Malam ini Rea mendapat tugas untuk menjemput Adel yang sedang tugas di rumah sakit. Rea baru pulang dari latihan Taekwondo di sanggar milih Gio. Gia yang notabene seorang atlet Taekwondo Nasional, lebih memilih membuka sanggar daripada harus ikut dalam menjalankan bisnis papanya bersama Gery. Walaupun begitu, Gio tetap saja mendapat bagian saham dari perusahaan papanya yang bergerak di bidang properti.
“Sory lama Re, tadi ada pasien gawat di IGD” Adel masuk ke dalam mobil Rea.
“Santai kak. Aku juga baru sampai kok”
“Yuk jalan” ujar Adel setelah memasang sabuk pengaman.
“Langsung pulang apa mau ke tempat lain dulu?” tanya Rea sambil melirik Adel.
“Terserah kamu Re. Kamu ada rencana ke mana?”
“Makan di luar kak yuk. Lagian di rumah juga kita cuma makan berdua. Nanti aku telepon bibi biar ngga usah siapin makanan. Gimana?” tanya Rea.
“Boleh. Kalau makan sushi mau nggak?” Adel.
“Boleh kak, Rea lagi pengen Ramen juga” jawab Rea.
“Oke, di tempat biasa saja”
Rea mulai menjalankan mobilnya. Membelah jalan kota Jakarta yang ramai karena ini jam pulang kantor. Beruntung bagi mereka, jalan ke restoran Jepang yang dituju tidak terlalu macet. Sepuluh menit sudah sampai di tempat tujuan.
“Kak, Rea mau ke toilet dulu ya”
“Kamu pesan apa?” tanya Anya sebelum Rea pergi.
“Ramen, seperti biasa. Minumnya samain saja sama kakak”
“..” Adel mengangguk dan mulai melihat menu yang di tawarkan di Japanese Restaurant itu.
Bruukk!
Rea terjatuh setelah menubruk seseorang saat keluar dari toilet. Ia meringis, menahan sakit pada pantatnya.
“Eh lo kalau jalan pakai mata!” seorang wanita tiba-tiba menyembur Rea dengan kata pedas.
Rea bangkit “Mbak, saya minta maaf. Tapi yang benar itu kalau jalan pakai kaki bukan mata” jawabnya santai.
Rea merasa mereka berdua sama-sama salah. tapi ia lebih memilih minta maaf terlebih dahulu karena wanita yang terlihat berumur lebih tua dari dirinya dan sangat tidak ramah.
“Apa? Kamu berani ngajarin saya?” wanita itu terlihat sangat marah, matanya nyaris melompat akibat melotot.
“Saya bicara kenyataan. Saya males berdebat, saya sudah minta maaf dan mbak juga dalam keadaan baik-baik saja. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi” Rea meninggalkan wanita itu yang masih marah-marah padanya.
“Kenapa muka kamu, Re?” Adel melihat wajah Rea yang terlihat kesal setelah datang dari toilet.
Rea duduk di seberang Adel “Tadi di toilet aku ketemu nenek lampir kak, serem dan galak banget. Kalau kak Adel ketemu hati-hati ya” ucap Rea dengan wajah mendadak misterius.
“Hah? Maksud kamu?” Adel mendadak horor mendengar ucapan Rea.
“Iya tadi aku nggak sengaja nabrak nenek lampir yang lagi PMS. Terus di marah-marah sama aku. Padahal yang jatuh aku dan dia baik-baik saja masih berdiri dengan tegak” gerutu Rea.
“Maksud kami manusia kan? Bukan nenek lampir arti sebenarnya” Adel masih tidak mengerti.
“Iyalah kak, masa iya di restoran bagus gini ada nenek lampir” Rea tergelak melihat kepolosan kakaknya.
Adel melempar edamame yang ada di hadapannya ke arah Rea, kesal adiknya mengerjai dirinya.
“Asem lo. Gue kira tempat ini horor” dengus Adel.
“Asli kak, cewek itu galak banget. Padahal sama-sama salah. Nyebelin kan. Amin-amit semoga nggak berurusan lagi sama manusia model begitu” Rea mulai memasukkan Ramen ke mulutnya. Perutnya semakin lapar saat emosinya meningkat.
“Udah ah, buruan makan. Tapi aku jadi penasaran siapa orangnya”
Rea dan Adel sibuk menghabiskan makanan mereka masing-masing. Sudah lama mereka tidak datang ke tempat ini. Rea biasanya lebih memilih menunggu papanya pulang untuk makan malam. Tapi hari ini, ia harus menelan kekecewaan saat papanya mengatakan harus ke luar kota selama dua minggu.
***
“Lo tahu nggak narasumber hari ini salah satu pemilik brand terkenal di Singapore, loh” Wendy sedang mengikuti seminar bersama Rea. Lebih tepatnya Wendy memaksa Rea agar ikut.
“Mana gue tahu Wen, lo aja ngajak gue dadakan begini. Siapa orangnya mana gue tahu” dengus Rea kesal.
“Sory deh. Gue bingung mau ngajak siapa. Tapi gue jamin lo pasti seneng kok” rayu Wendy.
Obrolan mereka terhenti saat layar monitor besar menampilkan sosok yang di maksud.
“Waduh, itu nenek lampir” gerutu Rea.
“Siapa maksud lo, Re?” Wendy tidak kalah terkejut.
“Itu yang di layar” Rea dan Wendy memandang ke depan. Tidak lama orang yang di maksud naik ke atas panggung.
“Maksud lo Clara?” bisik Wendy.
“..” Rea mengangguk mantap.
“Gila lo. Orang cantilk dan sukses kayak Clara di bilang nenek lampir” suara Wendy setengah berbisik agar tidak terdengar oleh peserta lain.
“Nanti gue cerita Wen, nggak enak kalau ribut” jawab Rea.
Jadi narasumber seminar kali ini adalah Clara Lee, pemilik brand fashion terkenal bernama C.La by Clara. Desainer terkenal yang menetap di Singapore, dan bisnisnya cukup terkenal di Indonesia maupun luar negeri. Bodohnya Rea tidak pernah tahu sosok desainer yang kata Wendy sudah melanglang buana ke penjuru dunia.
“Jadi seburuk itu attitudnya, Re?” Wendy cukup terkejut mendengar cerita dari Rea.
“Lo kenal gue berapa lama sih? Masa gue bohong Wen” Rea mencicipi matcha latte pesanannya.
“Ya gue nggak nyangka aja dia kayak begitu. Imagenya selalu mulus tanpa noda kayak paha gue. Coba saja publik tahu bagaimana aslinya, gue jamin brandnya langsung menghilang dari peredaran”
“Lebay ah. Kalau karyanya keren pasti tetap di cari sama orang-orang. Salah gue juga sih, mungkin dia lagi dalam mood kurang baik makanya senggol dikit main semprot” Rea selalu melihat sisi baik di setiap kejelekan.
“Mungkin karena udah berumur tapi masih lajang, jadi emosinya agak labil kali ya”
“Emang ada korelasinya?” tanya Rea penasaran.
“Pendapat gue aja sih. Bayangin aja umur udah matang terus masih lanjang dan nggak punya pasangan untuk berbagi, bisa saja berpengaruh sama kestabilan emosi. Iya kan?”
Rea mangut-mangut mendengar ucapan Wendy. Otaknya berusaha mencerna maksud dari sahabatnya itu.
“Menurut gue nggak juga sih. Buktinya gue single, happy-happy saja tuh”
“Lo masih muda dan masih banyak hal yang pasti lebih menarik daripada pasangan. Tapi ada baiknya lo cari pacar dari sekarang, biar pas umur lo sudah matang buat nikah lo sudah ada pasangan. Nggak sibuk nyari lagi Re. Gue contohnya” tutur Wendy dengan bangga.
“Cari cowok yang mau sama gue gampang Wen. Tapi cowok yang bisa bikin hati gue bergetar kemudian membuatnya tenang kembali itu nggak mudah. Jadi gue akan dengan sabar menunggu pria yang baik menurut Tuhan, datang ke dalam hidup gue. Karena kalau baik menurut gue belum tentu baik menurut Tuhan”
Wendy bengong mendengar Rea bicara begitu panjang dan bijak. Tidak biasanya Rea bicara serius soal jodoh atau pun soal laki-laki.
“Tumben pinter. Pasti dapet pencerahan waktu lo di Paris ya?”
“Sial lo. Walaupun gue belum pernah jatuh cinta dan belum pernah pacaran, tapi gue belajar dari lingkungan bagaimana seseorang saling mencintai. Bisa menerima segala sesuatu baik dan buruk yang ada pada pasangan dan menjaga perasaan tanpa harus saling menyakiti. Tidak menyerah saat cobaan datang menghantam di dalam hubungan. Setia sampai maut memisahkan”
“Widih, mantap banget temen gue satu ini. Gue doain lo ketemu cowok yang terbaik dari Tuhan Re. Gue jamin, saat lo jatuh cinta maka lo dengan tulus menerima segenap kekurangan pasangan lo. Lo tipe yang tidak akan mudah melepas apa yang lo cintai. Tapi jangan sampai lo memperjuangkan sesuatu yang sama sekali tidak memperjuangkan lo balik. Kenapa harus memilih atau terlibat dalam cinta yang rumit? Kalau masih bisa memilih yang bisa buat hidup tenang. Iya nggak?”
“Kalau jatuh cinta bisa memilih jatuhnya pada orang tepat dan sejalan dengan kita, maka dunia akan tentram, Wen. Nggak ada konflik dalam hidup jadinya” ucap Rea.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*