4

1011 Words
    ➰  Aku mengajak Alona jalan-jalan, membuang penat dan juga suntuk akibat hati panas. Setelah puas berbelanja di Mall menghabiskan tabungan gaji satu bulan kita memutuskan untuk mampir ke rumah makan milik teman. Teman yang kita kenal karena terlalu seringnya kita ke sana.  Aku dan Alona melangkah gembira masuk kedalam sebuah caffe, membayangkan lezatnya makanan yang hendak kita pesan apalgi dengan keadaan perut yang lagi laper, menambah nafsu makan semakin tinggi.   Ting Ting  Bunyi lonceng saat pintu restoran kita buka. Aku dan Alona sama-sama melihat sekeliling mencari tempat duduk dan ternyata tempat biasa kita duduk di caffe ini masih kosong jadi kami berjalan cepat menuju meja tersebut sebelum ada pengunjung lain yang mengincar.  "Kita ini kaya anak remaja aja, cuma karena takut meja ditempati orang kita berlarian nggak jelas." Cletuk Alona saat kita sudah duduk di meja incaran. Kita sama-sama tertawa menertawakan diri kita sendiri. Maklum kita udah sama-sama dewasa tetapi terkadang kita masih suka bertingkah seperti anak kecil.   "Mau pesan apa Kakak?" Tanya salah seorang pegawai caffe kepada kita dengan ramah. Pelayanan di caffe ini memang cukup ramah menurutku secara pribadi apalagi mereka juga lumayan ganteng dan cakep jadi harap maklum kalau pengunjung suka berlama-lama di sini. Termasuk aku dan Alona.   "Kenapa harus tanya, kita pasti pesan seperti biasanya."   "Tumben jam segini kalian udah datang, biasanya menjelang sore ?" tanya Esa pada kami. Dia mengambil kursi disebah dan ikut duduk bersama kami. Dia adalah pemilik caffe ini, kami kenal karena Esha ini tetangga Alona. Aku juga heran kenapa dia punya banyak banget kenalan dan rata-rata orang gede semua.  "Kami habis jalan-jalan, biasa hamburin uang gajian." Itu jawaban Alona, kalau fersi aku si beda.  "Kebanyakan uang si, lo. Mending buat masa depan, nggak bosen apa jomblo terus."  "s****n lo emang, kaya lo nggaj jomblo aja." Bela Alona. Aku suka kalau lihat mereka berdebat karena nggak akan ada yang kalah.  "Makanya bantu gue deketin-"Perkataan Esha terpotong, dia melirik ke arahku dan aku hanya mengangkat bahu.  Alona tersenyum seolah tahu maksud dari perkataan Esha, Alona berdiri dan membisikkan sesuatu kepada Esa sebelum akhirnya dia pergi meninggalkanku.   "Kalian ngomongin apa barusan?" Tanyaku penasaran, mana Alona langsung pergi tanpa pamit.  "Makanlah dulu, nanti keburu dingin" Dia menyuruhku sambil menunjuk makanan yang sudah terhidang dihadapan kami.   "Jnagan diemin dong, ayo makan..."Dia menyodorkan sendok kearahku.   "Aku ganteng ya..."  Entah ucapannya barusan pertanyaan atau pernyataan.  "Jangan lihatin aku kaya gitu, nanti kamu terpesona." Ungkapnya lagi, aku tahu jika dia sedang berusaha menggodaku.   "Nggak akan..."  "Yakin, lihat aja nanti. "  Begitulah Esha dihadapan aku. Kadang dia terlihat konyol, suka menggoda dan bikin hati bahagia. Jarang sekali aku dibuat kesal oleh Esa, tapi apa daya. Hatiku tak terpaut dengan dirinya.  "Ngomong-ngomong Alona pergi ke mana si, kok lama sekali." Protesku padahal makananku sudah hampir habis tapi dia belum juga kembali. Aku menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri mencari sosok Alona, tapi kok nggak juga ketemu. Padahal tadi dia yang ingin datang kesini, sekarang justru dia yang pergi berkelana entah kemana membiarkan aku dan Esa berdua saja, seolah ini sebuah kesengajaan yang sedang ia buat.    "Ki..." Panggil Esha. Tangan kekar seorang Esa sudah menggenggam tanganku saat ini.   "Mm.. Ya..." Jawabku gugup.  "Kasih aku kesempatan, aku akan berusaha membahagiakan kamu. Aku akan membantu kamu melupakan dia," bukan kali ini saja Esa mengatakan hal tersebut, ini sudah kesekian kalinya ia mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun tak sekalipun hatiku tergerak untuk menerimanya. Masih ada beban di hati.   Aku menatap wajah Esha, tersirat sebuah permohonan di sana namun aku tak bisa berbuat banyak. Aku melepas tanganku yang digenggam olehnya. Esha terlihat sekali kecewa dengan tidakanku, tapi aku jauh lebih tak ingin melukainya lebih dalam lagi. "Maaf, aku nggak bisa." Putusku kesekian kalinya.   "Aku tahu, tapi apa tak ada kesempatan? Kita akan belajar bersama-sama."  Aku menggeleng "Kita masih bisa berteman. Jika kita berteman dan ada perselisihan maka kita masih bisa memperbaikinya. Tapi kalau kita pacaran, ada masalah, putus akankah kita bisa sedekat sekarng ini?" tanyaku pada Esha. Aku yakin saat kita putus nanti hubungan kami tidak akan sebaik sekarang ini. Aku yakin ada kecanggungan dan kita akan saling menghindar satu sama lain.   "Oke, kita sahabatan. Tapi jangan tolak aku untuk memberikan perlindungan dan perhatian lebih padamu." Putus Esha pada akhirnya, aku yakin ini tidak sesuai dengan kata hatinya.   Meski berat hati, aku menganggukkan kepala dan tersenyum setuju pada dirinya.  Setidaknya aku bisa merasa lega dengan hatiku, perasaanku pada Esha dan tidak terlalu merasa bersalah karena berhasil mengungkapkan semuanya. Tapi kelegaanku tak berlangsung lama.     "Aku tinggal kebelakang dulu ya, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Pamitnya. Esha pasti menghindariku, baru saja aku ucapkan belum lama dan kecanggungan itu terjadi meski kita sama-sama memutuskan untuk berteman saja. Aku hanya bisa mengiyakan dan memberikan ucapan semangat.  Mataku berkeliling melihat sekitar, aku butuh penyegaran dan kenapa juga Alona tidak kunjung kembali, sebetulnya kemana dia. Aku sudah mencoba menghubi Alona namun belum ada satupun pesan yang terbalaskan.   Saat aku mencari sosok Alona di dalam caffe ini mataku menemukan sosok lain sedang duduk asik dengan seorang wanita di meja tak jauh dari mejaku. Aku juga tak tahu kapan mereka datang, sedari tadi perasaan aku belum melihat mereka. Mereka terlihat begitu bahagia, saling melempar kata dan juga senyuman. Membuat sudut hatiku teriris pilu. Baru saja kemarin dia menemuiku dan kini dia kembali menyakitiku.   Hatiku kembali sesak, mataku memanas. Buliran air meluncur deras hingga membasahi punggung tanganku yang aku simpan di atas paha. Aku segera menunduk ketika adegan itu meremas hatiku. Aku melihat Al dan wanita tanpa identitas berpelukan kemudian bertukar bibir dihadapan orang-orang di caffe ini. Haruskah merekam melakukan hal menjijikan itu. Kenapa pula aku harus menyaksikannya.   Tiba-tiba saja rasa cemburu itu datang dan aku tak bisa menghalaunya. Meski kemarin aku terlihat menolak kehadirannya tapi sesungguhnya dalam hati aku ingin dia berusaha untuk memperjuangkanku, meyakinkanku jika memang dia pantas untuk aku perjuangkan. Namun sepertinya apa yang aku lihat sudah cukup untuk menjawab semuanya.     "Yuki, kamu kenapa?" Tanya Alona dia telah kembali dari persembunyiannya.  Aku tak bisa menutupi kesedihanku, kedua tanganku sudah menutupi wajah dan aku menangis tersedu-sedu.    "Kita pulang..." Bisik Alona, sepertinya dia sudah tahu apa yang aku lihat.   ❤❤❤❤ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD