Tidak menunggu lama, pesanan mereka sudah datang. Ketiganya memesan hot chocolate dan beberapa potong cake yang cukup menggugah selera. Rea menyesap hot chocolate dengan pelan karena masih panas, berharap rasa gelisahnya mereda. Kata orang coklat mampu menenangkan perasaan yang sedang gelisah.
Adel beranjak dari duduknya untuk pergi mencuci tangan. Saat penghalang di depannya menghilang, Rea menyadari apa yang membuatnya gelisah dan tidak nyaman.
“Eh itu cowok yang duduk di sebelah aku waktu di pesawat” bisik Gio pada Rea sambil menatap pria di seberangnya.
“..” Rea tidak bereaksi dengan ucapan Gio. Ia pura-pura tidak ingat tentang pria yang di maksud. padahal saat ini. rasa yang sama muncul kembali dan ia tidak tahu jenis perasaan apa ini sungguh membuatnya mual seketika. Ia bingung harus berbuat apa.
Pria itu menyadari Gio dan Rea menatapnya, otomatis membuat pria itu mengulas senyum sebagai balasan.
Rea terkejut namun tidak mampu memalingkan pandangannya pada makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah. Selama ini ia memang di kelilingi oleh kakak sepupu yang memiliki wajah sangat tampan, mampu membuat siapa saja ingin memilikinya. Tapi melihat pria ini justru berbeda, setiap melihat wajahnya rasanya Rea tidak bisa menahan senyum.
Pria itu kembali pada pandangannya melihat ke luar jendela. Diam-diam Rea berusaha mencuri pandang ke arah si pria. Ia seakan takut jika besok dan seterusnya tidak bisa memandang pria dewasa yang memiliki wajah yang teduh itu. maka, saat ada kesempatan ia akan menatap sampai puas, agar wajah pria itu bisa terekam jelas di memori Rea. Biar saja ia tertangkap basah oleh si pria, itu urusan nanti.
Adel kembali duduk di tempat semula, menghalangi pandangan gadis itu sehingga Rea tidak bisa melihat pria itu lagi. Ia mendesah kemudian menatap pesanan yang ada di meja.
“Kok diem aja Re? Nggak enak ya?” tanya Gio saat melihat Rea tertunduk pada makanannya.
“Eh, nggak kok. Ini Rea mau coba, kak Gio” Rea memasukkan potongan Croissant polos ke dalam mulutnya.
Gio dan Adel menatap Rea dengan lekat seelah tidak sabar mendengar reaksi dari penggila Croissant itu.
Rea sibuk mengunyah dengan ekspresi tidak dapat di baca oleh Gio dan Adel. Raut wajah gadis itu berubah masam membuat Gio dan Adel kecewa.
“Nggak enak ya?” tanya Gio pelan.
Namun, tiba-tiba semburat senyum sumringah membuncah pada wajah Rea “Gila enak banget, cobain deh” Rea menyodorkan dua buah Croissant miliknya pada Gio dan Adel.
Mereka berdua ingin membuktikan apa yang di ucapkan Rea. Apa beda Croissant di Indonesia dengan Paris.
“Iya enak banget. Padahal aku bukan pencinta pasrty loh” ujar Adel.
“Iya ternyata di sini enak juga. Nggak rugi kan batal ke rencana awal?” walaupun Gio tidak yakin Criossant di tempat sekarang apakah lebih enak daripada di tempat sebelumnya. Yang jelas, Rea senang Gio pun ikut senang.
Sejenak Rea melupakan pria di seberang yang tertutup oleh Adel. Dunianya hanya tertuju pada Croissant yang ada di hadapannya. Dari semua tempat yang ia pernah kunjungi, ini adalah yang paling enak. Walaupun ia belum mencoba di tempat terkenal yang antriannya cukup panjang. Ada rasa senang dan bahagia saat menggigit setiap senti Croissant tersebut. Jika memungkinkan Rea akan kembali ke tempat ini sebelum ia pulang ke Indonesia.
Setelah selesai dengan makanan mereka, Rea membayar pesanan mereka. Karena moodnya sedang bagus, maka kali ini ia yang mentraktir Gio dan Adel. Saat ia berdiri, ia masih melihat pria di posisi semula. Rea melewati meja pria itu, dari sudut matanya ia melihat dua cangkir teh dan dua slice chesscake di atas meja.
“Mungkin lagi nunggu seseorang atau istrinya atau pacarnya” pikir Rea.
Susah payah ia menenangkan hati dan pikirannya, bahkan tubuhnya seakan tidak memiliki tenaga ketika melewati pria itu. Saat meninggalkan tempat itu, Rea mencoba memberanikan diri menoleh ke meja pria itu. Ia ingin melihat sekali lagi dan tatapan pria itu mengarah ke luar jendela. Hatinya sedikit kecewa karena wajahnya tidak sepenuhnya bisa Rea lihat.
