Usai makan malam, Orion mendapat kabar jika manajernya sudah tiba di apartemennya. Wanita itu sedang berada di lift sekarang. Orion langsung terperanjat, nyaris meloncat dari kasurnya. Ia langsung mencari keberadaan Chisa yang ternyata sedang di meja makan sambil mengerjakan proposal skripsinya.
“Masuk!”
“Hah? Apa?”
“Masuk kamar sekarang, dan jangan bersuara!” titah Orion.
Chisa mengernyitkan alisnya. “Memang ada apa? Kita mau digrebek polisi?”
“Gila aja kamu. Pokoknya masuk aja sekarang, buruan!” Orion mengambil laptop Chisa, membuat perempuan itu berteriak kesal dan langsung menyusul Orion.
Orion membawa laptop Chisa ke kamarnya. Ia meletakkan benda itu di meja dekat dengan jendela lalu menyiapkan kursi untuk Chisa duduki.
“Kamu ini kenapa, sih? Memang ada apa? Pacar kamu mau datang ke sini, terus kamu takut dia salah paham lihat aku? Eh, memangnya kamu punya pacar?”
“Ssssttt … diem! Yang mau datang manajer aku. Dia nggak tahu kalau aku punya kamu. Jadi, kamu nggak usah berisik! Stay di sini sampai dia pulang!” tegas Orion.
Mengingat ia hanya orang yang dibayar oleh lelaki yang memerintahnya itu, Chisa mengangguk. Ia membuat gerakan seolah sedang menutup resleting di mulutnya, kemudian menguncinya dan membuang kuncinya jauh-jauh, sebagai tanda ia akan diam dan mematuhi perintah Orion.
“Bagus. Awas aja kalau dia sampai mencium keberadaan kamu di sini. Nggak cuma aku yang bisa berada dalam masalah, tapi kamu juga bisa kehilangan pekerjaan ini,” kata Orion.
Chisa mengangguk mengerti. Meski ia tidak benar-benar menyukai pekerjaan ini dan merasa seperti perempuan murahan karena rela dibayar untuk tinggal bersama seorang pria asing, tetapi Chisa sadar, hanya pekerjaan inilah yang bisa membuatnya bertahan di bangku perkuliahan dan menghidupinya hingga beberapa waktu ke depan. Hidupnya bergantung pada pekerjaan ini. Jadi, tidak mungkin Chisa bisa melepaskannya begitu saja.
Setelah memastikan Chisa tidak akan membuat ulah, Orion bergegas keluar dari kamar. Bertepatan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Orion yakin itu adalah manajernya. Ia pun segera membuka pintu, dan wajah riang manajernya adalah hal pertama yang ia lihat.
“Ayo masuk! Aku ada kabar bagus buat kamu. Nih, aku bawain makanan juga buat kamu,” kata wanita tersebut. Dia adalah Sany, manajer Orion sejak awal ia terjun ke dunia entertaimen. Sany merupakan seorang single parent dengan dua anak yang kini duduk di bangku SD. Dan Sany sudah menganggap Orion seperti adiknya sendiri, karena kehidupan ia dan anak-anaknya bergantung pada pekerjaan aktor tampan tersebut.
Orion mempersilakan Sany untuk masuk. Ia mengambilkan minuman dingin untuk manajernya tersebut. Bisa ia tebak, kabar baik yang Sany bawa pasti masih berhubungan dengan pekerjaannya. Dan kemungkinan besar, ada tawaran yang sangat menarik hingga Sany sampai rela datang malam-malam seperti ini.
“Jadi, tawaran apa sekarang?” tanya Orion to the poin.
Sany melebarkan pupil matanya. “Kamu bisa nebak kalau aku ke sini buat bahas proyek baru?”
“Bukan nebak. Tapi memang Mbak mau ngapain lagi malam-malam ke sini kalau bukan soal tawaran proyen yang menggiurkan? Pikiran Mbak kan cuma seputaran bonus doang,” ujar Orion.
Sany terkekeh. Ia tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan Orion itu. Karena memang seperti itulah faktanya. Ayolah, realistis saja. Orangtua tunggal dengan dua anak seperti Sany, memang bisa tanpa sehari pun memikirkan uang?
“Bagus. Dan kamu langsung ambilin aku minum, berarti kamu antusias kan sama berita yang aku bawa? Oke, gini, Yon. Siang tadi aku dipanggil sama Pak Bos. Katanya mau ada film baru dan produser filmnya tertarik buat pakai kamu. Tapi, ini belum fix, ya. Masih ada beberapa kandidat lain juga. Tapi intinya sih kamu diundang secara khusus buat ikutan casting,” terang Sany.
Orion mengangguk. “Film apa? Kok kayaknya Mbak semangat banget?”
“Ini diangkat dari n****+ populer itu. Masih seputaran romance, kok. Latarnya juga di Indonesia dan kemungkinan sekitar tujuh puluh persennya akan syuting di Jakarta aja. Film ini sudah sangat dinantikan sama pembaca novelnya. Dan memang cukup banyak yang ramai berharap kamu jadi karakter utamanya,” jawab Sany.
