Amel sungguh pergi dan sepertinya tidak akan pernah untuk kembali. Sudah delapan bulan berlalu, sementara semua orang terdekat juga tidak ada yang tahu.
Menenangkan diri menjadi alasan Amel pergi. Amel hanya pamit pada orang tuanya tanpa mengatakan tujuan kepergiannya. Semacam mengabarkan keadaannya bahkan itu pada orang tuanya juga tidak pernah Amel lakukan. Kenyataan yang tentu saja membuat semuanya termasuk sekelas Jemmy yakin, hubungan Amel dan Jemmy telanjur membuat Amel trauma. Bahkan sekelas Arden memilih untuk melepaskan Amel, membiarkan wanita itu hidup bebas asal Amel bahagia. Justru, Dion yang diam-diam ikut mencari, tetapi sampai detik ini hasilnya masih nihil.
Aku punya segalanya, tetapi untuk menemukanmu, aku masih saja tidak bisa! Sesal Jemmy dalam hatinya. Seperti hari-hari sebelumnya semenjak ia ditinggalkan oleh Amel, ia kembali mengamuk dan menyingkirkan semuanya dari meja kerjanya tanpa terkecuali, foto pernikahannya dan Amel.
Namun berbeda dengan biasanya, kali ini Jemmy hanya meratapi bingkai foto pernikahannya yang terkapar di lantai dari kursi kerjanya. Kaca bingkai foto tersebut retak. Layak halnya hati dan kehidupannya, ada tapi tak utuh dan benar-benar renta. Pernah terpikir oleh Jemmy, andai ia bunuh diri dan mati, apakah itu juga bisa menjadi bagian dari kebahagiaan Amel?
Aku yang memulai, tetapi aku juga yang menyesal, batin Jemmy lagi. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Dan aku tidak akan pernah melepaskanmu. Sementara perceraian yang kamu minta, ... sampai mati pun aku tidak akan pernah memberikannya! Sumpahnya dalam hati yang sudah berulang kali merapal doa berbalut penyesalan. Tangan kanannya yang mengepal di atas meja, sampai gemetaran menahan kekesalan yang begitu besar akibat rasa kecewanya.
Sore menjelang petang, Jemmy mendengar kabar dari orang yang selama delapan bulan terakhir ia tugaskan untuk mencari Amel. Langkahnya yang awalnya stabil, menjadi buru-buru keluar dari kantornya yang megah. Seorang sopir yang sudah menunggu di depan pintu masuk sebelah Range rover putih, langsung membukakan pintu penumpangnya pada Jemmy yang juga menyerahkan tas kerja kepadanya. Semuanya dilakukan dengan buru-buru, hingga di malam itu juga, Jemmy datang ke bandara memboyong keluarga Amel untuk menemui sekaligus menyusul Amel.
Di salah satu rumah sakit ternama yang ada di negeri Singa Putih tersebut, Amel tengah menjalani persalinan. Ada kelainan yang membuat wanita itu mengalami kesulitan dalam mengeluarkan bayinya. Dokter sudah menyarankan untuk melakukan metode induksi dengan meminum obat agar merangsang janin keluar. Namun bila cara tersebut tetap gagal mengingat Amel sangat ingin melahirkan secara normal, Amel harus rela membiarkan keinginan tersebut pupus.
“Normal tidaknya sebuah persalinan, kamu tetap ibu terbaiknya, Mel. Sudah tolong, jangan dipaksakan lagi. Jika caramu selalu begini, yang ada kamu bisa stres. Yang ada kamu sama bayi kamu enggak baik-baik saja. Sekarang cukup fokus, asal kamu dan janin kamu bahagia. Itu saja.” Mamah Amel, menasihati, berkaca-kaca ia menatap sang putri yang selama delapan bulan terakhir telah melarikan diri, demi mencari ketenangan sekaligus kehidupan lebih baik lagi.
Rambut panjang Amel kini menjadi sebahu dengan warna yang juga tak lagi hitam. Amel mewarnainya dengan warna kecokelatan dan penampilan Amel terlihat jauh lebih segar dari terakhir pertemuan mereka. Postur tubuh Amel juga tak sekurus seperti di kebersamaan terakhir mereka, dan masih terbilang ideal mengingat Amel tengah hamil besar. Malahan, Amel jauh terlihat lebih muda bila di bandingkan ketika wanita itu menjadi bagian dari Jemmy.
