KESALAHAN SISTEM YANG MERESAHKAN

2037 Words
 "Aku tidak memiliki apapun sehingga aku tidak takut kehilangan, tapi kali ini berbeda. Menurutmu aku harus bagaimana?" ***  Sebenarnya aku lebih suka berdiam diri di rumah, tetapi Gabriel tiba-tiba mendapat panggilan untuk mengurus sesuatu di kantornya. Pada awalnya aku pikir dia tidak akan mengajakku sehingga aku akan menghabiskan waktu untuk menghubungi Prunus, namun ternyata dia mengajakku dan selain itu wajahnya terlihat sangat kesal. Dia itu merasa sangat terganggu karena diganggu di hari pertama pernikahannya.  Jujur saja, aku tidak pernah terlibat dalam romansa jadi jika aku terkesan sedikit norak atau terlalu lebay, maafkan aku.  "Tidak perlu berdandan terlalu cantik, karena selain kau sendiri sudah sangat cantik, anak-anak di kantorku suka sekali melihat perempuan cantik. Dan jujur saja aku itu tidak suka jika ‘milikku’ dilihat atau dilirik oleh orang lain," begitulah komentar Gabriel saat aku duduk di depan cermin, hendak memoles bedan dan memakai lipstik. "Risha, aku itu tidak suka berbagi."  "Itu wajar sekali, Riel, orang lain itu punya dua mata yang memang digunakan untuk melirik dan melihat," balasku sambil menjulurkan lidah. Dia ini ternyata posesif juga, dia bahkan terus menggelengkan kepalanya saat aku hendak memakai dress selutut berwarna hitam. Ck, padahal seumur hidup aku tidak pernah mengenakan dress.  "Yang itu bagus," tunjuknya pada blouse berwarna maroon, wajahnya tersenyum puas. "Terus pakai celana jeans hitam. Bagus."  Aku menghela napas dan menuruti pilihannya. Sebenarnya meskipun aku juga tidak seingin itu memakai dress, aku penasaran kenapa ada banyak dress di dalam lemari daripada baju-baju seperti hoodie, sweater, kemeja dan blouse. Tetapi selain itu, ini tidak terlalu buruk. Gabriel memang memiliki selera yang cukup bagus dalam memadukan pakaian.  Aku melirik Gabriel karena laki-laki itu tidak lagi bersuara. Dia sedang duduk di atas kasur, mengerutkan keningnya karena fokus pada sesuatu di ponselnya.  Sebenarnya aku penasaran, apa Gabriel tidak merasakan keanehan pada sikapku? Terutama wajahku. Tidak mungkin aku memiliki wajah yang sangat mirip dengan Arisha yang asli, bukan? Apa kesalahan sistem ini juga mempengaruhi ingatan Gabriel dan orang-orang di sekitar kami?  Haish, aku akan menghajar orang-orang PRUNUS setelah mereka selesai memperbaiki kesalahan sistem ini dan aku bisa menghubungi mereka dengan leluasa. Lagipula datang ke markas tanpa mengetahui apa-apa setelah pernikahan ini juga tidak akan berjalan dengan baik, lokasi organisasi aneh tempatku bekerja ini hanya akan terlihat jika aku memiliki izin untuk datang dan pergi.  Melamun, aku tidak sadar ketika Gabriel tiba-tiba mendongak sehingga atapan mata kami bertemu. "Kenapa?" tanyanya tanpa suara, aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban sehingga dia hanya tersenyum dan kembali menatap fokus pada ponselnya.  Hah, aku ini sejujurnya sangat takut kalau-kalau aku sedang dipermainkan. Semua ini terasa cukup aneh bagiku meskipun aku sendiri juga bekerja pada sebuah organisasi yang sudah aneh. Waktu pertama bertemu Gabriel, di rooftop hari itu.. aku bahkan tidak menyadari apapun dan tiba-tiba saja sudah ada orang yang berlutut di hadapanku.  Entah ini anugerah atau awal dari sebuah bencana, tampaknya akan sulit bagiku untuk melupakan semuanya.  "Sudah?"  "Hm?" aku mengedipkan mataku. “Apa?”  "Kamu melamun?" Gabriel mendekatiku, dia mengecup keningku dua kali. Terkadang aku ingin melarangnya melakukan hal itu, aku hanya takut kalau dia mengetahui yang sebenarnya dan berakhir membenciku. Aku tidak ingin hidup dengan kebencian orang lain. "Lagi ngelamunin apa, hm?"  "Menurut kamu.. aku itu aneh tidak?" tanyaku, aku memutar tubuhku sehingga dari aku yang awalnya menatap cermin, sekarang menatap Gabriel. "Aku aneh, tidak? Ada yang berubah dari wajah aku, tidak?”  Benar, langkah yang sangat tepat, Arsila. Jika kau kebingungan, langsung tanya saja.   "Aneh?" tanya Gabriel sekali lagi, dia mengerutkan keningnya dan aku langsung mengangguk. "Iya. Wajah kamu aneh. Kamu habis operasi plastik dadakan, ya?"  Aku memukul lengan atas Gabriel ketika dia tertawa di akhir kalimatnya. "Aku serius."  "Iya, maaf," Gabriel mengusap kepalaku sebelum kemudian dia mengambil ponselnya, aku kira dia akan mengabaikan pertanyaanku, sampai dia memperlihatkan beberapa foto kepadaku.  "Ini foto pertemuan pertama kita, yang ini diambil di hari ulang tahun kamu dan yang ini waktu aku diangkat jadi direktur utama. Jadi.. coba sini aku lihat yang mana yang berubah, eum.." Gabriel mendekatkan wajahnya, tetapi pikiranku malah melayang pada foto-foto yang tadi ditunjukkannya.  Arisha..   Arisha tanpa embel-embel lain.  Kenapa wajahnya sangat mirip denganku?  "Sepertinya yang berubah ada di.." Gabriel mengecup bibirku, "Sini."  Dia tertawa renyah, tetapi aku tidak bisa. Aku hanya terus menatap Gabriel dan mulai kebingungan. Apa Arisha benar-benar memiliki wajah yang sangat mirip denganku? Apa itu sebabnya tidak ada masalah selama beberapa hari ini? Oh Tuhan, aku begitu frustasi tapi tidak ada seorang pun yang bisa aku tanyai mengenai situasi ini.  Prunus, aku ingin memaki organisasi dan tim-tim yang bertugas di dalamnya. Bukankah aku ini sangat berharga untuk mereka? Kenapa sekarang rasanya aku kehilangan jejak?   "Kamu tidak enak badan, ya? Daritadi kamu melamun terus."   "Oh, huh? Tidak, kok. Aku baik-baik saja," sahutku gugup. Aku mengambil tas hitamku. "Ayo berangkat!"  "Benar tidak apa-apa?”  Aku mengangguk meyakinkannya.   "Semua orang memiliki perannya masing-masing, tidak ada yang menggantikan tempat satu sama lain." Begitulah yang dikatakan Gabriel ketika aku kembali bertanya tepat sebelum dia menerima panggilan.  Jadi, apakah aku sedang memainkan peranku di tempat orang lain? Kemana perginya Arisha yang asli? Apakah dia hidup di suatu tempat? Atau.. mati? Haish.  "Kita makan malam di luar saja sekalian, bagaimana?" tawar Gabriel sesaat setelah mobil yang kami kendarai berjalan.  Aku mengangguk. "Oke."  Kota ini terasa tidak asing, selama tiga tahun aku mengubah hidupku dan baru kali ini aku bisa menikmati keramaian jalan dengan tenang tanpa diburu waktu. Tapi aku cukup menikmati pekerjaaanku sebagai anggota PRUNUS karena aku akhirnya memiliki kesibukan dan teman kerja yang cukup bersahabat daripada sebelumnya.   Menoleh ke samping, lebih tepatnya ke arah Gabriel. Wajah fokusnya sangat-sangat berbeda dengan tingkah kekanakan yang ditunjukkannya. Dia sempat menyebut anggaran keuangan di telpon tadi, jadi aku pikir itu adalah sesuatu yang cukup serius.  Apa misiku kali ini berhubungan dengan keluarga Gabriel, ya? Pekerjaannya, mungkin? Benar, jika begitu aku harus bisa menarik perhatian Gabriel dan membuatnya percaya kepadaku.  Tanganku kemudian bergerak untuk menggenggam tangan Gabriel, dia melirik tangannya sebelum menatapku dengan sedikit terkejut. Aku tidak mengatakan apapun selain tersenyum menenangkan dan dia juga membalasku dengan senyuman.  Beberapa menit setelahnya, kami tiba di sebuah bangunan pencakar langit yang terlihat sangat menonjol daripada bangunan di sekitarnya. Wah, ini pertama kalinya aku pergi ke perusahaan sebesar ini.  "Ayo!" Gabriel menggenggam tanganku dan beberapa karyawan langsung memberi salam begitu kami melewati pintu masuk.   "Tuan?”   Seorang pria paruh baya yang pernah aku lihat di pesta pernikahanku menyapa Gabriel dan mulai mengeluarkan berkas-berkas yang berisi tulisan rumit. Ck, coba saja kekuatan komputerku berfungsi, aku pasti dapat memahami tulisan itu dengan sekali lihat.  "Kenapa bisa ada masalah dengan anggaran? Bukankah kemarin semuanya masih baik-baik saja?" suara Gabriel berubah, dia tiba-tiba terlihat seperti orang yang tidak bisa disentuh, tapi tetap saja tangannya menggenggam tanganku dengan erat. "Apa ada sesuatu yang perlu aku ketahui, Ferdi?"  Pria paruh baya yang disebut Ferdi tadi mengangguk pelan. Ferdi membuka pintu suatu ruangan yang aku tebak sebagai ruang kerja Gabriel. Kami bertiga masuk ke dalam ruangan itu dan duduk di sofa.  "Ada apa? Tolong singkat saja karena aku tidak bisa lama."  "Korupsi,” ucap Ferdi.  Korupsi? Siapa?   "Ada korupsi yang terjadi di bagian manajemen keuangan, awalnya jumlah yang hilang sangat kecil jadi kami pikir terjadi kesalahan dalam hitungan. Tapi tiba-tiba menjadi bertambah besar hari ini, maka dari itu saya menelpon Tuan." Ferdi menunduk. "Maaf sudah mengganggu waktu Tuan dan Nyonya Muda."  "Ah, tidak apa-apa." Aku yang menjawab karena Gabriel tampak cukup kesal. Lagipula aku cukup bahagia karena dia memanggilku Nyonya Muda, rasanya seperti aku adalah tokoh utama sebuah novel romansa.  "Kita dengarkan dulu alasan dia melakukan ini, meskipun mau tidak mau dia harus melepaskan posisinya di perusahaan. Setidaknya aku harus mendengar alasannya." Gabriel mendesah, "Kita bertemu lagi besok, aku yakin jika kau berani menghubungiku itu artinya kau sudah tahu siappa pelakunya. Bawa dia atau mereka ke ruangan ini jam 10 pagi."  "Baik, Tuan."  "Ada lagi?" tanya Gabriel.  "Tidak, itu saja."  Gabriel mengangguk dan Ferdi pamit. Aku hanya diam mengamati, aku tidak begitu paham cara kerja di perusahaan.  "Manajer keuangan perusahan kita, kamu kenal siapa dia, kan?"  Hah? Siapa? Aku?  "Teman kuliah kamu, dia emang tidak datang ke pernikahan kita tetapi dia pernah menyapa kamu setiap kamu datang untuk menemui ke sini."  "Oh ya?" Aku berpura-pura mengingat sesuatu, tetapi ini sulit sekali karena aku memang tidak memiliki kenangan apapun. "Ah.. dia? Dia yang melakukan 'hal' ini?"  Oh Tuhan, tolong selamatkan aku.  "Dari bukti yang sudah dikumpulkan oleh Ferdi- maksudku, berkas-berkas yang dia tunjukkan kepadaku tadi, sepertinya semua tuduhan memang mengarah padanya dan mungkin saja ada beberapa orang yang juga membantunya," Gabriel menutup berkas-berkas yang tadi di bukanya. "Padahal hari ini hari pertama pernikahan kita."  "Tidak apa-apa," ujarku menenangkan, aku mengusap bahu Gabriel. Merasa beruntung karena dia tidak menanyakan lebih tentang manajer keuangan itu. "Waktu kita masih panjang, tapi sekarang... aku lapar."  Gabriel tertawa. "Mau makan apa?"  "Bakpao isi coklat!" jawabku penuh semangat. "Aku juga ingin sekali makan batagor."  "Bakpao? Batagor?" Gabriel menatapku aneh. "Sejak kapan kamu suka bakpao sama batagor? Dulu waktu aku mengajak kamu membeli itu kamu bilang tidak mau."  Hehe.. gawat.  "Tidak tahu," Aku menggelengkan kepala. "Tiba-tiba aku ingin sekali makan makanan itu. Ayo, Riel, Ayo!" Aku menarik-narik lengan Gabriel, berpura-pura bersikap manja untuk mengalihkan pikirannya. Tidak lucu kalau aku ketahuan sekarang.  "Benar kamu mau? Jangan sampai dimuntahin, ya?!"  Aku mengangguk dengan yakin. Keduanya adalah makanan favoritku, mana mungkin aku menyia-nyiakan makanan yang berharga? Hah, seharusnya PRUNUS memberiku misi sebagai tukang batagor saja.  "Aku tahu dimana tempat bakpao dan batagor yang enak," Gabriel membuka pintu ruangannya sementara aku melingkarkan kedua tanganku di lengannya. "Dulu waktu kamu dengan tegas bilang tidak mau makan batagor dan bakpao, aku pikir aku juga harus berhenti memakannya. Hahaha."  "Kenapa jadi kamu yang harus berhenti makan? Padahal yang tidak mau itu aku.”  Aku mengangguk dan balik menyapa para karyawan yang memberi salam ketika berpapasan dengan kami. Gabriel sepertinya adalah sosok yang disegani di kantor ini, entah karena jabatannya atau memang aura yang dikeluarkan olehnya.  "Tidak kenapa-napa juga sebenarnya. Hanya saja tidak enak kalau harus makan sendiri,” ungkap Gabriel.  "Kamu memang tidak bisa sedikit saja tersenyum kepada karyawanmu, ya?" tanyaku begitu kami menaiki lift. "Mereka semua sedang menyapa kamu, lho."  Gabriel menatapku, sekali lagi dia menatapku dengan pandangan aneh. "Kamu yang bilang tidak suka melihatku banyak tersenyum ke karyawan, terlebih jika itu wanita. Kalau dipikir-pikir lagi dari pertanyaan kamu sebelum kita berangkat ke sini, sebenarnya bukan wajah kamu yang aneh, tapi sikap kamu, sih."  "Oh ya? Aku bilang kalau kamu tidak boleh terlalu banyak senyum pada karyawan kamu?"  "Hm," Gabriel mengangguk. "Kamu lebih posesif dibanding aku, lho."  Wuah, ada apa dengan Arisha ini? Duo posesif, ya?  "Tidak apa-apa, mulai dari sekarang kamu boleh senyum sama nyapa karyawan kamu. Soalnya kalau kamu kelihatan tidak bisa disentuh, mereka bakal merasa tidak nyaman kerja sama kamu." Aku tersenyum. "Lagipula suami aku ini sudah cukup berwibawa."  "Aku suami kamu, ‘kan?" tanya Gabriel memastikan, dia menatap mataku dan tanpa keraguan aku mengangguk, menjawab pertanyaannya. Ah.. ini sebenarnya pernyataan bukan pertanyaan.  "Hm, kamu suami aku."  Gabriel tersenyum lebar. Aku melihat cinta di matanya, sepertinya dia benar-benar mencintai Arisha jika dilihat dari bagaimana dia mengikuti kata-kata wanita itu. Tetapi bukankah terlalu kejam jika Arisha asli meminta Gabriel untuk tidak tersenyum pada karyawannya? Come on, aku lebih suka dia bersikap ramah karena itulah dia. Dia tidak terlahir untuk menjadi bos yang cuek atau judes, dia sudah cukup memiliki wibawa dan karisma sendiri untuk menjadi seorang pemimpin sejati.   Hauh, dia tidak perlu menciptakan jarak sebesar itu dengan karyawannya. Toh, mereka juga memiliki peran penting dan sangat membantu dalam kesuksesan perusahaan ini.  "Riel?"  "Hm? Kenapa?"  "Kamu tidak perlu selalu menuruti perkataanku. Kamu bisa menjadi diri kamu sendiri. Kalau kamu tidak suka, langsung katakan saja kalau kamu tidak suka! Paham?"  Gabriel menatapku- tidak, lebih tepatnya sekarang dia menatap bibirku. Haish, kenapa lift ini berjalan begitu lambat?  Dia menundukkan kepalanya, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Detik selanjutnya aku sudah bisa memprediksi jika dia akan meraup bibirku dalam ciuman yang memabukkan. Karenanya, karena sebenarnya aku masih cukup canggung dan merasa akan mati lemas jika orang-orang Prunus melihat adegan ini, aku langsung pura-pura batuk.  Kapan lift ini akan membuka pintunya? Aku sudah tidak bisa menahan Gabriel lebih lama karena bagaimana juga kami baru menikah kemarin.   Lagi-lagi aku merasa tidak enak kepada Gabriel. Semoga saja kesalahan sistem ini akan cepat diperbaiki sebelum kami tenggelam cukup jauh dalam hubungan ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD