Akhir pekan telah tiba. Meski sudah empat hari tidur di samping seorang pria, Chisa masih saja belum terbiasa. Ia masih terkejut setiap kali mendapati paras rupawan Orion di hadapannya. Seperti pagi ini, ia lagi-lagi terperanjat dan nyaris melompat dari tempat tidur saat melihat Orion berbaring dengan mata terpejam di sampingnya.
Chisa mengelus dadanya saat kesadarannya sudah kembali. Ia ingat jika dirinya memang memiliki kesepakatan dengan pria itu, tetapi dia aman karena tugasnya hanya sekadar menemani.
“Kamu habis mimpi buruk?” Chisa yang masih duduk di kasur, kembali dibuat terperanjat hingga ia menarik diri menjauh seketika saat mendengar suara serak itu.
Orion sudah bangun. Tampaknya ia terganggu dengan gerakan tiba-tiba Chisa barusan. Mata lelaki itu masih sipit, suaranya serak, pertanda jika sesungguhnya ia belum rela untuk benar-benar ditarik dari alam bawah sadarnya.
“Enggak. Kamu bisa nggak sih nggak ngagetin?” protes Chisa.
“Kamu bahkan udah kaget dari sebelum aku bangun. Terus, sekarang kamu mau nyalahin aku?” heran Orion.
Chisa menggaruk tengkuknya, merasa terpojok dengan pertanyaan Orion. Namun, seketika ia sadar jika penampilannya saat ini jauh dari kata baik, padahal ada seorang pria dewasa di hadapannya. Chisa segera menyisir rambunya dengan jari-jarinya. Lalu, ia bangkit, melesat menuju ke kamar mandi untuk menghindar dari pria yang masih berbaring di atas ranjang itu.
***
Chisa merasa sangat grogi. Hari ini, Orion berjanji akan mengajarinya memasak. Namun, Chisa merasa belum siap berinteraksi lama dengan pria itu. Saat Chisa sibuk sendiri dengan pikirannya, tiba-tiba Orion keluar dari kamar. Chisa buru-buru memutar tubuhnya untuk menghindar dari tatapan pria itu. Namun, saat Chisa hendak pergi, suara Orion sudah lebih dulu menahannya.
“Kamu ingat, kan, hari ini kita ada pelajaran memasak?”
Chisa merutuki nasib sialnya. Ia pun memutar tubuhnya dengan perlahan, lalu memasang senyum paksa di bibirnya. “Ingat, kok. Tapi buat sarapan, aku udah goreng telur buat kita. Kita sarapan itu dulu aja, nggak apa-apa, kan? Belajar masaknya nanti agak siangan atau kalau perlu sore aja buat yang makan malam.”
“Nggak. Sore aku ada jadwal nge-gym. Habis sarapan sama bersih-bersih nanti, segera kita mulai aja belajarnya,” kata Orion, sambil berjalan santai menuju meja makan.
Chisa memperhatikan laki-laki di hadapannya. Pria itu menghela napas panjang, seolah tidak berselera dengan hidangan di hadapannya. Chisa merasa begitu payah. Apakah menggoreng telur saja dia tidak bisa? Perasaan, ia merasa tidak ada yang salah dengan telur dadar buatannya.
“Lain kali, lebih baik rebuskan aku telur dan beri aku roti gandum buat sarapan, daripada pagi-pagi harus makan minyakan semua kayak gini,” kata Orion.
“Ya maaf, aku kan nggak tahu kalau kamu lebih suka telur rebus daripada yang digoreng. Besok-besok aku rebusin aja deh,” balas Chisa yang tidak ingin memperpanjang masalah.
“Biasanya kalau pas nggak kerja, aku cukup makan dua butir telur rebus, dua lembar roti, dan satu buah apel atau pisang buat sarapan. Catat!” tambah Orion.
Chisa mengangguk patuh. “Iya, siap. Mulai besok aku biasain siapin kayak gitu aja,” jawab Chisa. Lagi pula, apa yang Orion inginkan ternyata justru lebih sederhana dari dugaannya. Kalau hanya itu saja, sih, Chisa yakin dirinya bisa.
Setelah itu, mereka makan masakan Chisa dengan khidmat. Orion tidak banyak protes, membuat Chisa bisa tersenyum dan menghela napas lega. Setidaknya respons Orion tidak akan membuat ia semakin keder menghadapi rencana pembelajaran yang akan mereka lakukan setelah ini.
Usai menikmati sarapan, Chisa membereskan peralatan makan mereka. Kemudian, ia ke dapur untuk bersih-bersih. Sementara itu, Orion ke kamar untuk membereskan kamar mereka. Mereka kembali bertemu saat hendak memasukkan pakaian ke mesin cuci. Chisa memundurkan langkahnya, memberi ruang pada Orion untuk mencuci lebih dulu. Chisa hendak menyimpan kembali pakaian kotornya, dan baru akan mencucinya setelah Orion selesai dengan miliknya. Namun, suara Orion sudah lebih dulu menghentikan langkah gadis muda itu.
“Cucianku cuma sedikit. Kayaknya tidak apa-apa kalau mau sekalian nyuci punya kamu,” kata Orion. Memang, setelah dimasukkan, ternyata pakaian Orion tidak sampai setengah dari mesin cuci itu.
“Nggak apa-apa, aku setelah kamu aja,” jawab Chisa, merasa sungkan.
Orion menoleh, menatap perempuan yang tinggal dengannya itu dengan dingin. “Boros listrik kalau harus dua kali cuci.”
Ah … benar juga, pikir Chisa. “Tapi serius nggak apa-apa?”
“Ya memang kenapa? Lagian tujuan dicuci biar bersih, kan? Selagi pakaian kamu nggak kena sesuatu yang bau atau lumpur, aku nggak masalah,” jawab Orion.
Chisa meringis. Mana mungkin ia sejorok itu? Ia pun menyusul Orion memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci. Sungguh, ini sangat-sangat canggung bagi Chisa. Ia belum pernah mencampurkan pakaiannya dengan cucian orang lain, apalagi laki-laki. Apakah sebelumnya Orion juga seperti ini, tidak masalah jika pakaian kotornya dicampur dengan milik orang lain?
“Geser! Selesaikan pekerjaan kamu sana!” usir Orion.
Chisa mengernyit. “Ini aku aja yang kasih sabun dan-”
“Udah sana bagi tugas biar cepat selesai. Sofa sama lantai harus divacum!” potong Orion.
Chisa mengangguk patuh. Ia memang sudah kepikiran untuk membersihkan sofa dan lantai hari ini. Sebab, meski Orion sudah memiliki robot pembersih lantai otomatis yang dioperasikan setiap hari, tetapi tetap saja kadang masih ada bagian yang belum bersih maksimal. Khususnya bagian-bagian pojok ruangan yang sulit dijangkau.
Hari itu, Chisa dan Orion benar-benar bekerja sama dalam membersihkan apartemen. Chisa jadi heran. Bagaimana kehidupan Orion sebelum kedatangannya? Apakah Orion juga membersihkan semua ini sendiri? Pasalnya, meski bukan berwujud bangunan dengan kepemilikan tunggal, unit apartemen Orion tidak bisa dikatakan kecil. Bahkan kamarnya saja luas. Unit itu juga memiliki ruang tamu luas, dapur yang menyatu dengan ruang makan, dan mini loundry.
Lelah dengan pekerjaan bersih-bersih, Chisa berniat mengambil air untuk menghilangkan rasa dahaganya. Namun, ia justru mendapati Orion di dapur yang sedang memilah beberapa bahan masakan. Chisa meneguk salivanya dengan kasar. Seketika, ia teringat jika hari ini mereka memiliki agenda bersama.
“Aku ingin makan kakap asam manis buat makan siang,” ucap Orion, seakan telah menyadari kehadiran Chisa tanpa melihatnya.
“O- oke. Aku ambil HP dulu buat lihat video tutorialnya,” kata Chisa, sambil melirik daging kakap segar yang sudah Orion siapkan di atas wadah.
Orion menoleh. Ia berdiri, kemudian menutup pintu kulkasnya sebelum berjalan ke arah Chisa. “Nggak perlu. Aku tahu resep dan cara memasaknya. Jadi, kamu tinggal mengikuti intruksi dariku.”
Chisa mengangguk kaku. ‘Harus sekarang banget, ya? Duh … kok jadi deg-degan gini, sih?’
“Kamu iris daging ikannya, terus balurin dengan garam dan merica. Aku akan menyiapkan campuran yang akan dibalur ke ikannya sebelum digoreng,” kata Orion.
Chisa mengangguk. “Ini harus diiris gimana?” bingung Chisa, saat ia mengambil lembar pertama fillet ikan kakap yang masih dingin dan sedikit beku itu.
“Kotak-kotak kecil. Kamu pernah makan ikan asam manis belum, sih?” heran Orion.
Chisa berdecak kesal. “Ya pernah. Tapi kan selera orang beda-beda. Ada yang suka ikannya agak besar, ada yang suka kecil-kecil. Nanti aku salah motong juga kamu omelin.”
Orion menghela napas panjang. Ia menghampiri Chisa dan mengambil alih talenan dan pisau Chisa. Ia memberi contoh irisan yang ia inginkan pada gadis itu. “Jangan terlalu besar dan jangan terlalu kecil juga. Bikin pas seperti ini. Bentuknya juga harus rapi biar tampilan masakan bisa menarik dan menggugah selera.”
Meski terkesan sederhana, tetapi Chisa tahu Orion adalah orang yang sangat memperhatikan tentang detail. Jadi, sepertinya ia memang harus memberi perhatian lebih pada irisan ikannya.
“Ngerti?” Chisa mengangguk. Lalu, ia menerima kembali pisau yang tadi Orion ambil. Ia mulai membuat beberapa potong, lalu ia tunjukkan pada Orion. “Seperti ini?”
“Hm. Pertahankan kerapiannya! Aku nggak suka melihat makanan yang kelihatan acak-acakan,” jawab Orion.
Benar, kan? Pria itu sangat perfeksionis. Chisa benar-benar harus ekstra memperhatikan segala hal di sekitar mereka mulai sekarang. Jangan sampai ada sedikit saja kecerobohan Chisa yang membuat ATM berjalannya itu murka kemudian membuang dirinya.