“Ini isinya satu apa dua, sih? Gede banget dan belah juga perutnya kayak lebih dari satu. Dan harusnya, ini malah sudah sepuluh bulan lebih, kan, usia mereka di kandungan?” lanjut Mamah Amel sambil mengelus-elus perut sang putri yang terbungkus seragam bersalin warna pink.
“Kalau Mamah ikut masuk, berarti ada tiga,” ucap Amel yang masih merasa canggung sekaligus risih karena Jemmy yang ada di hadapannya, pria itu berdiri di depan bibir ranjang rawatnya, tak hentinya menatapnya.
Berbeda dengan penampilan Amel yang bahkan memperhatikan kuku-kukunya dan dihiasi aneka warna cantik, penampilan Jemmy justru jauh dari kata baik. Tak ada lagi kesan tampan apalagi rapi. Malahan, Jemmy terkesan sebaya dengan papah Amel. Rambut Jemmy sudah gondrong menutupi telinga. Untuk pertama kalinya Amel melihat pria yang sudah sangat ia kenal lama itu, dalam keadaan yang sangat jauh dari standar. Apalagi, keberadaan berewok bahkan kumis tebal di wajah Jemmy, ... semua itu menegaskan, Jemmy tak merawat diri. Rambut putih dan tentu itu uban juga tampak mencolok di kepalanya.
Semua yang Amel lihat dari Jemmy membuat Amel berpikir, benarkah itu karenanya? Benarkah Jemmy begitu karena kepergiannya? Atau karena hal lain? Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut, Amel juga penasaran, bagaimana kabar pria itu karena selama kepergiannya, Amel sungguh menutup diri dan tak mengetahui kabar siapa pun selain dirinya dan apa yang ingin ia lakukan asal ia bisa tenang sekaligus bahagia dengan kehamilannya. Termasuk juga, apakah Jemmy dan Tianka sudah menikah? Kenapa pria itu justru menemukannya dan sampai memboyong kedua orang tuanya?
Terlepas dari kabar Jemmy yang turut mengusik rasa penasaran Amel, kabar kehamilan Amel yang baru saja wanita itu sampaikan dalam membalas pertanyaan sang mamah, sukses membuat semuanya terkejut sekaligus sangat bahagia. Ketiga pasang mata di sana berbinar mengamati wajah Amel dan juga perutnya. Sang mamah pun kembali mendekap Amel dan kali ini dekapan yang jauh lebih erat dari sebelumnya. Belaian dan ciuman juga Mia—mamah Amel layangkan di kepala dan juga wajah Amel. Namun kebersamaan tersebut harus mereka akhiri karena sang suami memintanya untuk pergi, membiarkan Amel hanya berdua dengan Jemmy.
“Mungkin babynya, pada kangen papahnya. Mereka menolak keluar karena menunggu papahnya,” ucap papah Amel.
Konon, entah mitos atau fakta, semacam jabang bayi pun kadang memiliki keinginan sekaligus kekuatan kuat dalam mewujudkannya. Amel juga sampai berpikir, benarkah bayi kembar laki-lakinya memang sengaja menunggu Jemmy dan mengharapkan papahnya menemani mereka ketika mereka menyapa dunia? Hanya memikirkan itu, Amel menjadi berkaca-kaca. Ia memilih menunduk guna menyembunyikan rasa nelangsa yang juga membuatnya menitikkan air mata.
Dari sebelah terdengar suara pamit dari ibu Mia. Wanita itu melakukannya dengan berbisik-bisik sekaligus penuh suka cita.
“Mamah tunggu di luar,” bisik ibu Mia lagi dan sengaja menutup pintu ruang rawat Amel yang terbilang luas.
Amel memang mengambil ruang VIP yang luas dan sampai dihiasi tempat tidur khusus selain tempat tidur untuk pasien yang Amel tempati. Kini, giliran Jemmy dan benar-benar hanya pria itu yang harus Amel hadapi.
Tanpa banyak kata, Jemmy langsung mendekap Amel dari samping, bekas ibu Mia sempat terjaga di sana. Mereka yang sama-sama bungkam juga kompak berderai air mata karena teringat perjalanan hubungan mereka. Rasa nyeri tak hentinya menyiksa dari hati mereka yang teriris. Apalagi ketika sebelah tangan Jemmy yang tidak mendekap tubuh Amel, bergerak pelan dan gemetaran menyapa perut Amel yang besar.
Meski tampak kaku bahkan mungkin ragu, elusan demi elusan, Jemmy lakukan di sana. Amel memperhatikannya melalui ekor lirikannya karena sampai detik ini, ia masih belum berani menatap Jemmy atau pun sekadar membiarkan Jemmy menatapnya secara berlebihan.
Kini, Jemmy berangsur jongkok. Tak ada lagi tangan yang mendekap tubuh Amel. Pria itu menggunakan kedua tangannya untuk mengelus-elus perut Amel yang sampai Jemmy absen melalui kecupan.
Kalian rindu banget, ya? Maaf, ya ..., batin Amel makin nelangsa. Hatinya terbesit dan turut ada penyesalan yang menyelinap. Ia menyesal karena semenjak dari dalam kandungan, si kembar sudah harus merasakan banyak gejolak batin. Tak semata efek gejolak batin yang Amel rasakan, tetapi juga mengenai kerinduannya pada sang papah. Namun, Amel sungguh tidak memiliki pilihan lain. Tetap harus ada yang dikorbankan demi menjalani pilihan terbaik. Sebab, andai Amel tetap bertahan dan membuat semua orang khususnya ibu Marta dan Tianka terus mengganggunya, bisa jadi, selain Amel terancam bunuh diri, si kembar juga tidak baik-baik saja.
“Keluar, ya. Kalian sudah waktunya keluar. Kasihan Mamah ... Mamah ingin kalian keluar secara normal.” Jemmy berbisik lirih dan baru menyadari, Amel selalu menghindar di setiap ia menciumi perutnya.
“Kenapa?” Jemmy berucap lirih sambil menatap Amel. Wanita itu masih membiarkan air matanya menggenangi sekitar mata.
“Geli. Kamu ih, mirip orang dari peradaban lain. Beres-beres penampilan dulu, sana. Aku enggak izinin kamu dekat-dekat mereka jika penampilan kamu saja, begitu. Apalagi kulit bayi pasti sensitif,” ucap Amel.
Amel baru ingat, di kamar mandi ruang rawat keberadaannya yang lebih mirip hotel, pasti ada perlengkapan untuk mencukur kumis maupun berewok.
“Kamu mau ke mana? Hati-hati,” ucap Jemmy yang bergegas berdiri karena Amel yang awalnya dalam keadaan duduk selonjor, berusaha turun sesaat setelah menenteng botol infusnya.
Jemmy berusaha membopong Amel, tetapi wanita itu menolaknya. “Takut kamu jatuh.” Jemmy sengaja memaksa, menunjukkan sikap posesif yang juga turut disertai keegoisannya.
“Aku memang harus banyak jalan atau tiduran miring biar pembukaannya bertambah.” Amel meyakinkan.
“Pembukaan?” Jemmy menatap penasaran Amel.
“I-ya, pembukaan. Pembukaan jalan lahir buat persalinan. Kebiasaan, pinternya cuma bikin!” cibir Amel yang langsung meninggalkan Jemmy.
Setelah refleks kikuk, Jemmy menyusul Amel. Ia mengambil alih botol infusnya, kemudian menyeimbangi langkah tertatih Amel. Wanita itu sampai mengangkang, seolah memang ada yang mengganjal di jalan lahirnya.
Di kamar mandi, Amel sungguh mengurus Jemmy. Ia membantu Jemmy mencukur kumis dan juga berewoknya. Karena bagi Amel, seburuk apa pun pria itu dalam jejak hidupnya, Jemmy juga pernah membuatnya sangat bahagia. Bahkan kini, pria itu datang, ada menemaninya menjalani proses persalinan. Dan tentu saja, alasannya masih peduli sekaligus menghormati Jemmy karena pria itu merupakan papah dari anak-anaknya. Meski sepanjang ia mengurus Jemmy, perasaannya menjadi campur aduk. Tegang, gugup, dan juga nelangsa, semua rasa itu berhasil mengobrak-abrik kehidupannya. Tanpa peduli apa yang telah terjadi, Amel ingin fokus pada persalinan. Ia ingin bayi-bayinya lahir dengan sehat berikut dirinya agar ia tetap bisa menjaga keduanya.
Delapan bulan kabur, membuat Amel melakukan banyak renungan. Ia merasakan proses yang teramat berharga. Ini mengenai fase kedewasaan yang kerap membuat seseorang menekan kuat egonya. Amel sadar dirinya bukan orang suci. Termasuk konfliknya dengan ibu Marta, tak serta merta mutlak kesalahan wanita itu. Amel juga andil menciptakan kesalahan, dan kini Amel ingin memperbaikinya. Iya, Amel ingin memperbaiki semuanya. Amel ingin menjadi mamah yang baik tanpa adanya hubungannya dan Jemmy. Sebab kenyataan itu juga yang ia dapatkan dari pelarian yang ia lakukan.
Sambil menikmati sensasi gelombang dalam perutnya, Amel merampungkan misinya. Ia membiarkan setiap kumis dan berewok Jemmy berjatuhan ke wastafel di hadapan mereka. Dan selama itu juga, ia terus melangitkan doa terbaik. Tak hanya untuk janin dan persalinannya, tetapi benar-benar semuanya.
Selanjutnya, Amel menggunakan ikat rambut warna pink di pergelangan tangan kananya. “Nunduk ....” Ia meraih bagian poni dan juga setengah rambut yang menghiasi kepala Jemmy. Kendati Jemmy sampai membungkuk, Amel tetap berjinjit dalam melakukan misinya hingga Jemmy yang tak tega justru mengangkat tubuh Amel dan mendudukkannya di pinggir wastafel.
“Segondrong ini, padahal kamu bukan orang yang lurus ke agama. Atau jangan-jangan, kamu mau jadi anak punk?” Amel tak segan mengomel. Tak semata karena efek gelombang cinta yang terus mengguncang perutnya, tetapi karena ia sampai bisa menguncir tuntas rambut Jemmy.
“Nanti aku pasti potong rambut. Selama kamu pergi kan memang enggak kepikiran buat melakukannya.” Jemmy menunduk menyesal, dan tetap menerima teguran demi teguran yang Amel berikan.
Kemudian, tanpa direncanakan, tatapan mereka bertemu. Amel refleks menghentikan tatapannya pada Jemmy. Ia memilih menunduk dan juga menghindar meski Jemmy masih terpaku menatap setiap lekuk wajahnya yang basah karena keringat sensasi menuju persalinan. Namun dari semua yang pria itu perhatikan, Amel sadar Jemmy menginginkan bibirnya. Bibir pria itu sudah ada di depan bibirnya. Amel sempat kembali menghindar, tetapi Jemmy tetap mendapatkannya.
Amel tidak bisa menikmati ciuman mereka yang sampai detik ini masih berlangsung, akibat sensasi persalinan yang makin terasa luar biasa. Alasan Amel sampai mendekap erat tengkuk Jemmy dan membuat kedua tangannya sibuk menjambak Jemmy hingga kunciran yang ia lakukan di sana lepas pun masih karena proses persalinan. Amel meminta diturunkan tanpa peduli Jemmy yang terpaksa menyudahi ciumannya, masih ingin lebih. Amel tahu, pria itu sangat merindukannya. Jemmy sungguh sangat menyayanginya, tetapi proses persalinan hang tengah ia jalani sungguh jauh dari kata mudah. Meski semua wanita yang telah menjadi ibu telah melakukannya, Amel merasa beban tersendiri karena biar bagaimanapun, ia harus mengeluarkan bayi kembar.
Gemetaran hebat tubuhnya di tengah deru napas tak beraturan dan kadang mendadak Amel tahan. Jemmy sampai ketakutan karena selain gemetaran hebat sekaligus berkeringat parah, Amel juga tak hentinya meracau karena rasa sakit yang tetap wanita itu tahan. Kini, Amel tengah mendekap erat tengkuk Jemmy tanpa adanya ciuman lagi. Mereka masih ada di kamar mandi yang memang terbilang luas.