“Aku terserah Mbak aja. Sama nanti aku pikirin juga pas naskahnya udah di aku. Aku perlu baca-baca dulu buat lihat karakternya sesuai nggak sama imej aku,” kata Orion.
“Iya. Tadi aku juga sudah mintakan draftnya biar bisa segera kamu pelajari. Oh iya, Yon. Ada satu lagi. Kamu juga dapat tawaran buat jadi brand ambassador parfum. Lokal sih, tapi katanya paruh kedua tahun ini mereka mau melebarkan sayap ke kancah internasional. Sudah mulai persiapan buat buka kerjasama dengan perusahaan di Singapur, Malaysia sama Thailand. Nah, kamu yang bakal jadi duta global mereka di promosi internasional itu. Kalau yang ini, kamu bakalan terima, kan? Menggiurkan banget loh, Yon. Sekalian kan, buat promosiin diri kamu ke pasar yang lebih luas? Secara fee juga pasti beda sama tawaran yang marketnya lokal aja. Jadi Mbak ngarep banget kamu mau ambil yang satu ini,” lanjut Sany.
“Kalau buat tawaran kerja sama brand, seperti biasa. Aku tetap harus cek dulu barangnya. Jadi Mbak atur aja kapan mereka bisa kirim sampel ke kita,” jawab Orion.
“Sudah, Orion, sayang. Katanya kamu malah akan dipanggil langsung ke perusahaan mereka. Mbak aturin lah jadwalnya, ya. Kalau bisa sih weekend aja katanya, biar pas perusahaan nggak terlalu ramai dan kamu bisa lebih leluasa. Mau weekend besok ini?”
Orion berpikir sejenak. Ia ingat, ia memiliki janji dengan Chisa untuk mengajari gadis itu belajar memasak. Dan Orion merasa hal itu cukup penting mengingat itu akan mempengaruhi pola makannya beberapa waktu ke depan.
“Weekend ini aku nggak bisa,” tolak Orion.
Sany mengernyitkan alisnya. Sebagai manajer, tentu ia tahu semua jadwal Orion. Dan ia tahu betul Orion tidak ada jadwal kerja di akhir pekan ini.
“Memang weekend ini kamu mau ngapain? Kamu kan nggak ada jadwal,” bingung Sany.
“Urusan pribadi, nggak ada kaitannya sama pekerjaan. Jadi kalau bukan karena urusan yang urgent banget, bisa Mbak bantu atur ulang? Kalau nunggu weekend minggu depan kelamaan, aku nggak masalah pergi pas weekday,” ujar Orion.
Sany mengangguk patuh. Bukan hal sulit baginya untuk mengatur ulang jadwal Orion, karena bisa dibilang, saat ini aktor muda itu sedang menikmati masa liburnya. Jadwal Orion sangat santai dua minggu terakhir. Karena perusahaan memang sengaja memberinya libur setelah menyelesaikan syuting stripping sinetron hampir enam bulan lamanya.
“Oh iya, Selasa jadwal perpanjangan kontrak kerjasama kamu sama brand minuman itu loh, Yon. Jangan lupa berangkat ke kantor!” ucap Sany mengingatkan.
“Iya. Terus apa lagi? Kalau udah, Mbak bisa langsung pulang. Kasihan anak-anak Mbak kalau kelamaan ditinggal malam-malam,” kata Orion, tidak bermaksud mengusir. ‘Kasihan juga itu anak di dalam kamar kelamaan. Siapa tahu dia haus atau bosan,’ lanjut Orion dalam hati, sambil melirik ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup rapat.
“Udah kok. Sementara itu aja. Pokoknya, kemungkinan minggu depan kamu udah mulai aktif kerja. Jadi, puasin deh liburan kamu yang tinggal tersisa beberapa hari ini! Kalau kamu mau ngunjungin orangtua kamu, segerakan saja sebelum besok-besok keburu malas karena kecapekan kerja!” ujar Sany mengingatkan.
Orion mengangguk. Ia memang rutin mengunjungi orangtuanya, setidaknya satu minggu sekali. Maklum, dia adalah anak tunggal dan ayahnya sudah semakin menua. Namun, ia jarang tidur di rumah. Ia tetap akan pulang ke apartemennya di malam hari, karena ia sudah terlanjur lebih nyaman tinggal terpisah dengan orangtuanya. Ia merasa lebih bebas dan dewasa.
Setelah kepergian Sany, Orion langsung ke kamar. Ia ingin melihat keadaan Chisa yang hampir satu jam ia kurung di kamar. Namun, ia menghela napas lega saat melihat Chisa baik-baik saja. Tampaknya, hanya dia yang terlalu khawatir karena nyatanya gadis itu malah tampak sedang asyik mendengarkan musik dengan earphone sambil membaca modul.