09 - Di Balik Senyumnya

1514 Words
“Kamu kan sudah sering Ayah bantu. Masa sekarang gantian Ayah mau minta tolong, kamu nggak bisa, sih?” “Tapi Chisa benar-benar nggak bisa, Yah. Ayah kan tahu sendiri, Chisa lagi skripsian, butuh biaya banyak buat ini-itu. Chisa juga nggak bisa ambil banyak kerjaan freelance lagi, susah bagi waktu,” balas Chisa, pada lawan bicaranya di sambungan telepon. Sang ayah yang nyaris tak pernah menghubunginya lebih dulu itu, akhirnya menelepon Chisa. Membuat Chisa begitu bahagia pada awalnya. Sebelum ia tahu jika alasan ayahnya meneleponnya bukan karena rindu, melainkan karena ingin meminta uang pada Chisa untuk memasukkan anaknya - adik tiri Chisa ke sebuah sekolah favorit. “Kamu masih nekat lanjut kuliah? Bukannya Ayah udah stop ngasih uang tambahan ke kamu? Harusnya kamu kerja aja, nggak usah kuliah-kuliahan segala. Sudah tahu Ayah lagi banyak keperluan. Bukannya bantu meringankan, kamu malah nambahin beban Ayah,” omel ayah Chisa. Chisa menghela napas panjang. Memang, siapa yang tidak sakit hati jika sang ayah terang-terangan mengatakan jika dirinya hanya bisa menjadi beban? “Tapi Chisa kan nggak minta uang ke Ayah lagi. Chisa berusaha sendiri kok buat tetap bisa lanjut kuliah. Lagian sayang, Yah, Chisa udah semester akhir. Tinggal skripsian aja. Masa mau berhenti gitu aja?” “Kamu ini ngeyel banget kalau dibilangin. Ya sudah. Intinya kamu punya uang, kan? Itu buktinya kamu bisa bayar uang kuliah kamu. Sekarang, Ayah minta tolong banget ke kamu, transfer uang ke Ayah! Biaya masuk sekolah adik kamu masih kurang delapan juta. Belum beli tas sama sepatu baru. Kirim aja sepuluh sampai lima belas juta. Nanti kalau kurang, Ayah kabarin lagi.” Bahu Chisa merosot. Ia bahkan tidak punya uang sebanyak itu. Uang dari Orion juga sebagian besar sudah ia gunakan untuk membayar biaya kuliahnya. Belum lagi, ia juga harus pulang-pergi dengan taksi online sekarang. Itu artinya, Chisa harus menyediakan uang lebih untuk transportnya setiap hari. “Beneran nggak ada, Yah. Lagian kenapa dia nggak disekolahin di sekolah negeri aja, sih? Kan lebih murah. Nanti tinggal beli peralatan sekolahnya. Jadi uang Ayah bisa cukup,” balas Chisa. “Susah memang ngomong sama anak nggak tahu balas budi. Ayahnya lagi butuh, malah sok nasihatin aneh-aneh. Kesannya Ayah ini salah banget di mata kamu, pengen kasih yang terbaik buat anak ayah.” “Memang anak Ayah cuma Kiara doang? Ayah selalu usaha kasih yang terbaik buat Kiara. Tapi, buat Chisa gimana? Bahkan Chisa yang udah sampai semester akhir, Ayah suruh keluar biar nggak jadi beban Ayah.” “Ya ampun, Chisa. Kamu lupa, siapa yang biayain sekolah kamu selama ini? Kamu sudah tamat SMA. Kuliah udah tiga tahun. Kamu pikir itu murah? Salah, kalau sekarang Ayah mau fokus ke Kiara? Dia kan adik kamu juga. Sebagai kakak, harusnya kamu bantu. Bukannya malah menghalangi Ayah buat kasih pendidikan yang baik buat adik kamu!” marah ayah Chisa. Air mata Chisa mengalir begitu saja. Ia mencengkram erat besi pagar balkon, membiarkan anak rambutnya tertiup semilir angin yang melewatinya. Memang, apa yang Chisa harapkan? Sang ayah akan sadar dan kembali menyayanginya? Itu mustahil rasanya. Saat ini, yang ada di kepala ayahnya hanyalah keluarga barunya - istri, dan dua orang anaknya selain Chisa. Dan Kiara, adik tiri Chisa yang kecil itu kini sudah mau masuk SD. Dan sang ayah ingin menyekolahkannya di sekolah favorit. Sedangkan Chisa? Ia justru disuruh berhenti kuliah agar tidak membebani perekonomian mereka, meski tinggal kurang dari setahun lagi kuliah Chisa akan selesai. “Halo. Kamu masih di sana? Jadi gimana? Kapan kamu mau transfer? Deadline pembayarannya tinggal dua minggu lagi,” ujar sang ayah, yang masih tidak sadar jika ucapan dan perbuatannya menyakiti putrinya yang lain. Chisa menghela napas panjang. “Maaf, Ayah. Tapi Chisa benar-benar nggak bisa bantu. Chisa harus fokus sama kehidupan Chisa sendiri. Soalnya, nggak ada lagi yang peduli dan mau memperjuangkan masa depan Chisa, kecuali Chisa sendiri.” Setelah mengatakan itu, Chisa mengakhiri sambungan teleponnya. Ia tak kuasa lagi mendengar perkataan tajam sang ayah yang terus menggores hatinya. Dan … tangisnya pecah saat itu juga. Ia sampai terduduk di lantai, sambil berusaha untuk meredam suara isakannya. Hatinya benar-benar sakit. Ia iri tiap kali memikirkan bagaimana kehidupan teman-temannya yang memiliki figur seorang ayah, sedang ia tidak. Bukankah seorang anak perempuan adalah peri kecil bagi ayahnya? Ya. Itu yang sering Chisa dengar. Namun, kenapa Chisa tak bisa merasakan itu? Ia tak pernah lagi merasakan jika ayahnya menganggapnya seperti peri kecil yang dicintai sejak belasan tahun lalu. Chisa bahkan sampai lupa, bagaimana rasanya cinta seorang ayah pada putrinya. “Kapan Ayah akan sadar, kalau Chisa juga butuh Ayah? Chisa mau disayang Ayah juga, Yah. Chisa masih anak Ayah, kan? Kapan Ayah mau peduli lagi sama Chisa?” lirih gadis malang itu, sambil meremat dadanya yang terasa sesak. Chisa tidak tahu, jika sejak tadi, sepasang mata terus mengawasinya dari balik jendela. Sosok itu menghela napas panjang. Ia tidak tahu, jika Chisa memiliki luka semenyakitkan itu yang disebabkan oleh keluarganya sendiri. Di balik sisi menyebalkan dan ceroboh seorang Chisa, ternyata tersimpan luka menganga yang sangat besar di dalam dirinya. ‘Siapa sangka, kalau cewek ceroboh kayak dia ternyata bisa serapuh ini?’ batin sosok itu, sebelum akhirnya menutup kembali gorden pembatas antara kamar dan balkonnya. Ia menyingkir dari sana, sebelum Chisa dapat menyadari keberadaannya, dan membuat suasana di antara mereka terasa semakin canggung. *** Chisa berjalan gontai menuju dapur. Ia berniat untuk mengambil minum, setelah menahan rasa kering di tenggorokannya sejak beberapa menit yang lalu. Namun, ia terlonjak kaget saat menyadari sesosok pria yang duduk di dekat meja makan, dengan tatapan datar mengarah padanya. Chisa masih memiliki cukup kesadaran untuk mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Wajahnya pasti sekarang memerah, dan matanya sembab. Dan ia tidak berniat untuk menunjukkan hal itu pada orang lain. Chisa berniat untuk kabur. Namun, sebuah suara sudah terlebih dahulu mengintrupsinya. “Makan!” Chisa berhenti, tanpa kembali menoleh ke arah pria itu. Kali ini, posisinya sudah berhasil membelakangi Orion yang menatapnya datar. “Kamu belum makan malam, kan? Temani aku makan!” pinta Orion. Chisa menelan salivanya kasar. Pikirannya bertanya-tanya, sejak kapan Orion pulang, dan apakah lelaki itu menyadari matanya yang sembab. ‘Pertanyaan bodoh! Jelas kamu menangis setengah jam lebih di balkon tadi. Pasti muka kamu udah bengap banget, Chisa. Nggak mungkin dia nggak sadar,’ batin Chisa. ‘Tapi kok dia kayak biasa aja?’ “Ada masalah sama telinga kamu? Mereka masih bisa berfungsi, kan?” tegur Orion, karena Chisa yang tidak jua berbalik padanya. Chisa menarik napas panjang, lalu berdehem cukup keras. “A- aku mau cuci muka sama cuci tangan sebentar. Mukaku nggak enak banget dilihat, soalnya habis nonton drama korea yang akhirnya sedih banget.” Setelah mengatakan itu, Chisa bergegas pergi. Ia kembali ke kamar, masuk ke kamar mandi, dan mencuci wajahnya dengan serampangan di depan wastafel. “Kenapa susah banget ilang, sih sembabnya?” kesal Chisa. Ia berusaha mengompres matanya dengan air kran. Tetapi, tetap saja kondisi mukanya tak kunjung membaik. “Aku harus apa? Aku malu banget muncul di depan Orion dengan wajah kayak gini. Kalau dia curiga terus tanya-tanya, aku harus jawab apa?” gumam Chisa. Hampir sepuluh menit Chisa berusaha. Ia sadar, ia sudah berada di kamar mandi cukup lama. Dan ia tidak mungkin membiarkan Orion yang tengah kelaparan itu menunggunya lebih lama lagi. Tak ada pilihan lain, akhirnya Chisa hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dan pikirannya, sebelum akhirnya kembali ke meja makan. Chisa terkekeh garing saat ia kembali ke meja makan, sebagai balasan dari tatapan datar Orion. “Cuma cuci muka lama banget,” tegur Orion. “Sama cuci tangan. Lagian biasa lah kalau cewek di kamar mandi lama,” Chisa beralibi. Chisa berpura-pura tak menatap Orion lagi setelah itu. Ia mengalihkan pandangannya ke mana pun, selagi itu bukan Orion. Ia tidak ingin semakin menunjukkan kondisi wajahnya yang memprihatinkan pada Orion. ‘Dia nggak sadar, kan? Dia kayak biasa aja. Nggak tanya lebih lanjut juga soal alasan aku nangis. Aduh … malu banget rasanya,’ batin Chisa. Lalu, tiba-tiba saja terdengar sebuah deheman yang membuat Chisa terlonjak dan menegang seketika. “Lain kali nggak usah nonton kalau tahu endingnya bakalan sedih. Kayak nggak ada drama atau film lain yang happy ending aja. Lagian, udah tahu lagi skripsian, bisa-bisanya masih sempat nonton drama korea,” Orion berkomentar. Chisa menghela napas lega. Dari ucapan Orion, Chisa menyimpulkan jika lelaki itu percaya dengan alasan yang sempat Chisa lontarkan sebelumnya. ‘Setidaknya dia nggak tahu alasan aku nangis yang sebenarnya karena apa.’ “Denger enggak?” ketus Orion. Chisa mendongak, lalu memaksakan diri untuk tertawa. “Iya. Aku kapok nonton drama yang sad ending. Bikin mood turun aja. Niatnya mau refreshing karena suntuk nyari referensi kajian pustaka padahal.” 'Bukannya dia latar belakang sama tujuan penelitian aja belum acc? Apa dia nggak tahu, kalau aku cukup memantau perkembangan skripsi dia?’ pikir Orion sambil menatap Chisa dengan alis mengernyit. Namun akhirnnya, Orion memilih diam meski ia tahu Chisa sedang berbohong padanya. Toh memang itu kan yang Chisa mau? Ia ingin mengelak dari alasan sebenarnya ia menangis. ‘Salut sih. Seenggaknya dia nggak berusaha jual kesedihan di depanku. Dia masih berusaha terlihat kuat, meski sebenarnya dia butuh seseorang buat menyemangatinya sekarang. Poor girl.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD