“Paling tidak, kamu harus berpikir panjang. Mengubah perasaan apalagi pola pikir seseorang, bukanlah perkara mudah. Mamah kamu, Tianka, ... mereka sama-sama berambisi membuat hubungan kalian ada. Mamah kamu sangat ingin kamu dan Tianka menikah menjadi keluarga bahagia.”
“Kamu mungkin bisa fokus dengan janji sekaligus tujuanmu berubah, menjadikanku satu-satunya wanita dalam hidup kamu. Aku percaya kamu bisa menjadi suami sekaligus papah yang baik, sekalipun tentu kamu juga bisa berubah pikiran dan bisa jadi tak lagi menjalani tujuan awalmu, jika sesuatu hal sampai terjadi. Namun, kamu enggak mungkin bisa mengubah perasaan mamah kamu apalagi Tianka.”
“Memangnya kamu pikir, kurang apa mas Arden dalam mencintai sekaligus melindungi mbak Intan? Kurang tegas bagaimana, mas Arden kepada Inara dan orang tuanya? Inara sampai pura-pura amnesia, dia telah menciptakan banyak drama. Semuanya sungguh hancur hanya karena dendam Inara pada mbak Intan yang sudah berulang kali mengalah.”
“Iya, andai istri kamu sebaik mbak Keyra. Kalau sekelas Tianka, tentu dia tidak bisa menerima keberadaan anakku. Bisa aku pastikan, Tianka bahkan mamah kamu, akan berusaha untuk terus melukai hingga anakku mati.”
“Jadi, memang sungguh enggak ada keputusan terbaik lainnya, selain perceraian. Karena ketika kamu dengan suka cita membukakan pintu untuk Tianka, berarti kamu sudah siap menerima segala konsekuensinya termasuk perpisahan kita. Lagi pula, bukankah sebelumnya kamu memang ingin menceraikanku dan sesegera mungkin menikahi Tianka? Kenapa kamu mendadak berubah pikiran seperti ini? Hanya karena kehamilanku? Pernikahan kalian juga akan membuatmu memiliki anak dari Tianka.”
Amel mengakhiri ucapannya dengan tersenyum getir. Bagi Amel, perceraian dan juga mengakhiri rasa dendamnya pada Jemmy, Tianka, dan juga ibu Marta, merupakan salah satu hal terberat dalam hidupnya. Amel sampai merasa sangat lemas, seolah memang tak ada tenaga bahkan nyawa yang tersisa. Namun Amel percaya, mengalah demi kebaikan bersama khususnya keselamatan janinnya, jauh lebih baik ketimbang bertahan dan bisa mengakibatkan pertumpahan darah.
Jemmy dengan segala penyesalannya di tengah kedua matanya yang sembam, sudah sangat tak karuan. Ia terpejam seiring tubuhnya yang juga menjadi gemetaran. Kemudian, demi meredam rasa sesak yang teramat menyiksa, ia menghela napas dalam.
“Ayo kita pergi ke tempat di mana hanya ada kita. Kita bisa melakukannya, hidup bahagia di mana pun kamu mau,” pinta Jemmy lirih. Ia berangsur membuka matanya dan menatap Amel dengan sangat memohon. Wanita yang kini tampak sangat tirus itu sudah berlinang air mata dan baru saja menggeleng. Tak ubahnya dengan dirinya, Amel juga menatapnya penuh kepedihan.
“Percuma,” isak Amel. Suaranya sudah tertahan di tenggorokan. “Itu hanya akan membuat kita menjalani hidup layaknya buronan. Sudah, jalani saja seperti rencana awal. M-menikah, ... dan hiduplah bahagia dengan cinta pertama kamu. Anggap saja memang enggak pernah ada aku. Enggak pernah ada kami, ... enggak pernah ada kita.”
“Karena D-dion?” Jemmy mengakhiri ucapannya dengan tersenyum getir.
“Bersamamu saat aku belum bawa anak saja, mamah kamu selalu ingin membunuhku, apa kabar jika aku yang sudah punya anak, justru dengan Dion?” Tak beda dengan Jemmy, Amel juga tersenyum getir. Ia berangsur bersedekap dan melangkah pelan meninggalkan Jemmy.
Amel menatap kosong suasana luar kamarnya melalui jendela kaca yang baru ditutup gorden tipis. Sepulang dari rumah sakit, Arden memang mengantarnya pulang ke rumah orang tuanya. Tentu saja sedikit banyaknya, orang tuanya sudah mengetahui nasib pernikahannya dan Jemmy yang berakhir dengan rencana perceraian.
Suasana sudah semakin gelap dan Amel sangat berharap, Jemmy segera pergi karena ia memang sudah ingin beristirahat. Amel sudah mantap dengan keputusannya, berpisah dan hidup tenang penuh kebahagiaan dengan sang putra.
Menikah dan hidup bahagia bersama Tianka seperti rencana awal? Jemmy bisa saja melakukan itu. Hanya saja, keputusan Amel mundur ditambah kenyataan wanita itu yang ternyata tengah hamil benihnya, membuatnya tidak bisa melanjutkan rencana awal yang dimaksud. Malahan, kini cintanya benar-benar hanya Amel. Jemmy sudah bisa memilih, ia sungguh lebih berat pada Amel dan calon anak mereka. Namun jika berkaca pada renungan yang baru saja Amel katakan, memang tidak ada keputusan lebih baik selain perceraian. Namun, benarkah tidak ada keputusan terbaik lainnya? Keputusan yang tetap membuat mereka bersama-sama?
Jemmy menghela napas pelan, ia melangkah menghampiri kemudian memeluk Amel dari belakang, tetapi kali ini, wanita itu menolak ia sentuh. Barulah di pelukan kedua tang ia lakukan secara paksa, ia bisa memeluk Amel dengan cukup leluasa.
“Sekali, ... tolong beri aku kesempatan sekali lagi saja agar aku bisa membahagiakan kamu. Tolong beri aku kesempatan itu agar aku bisa menebus kesalahanku kepada kalian.” Jemmy benar-benar memohon di tengah dekapannya pada tubuh Amel yang makin erat. Setelah sampai mengunci sebelah pundak Amel menggunakan dagunya, ia berangsur membenamkan wajahnya di sana. Ia bahkan kembali merintih, memohon pada Amel sekalipun yang bersangkutan tetap mendiamkannya. Namun bisa Jemmy pastikan, dalam diamnya, Amel juga kesulitan untuk mengakhiri tangis apalagi kesedihannya. Tak pernah Jemmy sangka, keputusannya membagi hati pada Tianka, padahal sebelumnya ia sudah sempat mantap melepaskan Amel, hasilnya akan sefatal sekarang.
Keesokan harinya, ketika Jemmy bangun dan itu di tempat tidur Amel, pria itu tak lagi mendapati sang pemilik kamar. Tak hanya di tempat tidur, tetapi Amel memang sudah tidak ada di kamar. Bergegas Jemmy keluar tanpa memedulikan penampilannya.
Jemmy bertemu dengan orang tua Amel sekalipun kini masih sekitar pukul setengah enam pagi. Orang tua Amel meminta Jemmy untuk melupakan Amel agar Amel bisa hidup tenang sekaligus bahagia sesuai kemauan putrinya itu. Hal tersebut pula yang membuat Jemmy yakin, Amel telah pergi meninggalkannya.
Pagi yang buruk, Jemmy menyebutnya. Pria itu seolah kehilangan kewarasan detik itu juga. Tanpa menunggu penjelasan lebih rinci pada orang tua Amel yang menegaskan sang putri telah pergi, Jemmy pergi. Jemmy mencari Amel ke kediaman Arden yang tentu saja membuatnya diamuk oleh tuan rumah. Arden memarahi Jemmy habis-habisan dan memaksa Jemmy untuk melupakan Amel, seperti yang orang tua Amel lakukan.
“Aku mohon, Ar. Aku mohon tolong bantu aku! Aku bersumpah akan melakukan apa pun!” Di depan teras keberadaan pintu masuk utama kediaman Arden, Jemmy masih menangis sekaligus memohon tak ubahnya pengemis.
“Aku memang enggak tahu, Jem. Sumpah, aku enggak tahu Amel pergi ke mana. Nomor ponselnya pun enggak aktif. Bahkan tadi kamu sendiri yang menggeledah ponselku. Kamu sudah coba menelepon nomor Amel menggunakan ponselku!” Arden masih berucap tegas karena biar bagaimanapun, kepergian Amel yang begitu mendadak juga membuatnya cemas. Ia bahkan masih memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, meski ia juga sudah memakai kemeja lengan panjang warna biru tua dan kancingnya belum dikaitkan semua.
Kedatangan Jemmy yang langsung membuat keributan, telanjur membuat Arden emosi, sekalipun kini, Arden juga jadi bingung sendiri perihal ke mana Amel pergi? Namun bila ia melihat Jemmy, sahabatnya itu tak hanya terpukul, tetapi juga frustrasi. Belum pernah ia melihat Jemmy sekacau sekarang. Pria itu terduduk pasrah dengan posisi agak mengangkang, sedangkan kedua tangannya sibuk menjambak rambut di kepalanya.
Seharian ini, Jemmy masih belum menemukan Amel. Termasuk di butik, restoran Dion, bahkan kediaman orang tua Dion. Tak ada jejak Amel di sana, sementara hasil tes DNA menegaskan bahwa janin yang tengah Amel kandung, sangat cocok dengan DNA Jemmy.
“Kenapa harus pada sesedih itu, sih? Kan Amel sendiri yang menginginkan ini?!” ucap ibu Marta yang turut melongok hasil tes DNA-nya.
“Memang Amel yang melakukan ini, tetapi semuanya terjadi karena desakan Mamah!” tegas pak Winarya.
"Papah masih saja menyalahkan Mamah! Kalau memang Amel enggak mau, ya sudah, biarkan dia dengan keputusannya. Jemmy masih muda, dan wanita baik-baik yang mau sama Jemmy juga masih banyak!” tegas ibu Marta yang menjadi marah-marah.
“Cukup, Mah. Kepalaku pusing kalau harus dengar suara Mamah apalagi kalau Mamah sampai marah-marah!” tegas Jemmy masih menunduk serius menatap hasil tes DNA di tangan kanannya. “Satu hal yang harus aku sampaikan kepada kalian. Dokter bilang, aku punya kelainan yang bikin aku sulit memiliki keturunan. Bisa jadi, anakku dan Amel akan menjadi satu-satunya cucu kalian.” Jemmy mengakhirinya dengan menghela napas dalam. Kemudian ia melipat hasil tes DNA-nya kemudian menyimpannya di saku bagian dalam jas hitam yang dipakai.
Jemmy memutuskan pergi dari rumah untuk kembali mencari Amel.
“Jem, kamu mau ke mana?” seru ibu Marta yang sampai berteriak sekaligus menyusul kepergian Jemmy.
“Aku mau cari Amel, Mah!” tegas Jemmy sambil terus berlalu dan meninggalkan kediaman orang tuanya yang memang sangat megah.