Sampai di hotel Rea segera membersihkan badannya yang terasa lengket. Ia mengguyur tubuhnya di bawah shower, berharap perasaan aneh yang ia alami beberapa hari ini bisa segera menghilang.
Berbalut bathroob ia keluar dari kamar mandi dan mendapati Raka dan Dimas berbaring santai di atas tempat tidur. Refleks Rea kembali masuk ke dalam kamar mandi, menyembunyikan setengah badannya di balik pintu dan hanya menyisakan kepala yang mendongak ke arah luar kamar mandi.
“Kak Dimas sama kak Raka ngapain di sini? Cepat keluar Rea mau ganti baju” teriaknya.
Si kembar dan Adel yang melihat kelakuan Rea tertawa geli dan semakin membesarkan niatnya untuk menggoda Rea.
“Jangan malu-malu Re, waktu masih bayi juga kami sering nonton kalau kamu lagi di mandiin mama kamu” goda Raka.
“Ck, itu kan masih bayi sekarang aku kan udah dewasa masa mau di samakan. Cepetan deh kak, Rea kedinginan nih” protes Rea.
“Ya kita balik badan tutup mata, nggak bakalan ngintip. Males keluar, udah pewe baring di sini” ujar Dimas.
“Kak Adel, bantuin. Ih” rengek Rea pada kakak perempuannya. Hanya Adel yang bisa membantunya saat ini.
“Udah tenang aja. Kamu ambil pakaian lalu ganti di kamar mandi. Biar mata mereka aku yang awasin” ujar Adel.
Sebenarnya Raka dan Dimas juga tidak serius dengan ucapannya. Mereka hanya senang bisa menggoda Rea.
Secepat mungkin Rea mangambil pakaian ganti lalu berlari masuk ke kamar mandi. Suara gelak tawa dari Dimas dan Raka terdengar setelah Rea menutup pintu kamar mandi.
Beberapa saat Rea keluar sudah berganti pakaian. Ia menyerbu ke dua kakak kembarnya dengan cara menggelitiki mereka. Rea ingin membalas kekesalannya akibat kejahilan yang di lakukan Dimas dan Raka.
“Udah Re, ampun” Dimas berguling bersama dengan Raka menghindari tangan nakal Rea yang tidak terkendali.
Adel yang duduk di sofa hanya menghela napas heran. Dimas dan Raka cukup tua untuk bertingkah seperti anak kecil di hadapan Rea. Tapi, Adel selalu saja tidak bisa menahan tersenyum setiap melihat Rea tertawa lepas dengan kakak-kakaknya. Mereka rela melakukan apapun agar gadis yang sudah beranjak dewasa itu tetap tersenyum.
Malam yang tenang setelah para pengacau pergi ke kamar mereka. Rea berbaring di sebelah Adel yang baru selesai video call dengan tunangannya.
“Kak Adel, aku boleh nanya sesuatu?” tanya Rea ragu.
"Hhhmmm" Adel berdehem, matanya masih sibuk bermain dengan ponselnya.
“Tapi kak Rea jangan marah atau salah paham ya”
Adel melirik ke arah Rea “Nanya apa sih Re, langsung saja sebelum aku ketiduran”
“..” Rea diam sesaat dan memantapkan hatinya untuk bertanya.
“Apa yang kak Adel rasakan saat jatuh cinta sama kak Vito?” pertanyaan pelan namun masih terdengar jelas oleh Adel.
Adel beranjak dari tidurnya, di lihat Rea dengan tatapan penasaran.
“Kenapa tiba-tiba kamu tanya hal semacam ini?”
Rea gelagapan namun ia berpikir tidak ada yang salah dengan pertanyaannya.
“Rea cuma mau tahu saja kak. Selama ini Rea belum pernah merasakan apa itu jatuh cinta. Jadi aku itu buta kalau urusan itu” jawabnya pasrah.
Adel mencari posisi yang nyaman dengan bersila menghadap Rea yang terlentang.
“Sebelum aku jatuh cinta, aku sama kak Vito itu temenan dulu, Re. Karena sering bertemu membuat kami merasa nyaman. Awalnya aku juga bingung, tiap ketemu dia jantung aku berdegub dengan kencang. Wajahku terasa memerah saat saling menatap dan perutku terasa mual rasa-rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu terbang serta menggelitik di dalam sana”
“..” Rea terdiam. Semua yang dikatakan Adel, saat ini ia juga merasakannya. Tapi, apa mungkin bisa jatuh cinta pada orang yang tidak di kenal? Mana bisa jatuh cinta sama orang asing. Rasanya ini mustahil.
“Kamu lagi mengalami hal seperti itu, Re?” tanya Adel penasaran.
Rea ragu untuk menjawab “Apakah cinta hadir pada orang yang sama-sama mengenal lama atau bisa datang pada orang yang bahkan tidak saling mengenal sama sekali?”
Adel diam mendapat pertanyaan seperti ini. Ia ragu untuk menjawab namun kasian melihat wajah Rea yang nampak begitu penasaran.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*