apapun kita bersamanya, apa bisa mengganti posisi orang lama?"  "Tidak," jawabnya tegas. Gabriel kemudian menatapku, "Menurutku setiap orang memiliki tempatnya masing-masing. Tidak ada yang diganti dan terganti, semuanya memiliki tempatnya sendiri."  "Sekalipun itu orang baru?"  "Hm. Semua orang memiliki perannya masing-masing, semua orang mampu untuk membentuk kenangannya sendiri," Gabriel mengelus rambutku. "Sekalipun dia orang baru."  Aku benar-benar ingin mempercayai ucapannya tetapi itu cukup sulit. Apa orang baru sepertiku memiliki tempatnya sendiri? Aku tidak percaya diri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD