Chisa baru sadar. Kemampuan Orion dalam hal memasak berada jauh di atasnya. Bahkan, bagaimana cara lelaki itu memainkan mata pisaunya tampak begitu gesit. Ibarat mereka melakukan lomba mengupas dan mencincang bawang, mungkin saat Orion sudah mendapat satu kilo, Chisa baru dapat sepuluh biji.
Cara Orion memegang spatula juga tampak seperti seorang chef di restoran. Benar-benar tidak menggambarkan jika dia adalah seorang aktor. Dan Chisa sangat kagum dengan kemampuan Orion selama di dapur.
‘Padahal dulu pengen banget punya suami yang jago masak. Kayak … romantis aja gitu dimasakin sama suami. Terus sekarang malah harus tinggal satu atap sama cowok yang jago masak. Mana ganteng lagi. Kalau aku naksir beneran, gimana coba?’ batin Chisa, saat melihat Orion dengan ahli menumis bahan-bahan untuk saus masakan mereka.
“Bengong doang sih. Di sini aku lagi ngajarin kamu, bukan dengan suka rela masakin kamu,” ketus Orion sambil menyodorkan spatulanya pada Chisa. Chisa pun dengan kaku menerimanya. Ia segera menggantikan posisi Orion selagi pria itu memasukkan beberapa tambahan bahan sambil memperhatikan kinerja Chisa.
“Pelan aja! Kalau ugal-ugalan begitu nanti ada yang terbang,” kata Orion.
Chisa melirik malas ke arah pria yang mengawasi di sampingnya itu. Namun, ia tidak berani membantah. Ia tetap berusaha melakukan sama persis seperti yang diintruksikan oleh Orion. Tahap terakhir, mereka memasukkan kakap fillet yang sudah digoreng sebelumnya. Lalu, setelah diratakan sebentar, mereka diamkan semua itu dengan nyala api kecil hingga saus asam manisnya meresap hingga ke daging ikan.
Orion menyodorkan segelas air pada Chisa, membuat perempuan itu kaget dengan tindakan tiba-tiba Orion.
“Minum! Sampai pucat gitu mukanya,” ucap Orion.
“Mana mungkin bisa pucat, sih? Orang nggak habis ngapa-ngapain. Lagian-” Bel apartemen Orion membuat ucapan Chisa terpotong. Perempuan itu menatap horor ke arah Orion, seakan khawatir jika akan ada orang yang tahu jika ia tinggal di sini.
“Jangan ke mana-mana!” tegas Orion, sebelum berlalu meninggalkan Chisa sendirian di dapur untuk melihat siapa yang datang.
Orion harap, itu hanya kurir pengantar paket atau petugas kebersihan apartemen. Namun, tanpa ia duga, yang datang ternyata adalah manajernya, Sany. “Mbak? Kok nggak ngabarin dulu kalau mau datang?”
Sany mengernyitkan alisnya. Seingatnya, ia memang biasa datang tanpa kabar. "Ya memang kenapa? Lagian kamu nggak pernah pergi juga, kan? Nih aku bawa beberapa suplemen kesehatan buat kamu.”
Sany menerobos tubuh besar Orion, lalu masuk ke ruang tamu pria itu. Orion menahan napasnya sejenak. Ia mulai khawatir dengan keberadaan Chisa di dapur. Jika Sany sampai mengetahui keberadaan Chisa, pasti akan terjadi masalah yang serius. Apalagi, dalam waktu dekat Orion akan kembali ke layar kaca. Ia harus benar-benar berhati-hati dalam segala hal, tidak boleh membuat skandal sekecil apapun.
Namun, sejauh ini, menurut Orion, Chisa masih bisa diajak bekerja sama. Dia pasti bisa diam di dapur selama Sany berada di sini.
“Kamu lagi masak, Yon? Kok nggak ditungguin? Ntar gosong gimana?” ucap Sany. Wanita itu bangkit, hendak membantu pekerjaan Orion di dapur. Namun, Orion mendorong bahu Sany untuk kembali duduk tenang di sofa.
“Aku cek dan matiin apinya sebentar. Mbak Sany tunggu di sini aja. Sekalian, mau minum apa? Biar aku ambilin,” tawar Orion.
“Es teh ada, Yon? Mau dong kalau ada,” jawab Sany.
Setelah itu, Orion buru-buru menuju ke dapur. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Chisa. Gadis itu, seperti perkiraannya cukup bisa diam meski Orion yakin jika dia pasti sedang bertanya-tanya siapa yang datang.
Namun, saat Orion sampai di dapur, ia tak menemukan seorang pun di sana. Chisa menghilang. Orion segera mematikan kompor. Lalu, ia berusaha mencari Chisa hingga akhirnya terdengar suara lirih seperti memanggilnya. Saat ia mencari sumber suara itu, ternyata asalnya dari bawah meja. Dan di sanalah Chisa berada.
“Kamu ngapain di sana? Berdiri!” suruh Orion.
Chisa menggeleng. “Ada pacar kamu, kan? Aku nggak mau dia ngelihat aku terus salah paham. Aku ngumpet aja di sini,” jawab Chisa.
Orion memutar bola matanya malas. Melihat sifat Chisa, ia seakan tidak percaya jika gadis itu sudah duduk di bangku kuliah. Tingkahnya persis seperti anak SD.
Orion menarik Chisa, memaksa gadis itu untuk keluar dari tempat persembunyiannya. “Buruan berdiri! Dia nggak akan ke sin-”
“Yon, ada HP getar nih tadi di atas meja. Punya kamu?” Suara itu terdengar mendekat. Dan saat Chisa memberontak dari Orion dan ingin kembali ke tempat persembunyiannya, kepalanya malah beradu dengan ujung meja yang lancip, membuatnya tak dapat menahan ringisan yang otomatis keluar begitu saja dari bibirnya.
Orion ikut kaget. Ia yakin kepala Chisa pasti sangat sakit sekarang. Suara benturan itu cukup keras dan Orion bisa membayangkan bagaimana nyerinya.
“Kamu siapa?”
Suara itu, akhirnya berhasil menarik kesadaran Orion dan Chisa yang tadi sempat teralihkan karena kejadian tak diinginkan yang menimpa Chisa. Keduanya secara kompak menoleh ke arah pintu perbatasan antara ruang tamu dan dapur. Dan di sana, Sany berdiri sambil memegangi ponsel Chisa dan menatap bingung ke arah Chisa.
Chisa dengan mata memerah dan berkaca-kaca menoleh ke arah Orion. Ia tidak bisa membuat alasan apapun saat fokusnya hanya tertuju pada rasa sakit di kepalanya seperti saat ini. Dan ia takut, Orion akan terkena masalah karenanya.
“Yon, kamu bawa cewek ke sini?”
“S- saya petugas kebersihan, Mbak. Saya bukan selingkuhan Pak Orion kok. Saya di sini cuma niat bersih-bersih atas perintah Pak Orion,” sahut Chisa cepat, sebelum Orion sempat membuka mulutnya.
“Petugas kebersihan? Sejak kapan kamu suka nyewa petugas kebersihan, Yon? Dia … bukan penjahat, kan?” tanya Sany sangsi.
Ia sangat tahu sosok Orion yang sangat tidak suka daerah teritorinya dikunjungi banyak orang. Bahkan, petugas kebersihan sekali pun. Jika memang Orion butuh orang untuk membantunya bersih-bersih, laki-laki itu akan memanggil asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Ia tak pernah memakai jasa kebersihan seperti apa yang Chisa katakan.
“Dia Chisa,” jawab Orion. “Mbak butuh es teh, kan? Aku akan buat sebentar. Dan HP itu punya Chisa. Bisa Mbak kasihin ke dia?” ujar Orion.
Chisa cukup terkejut melihat raut wajah Orion yang tetap datar seolah tidak khawatir jika pacar-nya akan salah paham.
“Oh. Iya, ini HP-nya,” Sany menyerahkan ponsel yang tadi ia bawa pada Chisa. Chisa menerimanya lalu mengucapkan terima kasih. “Nama kamu Chisa, kan? Bisa tolong buatkan es the untuk saya? Saya ada hal penting yang harus dibahas sama Orion.”
Chisa menelan salivanya dengan susah payah. Ia sangat khawatir jika Sany akan meminta Orion memecatnya. Namun, dari nada hangat wanita itu, seharusnya tidak mungkin, kan?
“B- bisa, Mbak,” jawab Chisa gugup.
Sany kembali beralih menatap artisnya itu, menatapnya penuh intimidasi, sebelum akhirnya berucap, “Taruh tekonya. Kita perlu bicara sekarang juga.”
Setelah kepergian Orion dan Sany, Chisa hanya bisa mondar-mandir tidak tenang di dapur. Ia sedang memanaskan air dengan kompor listrik untuk membuatkan teh pesanan Sany. Namun, ia takut membuat teh kali ini akan menjadi akhir dari pekerjaannya.
“Aku harus gimana kalau Orion mecat aku? Gimana kalau dia sampai minta kembali apa yang kemarin dia kasih? Aku kan sudah bayarkan ke fakultas, nggak bisa diambil lagi,” gumam Chisa. Selain itu, jika Chisa keluar dari pekerjaan ini, itu artinya ia harus lontang-lantung mencari pekerjaan lagi untuk mengisi perutnya tiap hari. Padahal, sekarang dia sedang proses pembuatan skripsi. Rasanya tidak mungkin semester ini ia masih bisa sambil bekerja part time seperti semester-semester sebelumnya.
Sementara itu, dari sudut pandang Orion, lelaki itu dibawa ke kamarnya oleh Sany. Pintu kamar ditutup rapat, pun dengan hordengnya. Kemudian, Sany kembali ke hadapan Orion sambil melipat tangannya di depan d**a dan menatap tajam pria yang beberapa tahun lebih muda darinya itu.
“Jadi?"
“Ya namanya Chisa. Dia bekerja di sini,” jawab Orion. Lelaki itu tidak berbohong, tetapi tidak juga mengatakan semuanya dengan clear.
“Tukang bersih-bersih beneran? Tapi kok dandanannya kayak anak kuliahan gitu?” tanya Sany penasaran.
“Ya dia memang masih kuliah. Dia butuh kerjaan buat bayar uang kuliah dia. Makanya aku kasih dia kerjaan di sini,” jawab Orion dengan nada tenang. Baiklah, sampai saat ini, Orion masih belum berbohong.
Sany diam untuk berpikir keras apa yang akan ia tanyakan selanjutnya. Sebab, ia masih merasa ada yang janggal dengan kehadiran Chisa di sini. Sany menatap ke segala arah, hingga matanya menemukan dua buah barang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah sendal berwarna kuning di samping tempat tidur, dan dompet wanita hitam di atas nakas sebelah kiri ranjang Orion.
Sany menajamkan tatapannya pada Orion, siap-siap untuk memberi serangan terakhir yang akan membuat Orion tak punya pilihan lain untuk menjelaskan semuanya.
“Dia tinggal di sini? Itu artinya, dia tidur di kamar ini? Sama kamu?”