Hari libur untuk Orion telah usai. Mulai hari ini, ia akan mulai kembali aktif bekerja. Hari ini, dia akan menghadiri persiapan pembuatan iklan suatu produk, disusul, besok pagi ia juga harus menghadiri rapat untuk membahas proyek filmnya berikutnya.
Chisa masih berkutat di dapur saat Orion keluar dari kamar mereka. Ia menatap malas Chisa yang masih sibuk menyiapkan menu sarapan untuk mereka.
“Eh, kamu udah siap? Mau berangkat sekarang? Nggak, kan? Masakan aku belum matang soalnya,” ujar Chisa, kaget melihat atensi Orion di belakangnya.
Orion menghela napas panjang. Padahal, sebentar lagi pasti mobil jemputannya akan datang. Namun, sarapannya bahkan belum siap.
“Kamu tahu, kan, aku sudah mulai aktif bekerja hari ini?” ketus Orion.
“Iya, aku tahu. Ini aku-”
“Besok lagi, bangun lebih pagi! Siapkan semua lebih awal! Selain sarapan, harusnya kamu juga membantuku menyiapkan pakaian yang akan aku kenakan,” potong Orion dengan nada kesal.
Chisa menoleh. Ia sadar, nada suara lelaki yang menghidupinya itu terdengar tidak cukup baik. Chisa melangkah pelan ke arah Orion. “Kamu marah?”
Belum sempat Orion menjawab, bel apartemen mereka sudah lebih dulu berbunyi. Orion sekali lagi menatap Chisa malas, sebelum akhirnya berlalu begitu saja.
“Orion, tapi kamu belum makan. Kamu-”
Blam
Pintu apartemen itu sudah lebih dulu tertutup kembali, bersama dengan sosok Orion yang menghilang.
Chisa mendecak sebal. Kalau seperti ini kan akhirnya ia yang jadi merasa tidak enak. “Lagian dia nggak bilang kalau bakalan berangkat sepagi ini. Aku mana tahu?”
Selesai dengan persiapan paginya sebelum ke kampus, Chisa menyempatkan untuk mengirim pesan singkat untuk Orion. Ia meminta maaf, sekaligus berbasa-basi menawarkan untuk mengantar makanan untuk pria itu. Namun, tentu saja Orion menolak. Karena akan sangat berbahaya bagi mereka kalau sampai Chisa tiba-tiba datang ke tempatnya bekerja dan membawakannya makanan.
Chisa menghela napas gusar. Sepertinya ia tidak akan merasa tenang seharian ini.
***
Pulang kuliah, Chisa disambut wajah masam Orion yang ternyata sudah pulang lebih cepat darinya. Orion berjalan ke arah Chisa. Sedangkan Chisa yang sejak pagi masih merasa bersalah pada pria itu, hanya bisa tertunduk lesu.
“Bukannya aku sudah bilang berkali-kali, biar kamu pulang-pergi kuliah naik taksi online? Aku juga bilang, kan, biar nggak kebanyakan kelayapan sehabis kuliah?” Chisa mendongak mendengar omelan itu.
“Aku nggak kelayapan. Soal pulang-pergi pakai taksi, ojek kan sama aja. Seenggaknya aku nggak pakai bus atau-”
Deheman Orion membuat ucapan Chisa terhenti. Chisa kembali menggumamkan kata maaf, seolah ia merasa tak memiliki hak lagi untuk mendebat Orion. Lagi pula, ia bisa apa? Orion jelas menang mutlak atas perdebatan mereka. Chisa harus tunduk patuh pada pria itu, jika tidak ingin kehilangan satu-satunya sumber mata pencahariannya saat ini tersebut.
“Aku akan siapkan makan malam. Kamu masih bisa nunggu, kan? Kalau tidak, apa sebaiknya kita pesan saja? Kamu nggak perlu keluar uang. Uang aku yang dari kamu, masih lebih dari cukup kok,” ujar Chisa.
Namun, Orion tetap menatap gadis di hadapannya itu dengan datar, layaknya seorang ayah yang memarahi putrinya.
“Yon, aku kan udah ngaku salah. Udah minta maaf juga. Mulai besok, aku janji bakal naik taksi online deh, nggak lagi-lagi ngebantah ucapan kamu,” ucap Chisa.
“Soal keluyuran?”
Chisa mengernyit. “Tapi aku nggak keluyuran. Aku cuma ngampus, terus nyari referensi di perpus kota doang, kok. Kamu kok bisa nyimpulin aku ngelayap, sih? Emang kamu-”
“Aku lihat kamu keluar dari cafe tadi. Sama cowok,” potong Orion dengan nada tajam, membuat Chisa sontak menelan salivanya dengan kasar.
Chisa kembali mengingat semua yang ia lakukan hari ini. Sebenarnya, tidak ada yang aneh. Ia juga tidak berbohong pada Orion. Seharian ini, selepas kuliah, ia memang langsung pergi ke perpustakaan kota untuk mencari referensi dari tugas akhirnya, dan sempat menemui temannya di cafe.
“Kamu nggak lupa, kan, sama salah satu poin perjanjian kita?” tanya Orion, mengingatkan kembali Chisa pada beberapa poin perjanjian yang telah mereka sepakati.
Di sana tertulis, selama Chisa bekerja dengan Orion, maka ia tidak boleh menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Orion menambahkan poin itu, bermaksud untuk mengurangi risiko adanya orang yang akan memantau aktivitas Chisa sehingga hubungan mereka akan lebih rentan ketahuan. Namun, ini bahkan belum ada satu bulan. Dan Orion sudah melihat Chisa tampak dekat dengan seorang pria di perjalanannya pulang tadi.
“Chisa …”
“I- itu … aku ingat, kok. Tapi cowok tadi bukan pacar aku. Dia cuma teman penelitian aku, yang kebetulan satu pembimbing sama aku. Dan karena topik skripsi kami mirip, jadi kami mencoba buat kerjasama dan bertukar referensi,” terang Chisa, berusaha membuat penjelasan yang mudah untuk dipahami.
“Di cafe?” tanya Orion. “Katamu tadi, kamu mengerjakan skripsimu di perpus kota, kan?”
“Iya. Tapi dia udah terlanjur di cafe. Jadi aku susulin. Lagian kami ngobrol nggak lama. Pokoknya, dia bukan pacarku. Aku nggak ngelanggar apapun perjanjian kita. Jadi, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Chisa.
Orion tampak masih kurang puas mendengar jawaban Chisa. Namun, Chisa memilih untuk berpura-pura tidak peka. Ia tersenyum, lalu pamit pada Orion untuk menyiapkan makan malam mereka.
Orion tidak menahan kepergian Chisa. Ia hanya menghela napas panjang setelah kepergian gadis itu. Namun, ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia merasa tidak nyaman dengan lelaki yang tadi Chisa temui, meski Chisa sudah menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka. Orion tetap merasa, pria itu bisa saja jadi ancaman jika ia membiarkannya terlalu dekat dengan Chisa.
“Lagian sejak kapan ngerjain skripsi bisa seenak itu, tuker-tukeran referensi sama temen?” gumam Orion dengan nada sinis. Ia melirik Chisa yang saat ini sudah mengikat rambutnya dan berkutat di dapur. Gadis itu bahkan belum mengganti pakaiannya. Namun sekarang sudah tampak terburu-buru menyiapkan makanan di dapur.
“Dasar jorok,” gumam Orion.
Sementara itu, Chisa hanya fokus dengan kegiatannya di dapur. Ia berusaha menyajikan makanan yang enak secepat yang ia bisa. Ia tidak ingin Orion menunggu terlalu lama hanya untuk menyantap makan malam mereka. Setelah kejadian tadi pagi, Chisa jadi merasa semakin harus berhati-hati dan cekatan dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Ia tidak ingin Orion kecewa padanya, lalu akan membuang Chisa begitu saja saat Chisa masih belum menamatkan pendidikannya.
“Semoga dia suka masakanku kali ini. Dan aku harus minta maaf lagi sama dia atas kejadian tadi pagi. Aku juga akan bertanya detail kegiatannya sewaktu pagi, biar nggak kecolongan lagi kayak tadi,” lirih Chisa, dengan tangan yang bergerak cepat memotong bahan-bahan masakan.
Malam harinya, mereka makan bersama dalam posisi duduk saling berhadapan. Orion tampak santai menyantap makanannya. Lelaki itu juga sama sekali tidak mengomentari hasil masakan Chisa, membuat gadis belia itu bisa sedikit menghela napas lega.
“Kamu cocok sama masakan kayak gini? Kalau iya, mungkin aku akan memasak makanan ini beberapa kali dalam seminggu. Nggak masalah, kan?” tanya Chisa. Daripada berusaha mempelajari dua masakan baru tiap harinya yang bahkan belum tentu cocok di lidah Orion yang pemilih, Chisa memilih untuk lebih bermain aman.
Orion mengangkat kepalanya. “Nggak lebih dari dua kali seminggu. Makanan ini nggak seenak yang kamu pikir saat di lidah aku. Cuma, masih ketolong. Lain kali, kamu tetap harus belajar buat memperbaiki skill memasak kamu.”
Bahu Chisa merosot. Tahu akan begini, ia tidak akan banyak bicara tadi. Chisa heran. Sebenarnya, seperti apa kehidupan seorang Orion Erlangga, sampai-sampai ia bisa sepemilih ini soal makanan. Mulutnya bahkan setajam juri master chef saat merasakan makanan, seolah ia memang sudah terbiasa dengan hidangan-hidangan sempurna seperti itu.
“Ngapain ngelihatin aku terus?” tegur Orion, saat menyadari tatapan Chisa yang belum beralih darinya.
Chisa mengejapkan mata. Otaknya bekerja keras mencari alasan untuk dapat menjawab pertanyaan Orion.
“Kalau boleh, aku mau minta jadwal kamu dong. Aku perlu tahu, kapan aja kamu akan pergi kerja, terus berangkat jam berapa, dan kira-kira butuh pakaian yang seperti apa. Biar aku bisa siapin dan nggak telat lagi kayak tadi pagi,” ujar Chisa.
Orion menghela napas. “Nanti akan aku kirim file-nya. Setiap minggu akan aku perbarui, kalau ada update jadwal dari Mbak Sany.”
Chisa mengangguk mengerti. “Oke. Buat kejadian tadi pagi, aku benar-benar minta maaf. Aku janji, ke depannya aku akan lebih cekatan lagi ngurus keperluan kamu. Pokoknya, kamu nggak akan menyesal memperkerjakan aku di sini.”
Orion hanya menatap malas gadis di hadapannya. Ia sedikit ragu, jika gadis itu bisa bekerja dengan baik. Dari tampangnya saja, Chisa tampak seperti gadis ceroboh. Belum lagi, mengingat jika Chisa juga tidak terlalu terampil dalam urusan dapur. Andai saja mencari gadis yang lugu dan bersih di kota besar seperti ini tidak susah, Orion ragu jika ia bisa bertahan lebih dari sebulan dengan gadis seperti Chisa.