Belum banyak perubahan dari seorang ibu Marta. Tak hanya sikapnya yang masih sangat dingin, tetapi juga tatapannya. Semuanya benar-benar masih sama tanpa sedikit pun perubahan. Kedua mata itu selalu menatap Amel dengan sinis. Hampir di setiap kesempatan ketika tatapan mereka tak sengaja bertemu, ibu Marta juga buru-buru mengakhirinya. Wanita itu masih tidak sudi untuk sekadar melirik Amel. Di ruang keluarga lantai bawah kediaman megah milik orang tua Jemmy, kebersamaan itu terjadi.
Pak Winarya selaku papah Jemmy, tersenyum hangat kepada Amel. Pria itu begitu antusias, teramat bahagia mendengar kabar kehamilan Amel yang disampaikan oleh Jemmy.
“Sekarang, kamu fokus istirahat, ya, Mel. Biar kamu dan janin kamu juga sehat. Kalau kamu mau makan atau minum apa, tinggal bilang saja. Cukup telepon enggak usah naik turun tangga. Kalaupun mau kamu olahraga, olahraga yang ringan-ringan saja. Semacam yoga apa jalan kaki. Kalau enggak, panggil pelatih senam khusus ibu hamil juga lebih bagus,” ucap pak Winarya sarat perhatian dan sepertinya akan kesulitan mengakhiri senyumnya.
“Tes DNA! Mamah mau Amel tes DNA buat janinnya!” tegas ibu Marta dan seketika menorehkan luka tak kasat mata jauh di lubuk hati Amel yang paling dalam.
“Mah!” bentak Jemmy yang detik itu juga langsung emosi. Apalagi di waktu yang sama, ia mendapati kedua mata Amel menjadi basah. Istrinya itu menitikkan air mata dan buru-buru menyekanya sambil menunduk.
“Mamah sudah janji ke aku!” tegas Jemmy lirih.
Amel yakin, memang sudah terjadi perjanjian seperti yang Jemmy tegaskan. Mungkin semacam ibu Marta yang Jemmy minta bahkan tuntut untuk menerima Amel, selain ibu Marta yang juga Jemmy larang mengusik Amel.
“Mamah ini!” tegur pak Winarya lirih. Ia tak hanya menatap, tetapi juga menghadap sang istri yang ada di hadapannya. Namun, dengan sinis sang istri menepisnya sambil mendengkus sebal.
“Kalau mau tes DNA, ya ayo tes DNA. Namun selebihnya, aku beneran enggak mau memperbaiki hubungan ini lebih dari yang Jemmy minta. Aku beneran mau cerai.” Amel berusaha tenang, berusaha seelegan mungkin. Meski tanggapan tegas dari ibu Marta yang mendukung permintaan perceraiannya, sukses membuat darahnya mendidih.
“Mah!” Jemmy murka dan sampai berdiri dari duduknya.
Suasana mendadak kacau karena pak Winarya juga ikut memarahi ibu Marta.
“Andai ibu Marta berkaca pada Jemmy, ....” Amel tak kuasa melanjutkan ucapannya, ia menunduk berat kemudian menghela napas dalam sekaligus pelan. Namun bersamaan dengan itu, suasana menjadi hening karena tak ada lagi yang bersuara apalagi berucap sinis seperti sebelumnya.
“Ibu Marta yang terhormat, tolong jangan tutup mata Anda. Karena andai putra Anda wanita, dia juga memiliki masa lalu tak kalah gelap dari saya. Bahkan Anda tahu, sudah tak terhitung berapa jumlah wanita yang putra Anda tiduri di luar pernikahan. Ah sudahlah, ... saya rasa memang percuma. Kalau begitu saya permisi. Hari ini juga saya akan meminta pengacara saya untuk mengurus surat perceraian.”
“Amel,” tegur pak Winarya.
“Mengenai masalah tes DNA, kalian tenang saja. Besok juga saya akan menjalaninya karena usia janin saya sudah mencukupi untuk melakukannya.” Jujur, Amel merasa sangat terluka. Air matanya bahkan tak hentinya berlinang meski ia berusaha tegar bahkan mengulas senyuman. “Kalau begitu, saya permisi.”
“Mel,” ucap pak Winarya yang sampai menghampiri Amel.
“Maaf, Pah. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf jika selama mengenal apalagi selama menjadi bagian dari keluarga ini, aku banyak salah.”
“Sudah, biarkan saja, Pah. Kamu ngapain ikut bangun, Jem? Ingat, tanpa fasilitas dari Mamah, kamu enggak bisa apa-apa!” tegas ibu Marta sinis. Ia masih menjadi satu-satunya sosok yang duduk dan ia melakukannya sambil bersedekap.
“Terserah Mamah. Aku mau memperbaiki keluarga kecilku, Mah. Aku tetap memilih istri dan calon anak kami!” tegas Jemmy. Ia meraih
“Daripada Papah kehilangan anak-anak bahkan cucu Papah, lebih baik Papah kehilangan Mamah. Lebih baik Mamah yang angkat kaki dari rumah bahkan keluarga ini!” tegas pak Winarya.
Melalui lirikannya, Amel mendapati ibu Marta yang detik itu juga terlihat sangat syok. Wanita itu bahkan seolah mendadak mengalami serangan jantung.
“Papah serius!” tegas pak Winarya lebih tegas dari sebelumnya. Pria itu berucap lantang dan tampak sangat murka.
“P-pah ....” Ibu Marta berdiri dengan susah payah. Sebab apa yang sang suami tegaskan sukses membuat nyawanya seolah dicabut secara paksa. Tak pernah terpikirkan olehnya bahkan walau hanya dalam mimpi, ia akan mengalami situasi layaknya kini. Dibentak bahkan diancam oleh suami sendiri apalagi di hadapan Amel yang sangat ia benci.
Setelah sampai menghela napas pelan, Amel kembali melanjutkan ucapannya. Amel sudah telanjur lelah, baik fisik, apalagi hati dan pikirannya. Bahkan, Amel sudah tak berniat balas dendam dan lebih memilih menutup kisah mereka. Karena Amel sadar, andai ia tetap melanjutkan bahkan itu balas dendam, nyawa janinnya memiliki peluang lebih dari terancam.
Jemmy mencekal salah satu lengan Amel. Membuat langkah Amel terhenti dan berakhir dengan tatapan mereka yang bertemu setelah Amel menoleh.
“Lepas, Jem. Aku mohon. Aku menyerah, ... aku ingin hidup tenang. Aku hanya bisa berdoa untuk kebaikan kita, ... aku hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu sekeluarga. Semoga kamu mendapatkan jodoh seperti yang mamah kamu mau. Jodoh yang bisa membuat kamu sekeluarga bahagia.” Amel mengulas senyum di antara luka-lukanya yang telah membuat hatinya sibuk menangis. Namun satu hal yang baru ia sadari dari apa yang ia alami. Mengenai kemenangan, yang nyatanya telah ia dapatkan ketika hatinya merasa damai walau kemenangan tersebut tak sampai membuatnya harus berperang apalagi menerima penghargaan. Seperti halnya yang tengah ia rasakan, ikhlas atau itu rela, ia sungguh mendapatkan kemenangan yang sebelumnya belum pernah ia rasakan, dari keikhlasan tersebut.
“Mel ... Mel, please, Mel. Aku enggak mau! Aku beneran enggak mau! Aku mau, kita sama-sama. Aku mohon!” Jemmy menangis dan terus memohon, menggunakan kedua tangannya untuk menahan lengan Amel.
Hanya ibu Marta yang tidak peduli, bahkan sekalipun pak Winarya sang suami sampai teriak-teriak meminta ART mereka untuk mengemasi barang-barang ibu Marta kemudian mengusirnya pergi.
Malamnya, Amel dijemput Arden. Amel memang sengaja meminta bantuan Arden karena Jemmy dan pak Winarya tetap menahan Amel. Sempat terjadi perdebatan alot apalagi pak Winarya juga sampai menghalang-halangi, tetapi untuk terakhir kalinya Amel benar-benar memohon dengan dalih ingin mencari ketenangan demi kesehatan janinnya apalagi pada kenyataannya, ibu Marta tetap bertahan di sana. Barulah di keesokan harinya, setelah agenda tes DNA selesai dilaksanakan hingga Jemmy yang ditemani sang papah kembali bertemu Amel, mendadak senam jantung karena Amel sungguh memberikan surat gugatan perceraian.
“Mel, alasanku mau tes DNA karena kamu yang minta meski ini memang ide mamah aku! K-kamu jangan begini, dong. Tolong izinkan aku kembali,” rintih Jemmy benar-benar memohon.
“Enggak apa-apa, Jem. Kita cukup tunggu hasilnya. Besok pagi atau siang, hasilnya keluar. Namun bisa aku pastikan, itu anak kamu. Kalau begitu, aku pamit, ya. Aku mau bedrest total di rumah orang tuaku karena memang fleknya parah lagi.” Ditemani Arden, Amel mengalihkan tatapannya dari Jemmy. Ia menatap pak Winarya yang detik itu juga langsung menepisnya. Pria paruh baya yang masih tampak gagah itu langsung memalingkan wajah dan perlahan menunduk dalam.
Ada kesedihan, tetapi lebih dominan kekecewaan yang begitu besar dan terpancar dari pak Winarya dan Amel yakini karena keputusannya yang terus maju melanjutkan proses perceraian. Kendati demikian, demi keselamatan janinnya, Amel tetap dengan keputusannya. Ia mengikuti tuntunan Arden yang sudah langsung menggandeng sebelah tangannya, dan membawanya pergi dari sana.
"Mel ....” Jemmy terus mengejar dan mensejajarkan langkahnya dengan Amel. Wanita itu memang bungkam, tetapi Amel yang menunduk dalam juga ia dapati menangis.
Baru saja, Jemmy menyobek amplop cokelat berukuran besar dan berisi gugatan perceraian dari Amel.
“Kalau kamu mau merenung dan menenangkan diri, oke. Namun aku enggak akan menerima gugatan perceraian dari kamu. Sampai kapan pun, aku enggak akan menerima! Aku akan menunggu kamu, Mel!” Tak ubahnya pengemis, Jemmy terus mengikuti Amel, bahkan sekalipun wanita itu sudah duduk di tempat duduk penumpang sebelah setir. Jemmy nekat duduk di tempat duduk belakang tanpa bisa mengakhiri air mata, kesedihan, dan juga rasa takutnya. Sungguh, Jemmy teramat takut kehilangan Amel. Ia merasa sangat menyesal telah menorehkan luka dengan membagi hati bahkan cintanya pada Tianka.