4. KAWIN ATAU NIKAH?

1201 Words
Adel dan Rea sibuk dengan gaun milik Anya yang menjuntai. Gaun Anya untuk foto preweding dekat menara Eiffel cukup simpel, namun karena Rea dan Adel takut ekor gaunnya kotor maka mereka membantu Anya memegangnya. Anya dan Gery terlihat sangat serasi saat melakukan sesi foto. Dimas beberapa kali mengarahkan gaya kepada pasangan tersebut. Tidak terlalu sulit bagi Dimas yang memang seorang photografer profesional. Raka sebagai asisten Dimas cukup membantu pekerjaannya. Raka sendiri ikut dalam bisnis photograpy dengan saudara kembarnya. Otak bisnisnya sangat jalan di bandingkan dengan Dimas. Jadi kakaknya menyerahkan semua urusan studio dan manajemen pada Raka. Anya dan Gery tidak malu untuk menunjukkan pose mesra mereka. Selayaknya model profesional, pose mereka selalu luwes tanpa terlihat di buat-buat. “Kak Adel nanti  mau foto prewedding di mana?” tanya Rea yang berdiri tidak jauh dari tempat foto. “Di Indonesia aja Re. Secara calon suamiku nggak setajir Gery,” jawabnya santai. “Di Indo nggak kalah bagus kok tempat foto prewednya kak. Yang penting siapa calon pengantinnya dan siapa yang ambil gambarnya.” “...”Adel mengangguk dengan ucapan Rea. “Yang terpenting, kehidupan setelah menikah Del. Mewah dan megah saat menikah tapi setelah menikah jadi melarat, sama juga bohong” Gio sedari tadi duduk di samping Rea yang berdiri, diam-diam memperhatikan obrolan Rea dan Adel. “Bijak juga lo. Tumbenan ngomong bener,” puji Adel karena tidak biasa Gio bicara dengan serius. Gio tersenyum bangga, merasa ucapannya sedikit bermanfaat. “Kalau kak Gio mau prewed di mana?” tanya Rea penasaran. “Nggak ada prewed Re, langsung kawin,” soloroh Gio. “Nikah..!!” seru Re dan Adel bersamaan. Gio terkejut karena dua wanita di hadapannya begitu kompak saat menemukan kata yang salah pada ucapannya. “Eh buset, untung nggak jatungan,” protes Gio. “Terus kamu sendiri gimana Re?” dua pasang mata menatap Rea dengan penuh rasa ingin tahu. “Rea nggak tahu. Kalau lihat kak Gery sama kak Anya jadi pengin di luar negeri juga tapi kalau inget ucapan kak Gio mending uangnya dipakai untuk hal yang lebih berguna.” “Contohnya?” sambar Gio. Sangat jarang menemukan Rea mengungkapkan pemikiran pribadinya. “Bulan madu mungkin?” jawab Rea sambil mengangkat kedua bahunya. “Tepat!” kini Gio dan Adel mengacungkan ibu jarinya secara bersamaan. Rea terkekeh, “Kalian kompak sekali” Umur yang sepadan antara Gio dan Adel, membuat mereka terkadang berada dalam satu frekuensi. Di bandingkan dengan Dimas dan Raka yang dua tahu lebih tua darinya, Gio dan Adel terkadang lebih nyambung. Banyak hal yang mereka ceritakan, dari hal serius sampai hal remeh tidak bermutu. Semua itu untuk mengusir rasa bosan menunggu proses pengambilan gambar Gery dan Anya. Adel menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Rasa lelah menggerogoti tubuhnya. Awal rencana Gery dan Anya menyelesaikan semua pemotretan dalam satu hari, harus tertunda karena cuaca tiba-tiba hujan. Anya juga tidak tega melihat Dimas dan Raka mengalami kelelahan. Segalak-galaknya Anya, tidak bisa di pungkiri dia sangat perhatian pada saudara dari calon suaminya. “Kayaknya Rea nggak ikut acara malam ini deh kak. Capek banget,” keluh Rea sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa. “...” Adel terdiam sambil menutup wajahnya dengan bantal. “Kak Adel kalau mau pergi, tinggalin Rea aja nggak masalah kok.” Adel memindahkan bantal dari wajahnya “Nggak sanggup Re, kakiku pegel banget. Sepertinya berendam di air hangat enak nih.” “Aishh! Ide bagus. Biar besok ada tenaga buat nemenin mereka lanjut foto. Besok lokasinya Museum Louvre dan Pont des Arts kan kak?” tanya Rea antusias. “...” Adel mengangguk. Sepertinya tenaganya benar-benar terkuras hari ini. *** Pemotretan hari ini berjalan lancar. Anya hanya mengenakan pakain casual jadi tugas Rea dan Adel sedikit ringan. Bahkan Rea sempat berfoto beberapa kali menggunakan kamera milik Gio. Kakaknya tidak bosan-bosan mengambil gambar Rea sendiri atau pun saat dengan Adel. Adik sepupunya itu terlihat cantik dan manis saat berfoto. Memiliki darah Rusia dari buyut mereka membuat cucu dari Brata Sastrawan terlihat cantik dan ganteng. Wajah mereka juga masih terlihat seperti bule walaupun tidak terlalu kentara. “Re, mundur dikit. Badannya agak miring ke samping.” Gio sibuk mengarahkan gaya untuk Rea. Mereka kini tengah berada di Museum Louvre, lokasi pemotretan Gery dan Anya yang terakhir.  “Oke good.” Gio mengacungkan jempulnya tanda hasilnya bagus. Rea berlari ke arah Gio dan Adel berdiri. Matanya menangkap bayangan seseorang yang pernah ia lihat. Pria di dalam pesawat itu tengah duduk sambil memegang ponsel yang ditempelkan pada telinganya. Satu tangannya lagi memegang cup yang isinya mungkin kopi panas karena terlihat masih mengeluarkan asap. Rea terdiam di posisinya, tangannya menempel pada dadanya yang kembali bergemuruh. Jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasanya, membuat dirinya merasa tidak nyaman. “Rea...!” seru Adel. Rea terkesiap, pandangannya beralih pada Gio dan Adel yang menunggunya. “Iya..iya tunggu.” Rea berjalan ke arah kakaknya namun pandangannya kembali pada pria itu. “Lihat apaan sampai mata kamu nggak berkedip?” tanya Gio. “Nggak ada, cuma lihat sekitar aja kok. Curiga aja deh,” jawab Rea sambil menyembunyikan kebohongannya. “Jadi nggak ke Gontran Cherrier?” tanya Gio sambil matanya menatap hasil jepretan dari kameranya. Raut bahagia mengembang dari wajah Rea “Jadi jadi jadi,” jawabnya semangat. “Ya udah sekarang saja. Mereka sudah selesai juga kan. Kamu ikut nggak Del?” “Boleh deh, biar pernah nyoba Croissant yang bikin Rea nggak bisa tidur” jawab Adel sambil tertawa geli pada Rea. “Asik, makin rame deh” ujar Rea. Jam menunjukkan pukul 4 sore dan saat mereka sudah sampai di Gontran Cherrier Bakery terlihat sangat penuh. Antrian begitu panjang dan membuat Gio mual memikirkan harus mengantre begitu lama. Croissant milik Gontran Cherrier terkenal punya rasa yang  kaya dengan gurih khas mentega. Itu salah satu alasan orang-orang antre untuk mendapatkan Croissant di sana. “Yah Re, rame banget.” Adel terlihat tidak semangat jika harus mengantre. “...” Wajah Rea yang antusias berubah muram, seakan mendung tiba-tiba muncul di atas kepalanya. “Cari tempat lain aja gimana?” saran Gio. “Tapi Rea pengen coba di sini kak?” jawabnya lemas. “Tapi ini rame Rea, nggak tahu dapat giliran jam berapa.” Adel benar, bisa saja mereka terjebak sampai sore. “Kita keliling sebentar di sekitar sini, siapa tahu ketemu tempat unik”  Gio berusaha meredakan kekecewaan Rea. “...” Rea masih terdiam. “Besok kalau mau, kita coba lagi ke sini lebih awal” matra ajaib dari Gio mampu mengusir mendung pada gadis itu. “Beneran ya kak?” tanya Rea menelisik, takut Gio hanya sekedar membuatnya mau pergi dari sana. “Iya janji, yuk jalan,” Gio melingkarkan tangannya pada lengan Rea dan mengajaknya berkeliling. Adel berhenti tepat di sebuah toko Bakery dengan aksen bangunan yang unik, klasik namun simpel. Adel menyeret Rea dan Gio untuk masuk. Pengunjungnya cukup ramai, namun masih ada satu bangku yang kosong di dalam toko. Mereka bertiga memesan beberapa menu, dan ternyata yang digilai Rea juga tersedia di sana. Sambil menunggu pesanan, mereka asik ngobrol seakan bahan ceritanya tidak pernah habis. Rea duduk di sebelah Gio berhadapan dengan Adel. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman namun tidak tahu apa penyebabnya. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD