Sehari sebelum kepulangan mereka ke tanah air, Rea menyempatkan kambali ke tempat di mana ia bertemu dengan pria itu. Walaupun ini terdengar sia-sia bahkan konyol, Rea masih berharap bisa bertemu pria itu sekedar untuk tahu siapa namanya. Rea duduk di tempat yang sama, berharap pria itu ada di hadapannya. Pesannya pun masih sama seperti waktu itu, namun gairahnya terlihat berbeda yaitu terlihat lesu.
Hampir setengah jam Rea menunggu, bahkan ini adalah minuman ke duanya. Berharap pada Tuhan, agar memberi kesempatan padanya tahu tentang pria yang membuat jantungnya berdetak tidak wajar. Membuat ia mengingat sepanjang waktu, agar wajah pria misterius itu tidak pernah terhapus dari ingatannya.
Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Terlihat nama Gio terpampang di sana. Rea menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan dari Gio.
“Halo kak Gio, ada apa?” Rea.
“Di mana Re? Aku lagi sama yang lain di Gontran” jawab Gio.
“Hah? Emangnya nggak rame, kak? Aku lagi di tempat kemaren itu” bahkan Rea melupakan misinya mencicipi Croissant di Gontran.
“Kamu ngapain juga ke sana dua kali, sendiri pula. Harusnya cicipin di tempat lain. Buruan ke sini, nggak rame kok ini kakak lagi antri. Kamu ke sini ya, soalnya kita ada rencana makan malam di traktir sama kak Anya”
“Ah iya iya, Rea ke sana sekarang. Jangan lupa favoritnya Rea, kak Gio. Awas sampai lupa, ngambek aku”
“Iya bawel”
Rea menutup panggilannya dan segera bangkit menuju meja kasi untuk membayar. Rea pasrah jika memang tidak pernah bertemu lagi dengan pria misterius itu.
Sampai di tempat yang di maksud, Rea mendapati kakaknya sudah menunggu.
Rea memasang senyum termanis agar kakak-kakanya tidak memarahinya karena pergi sendirian.
“Ngilang aja nih bocah” celetuk Anya.
"Maaf" jawab Rea.
“Nih..” Gio menyerahkan kantung berisikan beberapa Croissant pesanan Rea. “Awas nggak abis, aku nggak mau lagi nganterin kamu berburu Criossant” lanjut Gio.
“Makasi kakak Gio” Rea memeluk Gio sebagai ucapan terima kasih.
“Gio aja? Padahal kita juga nungguin Gio antri lo” protes Dimas.
“Bilang aja lo mau di peluk Rea” sindir Gio.
“..” Dimas terkekeh. “Siapa nggak mau di peluk adik cantik kayak gini” ucap Dimas sambil menjawil pipi Rea.
“Sakit kak Dim” keluh Rea sambil memegang pipinya yang memerah.
“Habisnya aku gemes lihat pipi bakpao kamu” ledek Dimas kembali.
Rea memutar memutar bola matanya saat mendengar ocehan Dimas.
“Pokoknya terima kasih untuk semua kakak Rea yang cantik dan ganteng karena sudah mewujudkan misi Rea ke Paris. Yey!” seru Rea sambil mengangkat paper bag yang di berikan oleh Gio.
Semua tertawa melihat tingkah Rea yang bak anak kecil mendapat hadiah mainan. Girang tidak terkira, hingga tidak sadar beberapa orang melirik ke arah rombongan berdiri. Semua untuk Rea, asal gadis itu bahagia.
“Yuk jalan, udah gelap nih” Ajak Raka.
“Cacing di perut udah pada protes” ujar Adel.
“Minum obat cacing Del, biar nggak cacingan” suara dari Gery.
Adel mendelik “Aku nggak cacingan ya, perut langsing begini di kira cacingan” protes Adel.
“Sudah-sudah, kebiasaan kalau ngumpul ribut terus. Kalian rese kalau lagi pada laper” Anya menyela agar keributan tidak berlanjut. Lebih tepatnya kepalanya berdenyut kalau sudah mulai ada keributan di antara saudara calon suaminya.
Saat Anya bersuara, maka tidak ada yang berani menjawab atau membantah. Semua menurut tanpa ada protes sama sekali.
Malam terakhir di Paris, mereka habiskan dengan makan malam di salah satu restoran terkenal di kota Paris. Gery dan Anya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantu proses foto prewedding mereka.
Seminggu di Paris, cukup membuat mereka bisa melepas penat dari pekerjaan mereka yang sangat sibuk. Sebelumnya mereka juga sempat berbelanja barang yang tidak ada di Indonesia dan beberapa oleh-oleh untuk rekan kerja mereka.
Besok mereka sudah harus meninggalkan kota romantis ini yang begitu bersahabat selama mereka berlibur. Musim semi di Paris begitu cantik dengan mekarnya berbagai jenis bunga. Walaupun sempat di selingi hujan, namun tidak mengurangi kebahagiaa mereka berada di sana.
Rea sedang berjalan gontai ke lantai bawah, jam menunjukkan pukul tujuh malam. Sejak sampai kemarin malam, Rea hanya bangun untuk makan dan tidur kembali. Lelah penerbangan jauh dan jetleg yang ia rasakan membuat Rea lebih memilih untuk istirahat.
Di meja makan sudah ada Adel dan Putra, papa Rea.
“Malem pa” Rea mencium tangan lalu pipi Putra.
“Malam nak. Kamu masih capek?” tanya Putra pada putrinya yang duduk di sebelahnya.
“Iya pa. Tapi sekarang sudah lebih baik” jawab Rea sambil menyendok nasi beserta lauk pauk.
“Kapan kamu mulai kerja lagi, Del?” Adel duduk di seberang Rea masih sibuk menyantap makanan.
“Besok om, cuti Adel sudah habis” jawabnya sopan.
“Jaga rumah dengan baik, terutama Rea jangan suka pulang malam. Papa besok mau ke luar kota, ada urusan bisnis” ujar Putra.
“Iya pa” jawab Rea singkat. Sejak kepergian mamanya, Rea merasa hubungan dengan papanya sedikit canggung.
“Papa duluan ya” Putra meninggalkan putri dan keponakannya yang belum menghabiskan makananya.
“Baru juga ketemu, sudah pergi lagi” gumam Rea namun terdengar oleh Adel.
“Sudah jangan di pikirin. Papa kamu kerja juga buat kamu, Re”
“Iya, semua yang tahu aku mengeluh pasti akan menjawab sama persis dengan yang kak Adel bilang” wajah Rea tertunduk lesu.
“Makan Re, besok kamu kuliah kan” Adel berusaha memperbaiki suasana hati adiknya.
***
“Reaaa...” suara dari arah belakang Rea mampu membuat gadis itu terkejut.
Rea tahu siapa si pemilik suara tanpa melihat wajahnya “Jangan teriak Wen, malu kali”
Wendy langsung menghamburkan pelukannya pada Rea. Selama libur semester mereka belum bertemu. Wendy sabahat baik Rea sejak SMA dan kini mereka melanjutkan pendidikan yang sama yaitu Fashion Design & Creation di salah satu sekolah fashion terkenal di Jakarta. Rea dan Wendy bercita-cita ingin membuat sebuah brend mereka sendiri dan bisa menjajal profesi sebagai desainer terkenal di Indonesia.
“Mana oleh-oleh buat gue?” todong Wendy.
Rea memasukkan tangannya ke dalam tas dan mengeluarkan sebuah kotak berisikan oleh-oleh untuk Wendy.
“Nih. Beliin ini buat lo bikin tabungan gue seketika ringan” Rea menyerahkan ketak jam tangan untuk Wendy.
“Bagus dong, kan lo nggak berat jadinya” Wendy menerima dan matanya berbinar saat melihat oleh-oleh sekaligus hadiah untuk ulang tahun Wendy.
“Bagus banget Re. Makasih banyak lo” Wendy memeluk Rea kembali dengan perasaan senang.
“Iya sama-sama. Sebagai hadiah ulang tahun lo juga. Btw, happy birthday ya Wendyku sayang” Rea mencium pipi Wendy dengan gemas. “Gimana honeymoon lo sama Leo?”
Wendy menghabiskan liburannya dengan Leo, tunangan Wendy.
“Honeymoon dari Hongkong. Gue belum nikah mana boleh liburan berdua sama Leo” gerutu Wendy.
“Terus lo pergi sama siapa aja?” Rea jelas tidak tahu. Ia berpikir sahabatnya liburan berdua dengan Leo.
“Ada kakak dan istri kakaknya Re. Bagus juga sih, mecegah dan mengurangi dosa gue” Wendy tergelak dengan ucapannya sendiri.
“Pikiran lo m***m terus sih, dari wajah lo aja udah kebaca modus liburan sama Leo buat apaan. Makanya ortu lo nggak ngijinin kalau berdua”
Wendy hanya bisa nyengir mendengar sindiran dari Rea.
“Terus liburan lo gimana? Tujuan lo kesampaian kan? Atau lo dapet bule cakep di Paris?’ cecar Wendy tidak sabaran.
“Satu-satu kali Wen..” Rea menyentil lengan Wendy.
“Nafsu gue, nggak sabar pengen denger. Apalagi cerita tentang abang kembar lo, duh bikin panas dingin” Wendy memang tergila-gila dengan Raka dan Dimas namun hanya sebatas candaan. Baginya Leo yang terbaik.
“Ngeri banget gue dengernya” Rea bergidig. “Liburan sekaligus jadi asisten kak Anya berjalan lancar dan menyenangkan. Tujuan gue makan Croissant di Paris juga sudah. Kalau soal dapet cowok..” kalimat Rea menggantung.
“..” Wendy menatap dengan penasaran.
“Gak ada yang begituan Wen. Pengawal gue banyak” lanjut Rea.
Rea ragu menceritakan hal konyol yang ia alami dan ia rasakan selama liburan di Paris.
“Ck. Harusnya lo manfaatin liburan buat cuci mata Re, cari pacar bila perlu. Dodol lo”
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*