From: Orion
Siapa yang mau memasak buat makan malam?
To: Orion
Aku!!!
Hari ini aku akan pulang sebelum jam tiga. Jadi aku aja yang masak.
Kamu ada kegiatan di luar nggak hari ini?
Nggak buru-buru kan makan malamnya?
From: Orion
Enggak.
Chisa memutar bola matanya malas melihat balasan terakhir teman satu apartemennya itu. Atau … bisa Chisa sebut sebagai sugar daddy?
Chisa menggeleng pelan, menampik apa yang baru saja ia pikirkan. ‘Senggaknya dia nggak kurang ajar. Buat disebut sugar baby dan sugar daddy, hubungan kami nggak segelap itu juga, kok.’
“Ngapain kamu? Kesambet hantu pohon tauge?” tanya Nanda.
Chisa tersenyum miring, berpura-pura menakut-nakuti sahabatnya itu. Namun, tentu saja Nanda tak peduli. Ia malah dengan santainya melanjutkan kegiatan ngemilnya yang tertunda.
Saat ini, dua bersahabat itu sedang menunggu Bianca yang sedang ke jurusan untuk mendaftar bimbingan sambil mengkonsultasikan tema penelitian tugas akhirnya. Tak lama berselang, Bianca menghampiri mereka.
“Yes! Dapat dosen incaranku. Si Pak Cakra tuh, dosen muda yang terkenal ganteng,” kata Bianca dengan penuh semangat.
“Lah, bukannya Pak Cakra killer, Bi? Kamu nggak takut apa?” heran Nanda.
“Itu kan cuma gosip. Pak Cakra aja belum pernah ngajar kelas kita. Siapa tahu aja itu cuma akal-akalan anak kelas sebelah biar di kelas kita nggak ada yang milih dia. Lagian cakep, Nan. Lumayan buat healing pas stres-stres mikirin skripsi, kan?” ucap Bianca sambil menaik-turunkan alisnya.
“Inget Attar kali, Bi! Baru juga empat bulan tunangan. Udah jelalatan aja mau mepet dosen sendiri,” ejek Nanda.
Di antara tiga gadis belia itu, hanya Bianca yang sudah memiliki pasangan. Tepatnya, seorang tunangan bernama Attar yang merupakan anak rekan bisnis ayahnya. Attar merupakan senior mereka yang sudah lulus dua tahun lalu, dan sekarang bekerja di kantor milik keluarganya. Bisa dibilang, hubungannya dengan Bianca didasari oleh kepentingan bisnis kedua belah pihak keluarga. Dan sejak awal, Chisa dan Nanda pun tahu kalau Bianca sama sekali tidak suka dengan tunangannya tersebut.
“Yang itu mah malah bikin tambah mumet, empet,” balas Bianca, membuat tawa Chisa dan Nanda pecah.
“Jadi, udah kan? Udah dapat dosbing semua kita? Kamu gimana, Chis? Tadi udah sekalian konsul tema? Cepet banget perasaan,” heran Bianca.
“Udah kok. Aku memang sengaja milih dosbing yang pernah jadiin aku asdosnya. Jadi, lumayan kenal dan aku udah sedikit-sedikit tahu gimana minat ibunya soal topik penelitian,” terang Chisa.
“Seenggaknya aku masih punya teman yang waras kayak Chisa. Kalau dua-duanya tingkahnya kayak Bianca, apa nggak repot?” sambung Nanda yang mendapat hadiah geplakan dari Bianca.
“Udah yuk ah! Nongkrong-nongkrong aja kita! Aku traktir. Itung-itung syukuran karena aku berhasil dapat dosbing Pak Cakra,” ajak Bianca.
Chisa menatap jam di layar ponselnya. Terpampang angka 14.12 di sana. Sedangkan dia janji pada Orion untuk pulang jam tiga. Sepertinya, waktunya tidak akan cukup jika ia masih harus meladeni kedua sahabatnya itu mengobrol di cafe atau semacamnya.
“Aku skip dulu, ya?” pamit Chisa.
“Lah?” heran Bianca.
“Mau ngapain emang? Nggak usah alibi mau nyicil proposal, ya! Nggak akan kita percaya,” sambung Nanda.
“Enggak kok. Ya aku cuma mau istirahat aja, sama teleponan sama ayahku buat ngabarin progres skripsiku,” jawab Chisa.
“Lah? Malah makin nggak masuk akal. Sejak kapan ayah kamu peduli sama studi kamu, Chis?”
“Kan udah aku bilang. Aku janji bakal balikin uang dia dua kali lipat, maksimal satu tahun setelah aku lulus. Jadi ya kemarin waktu Beliau transfer udah sambil mewanti-wanti kalau aku harus segera lulus, dan kasih tahu setiap progres skripsi aku,” terang Chisa.
Cerita itu mengalir begitu saja dari bibir Chisa. Ia tidak sempat berpikir, apakah alasan yang ia buat itu masuk akal atau tidak. Yang pasti, ia hanya ingin segera pergi dari sini dan menepati janjinya pada Orion.
“Ya udah deh. Apapun alasan kamu, nggak apa-apa semisal mau skip dulu. By the way, sekalian bareng aja tapi! Kebetulan aku lagi pengen nongkrong di Tulip. Kan deket tuh sama kosan kamu,” ajak Bianca. Tulip adalah nama sebuah cafe yang cukup sering mereka kunjungi. Cafe semi outdoor itu memiliki pemandangan sore yang cukup indah saat langit cerah. Belum lagi, harga makanannya yang tergolong ramah di kantong pelajar.
“Eh nggak usah. Nanti aku masih mau mampir-mampir soalnya. Maklum lah, anak kos. Banyak yang harus dibeli tiap hari,” tolak Chisa.
“Ya nggak apa-apa nanti kita mampir-mampir bentar.”
“Enggak deh, Bi. Serius. Nggak enak. Lagian malah ribet kalau mau mampir-mampir pakai mobil. Udah nyebrangnya susah, parkirnya bayar lagi. Kalian duluan aja, gih!”
Bianca dan Nanda pun hanya bisa pasrah saat Chisa mendorong mereka menjauh. Chisa tidak tahu, apakah kedua sahabatnya itu akan curiga atau tidak. Bahkan, menurutnya saja, alasan-alasan yang ia buat terkesan mencurigakan. Ia tidak akan kaget kalau Bianca dan Nanda akan kembali menginterogasinya besok, karena ia yakin pasti setelah ini mereka akan membahas soal sikap Chisa hari ini.
“Bodo amat lah. Habisnya mau gimana lagi? Soal kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi besok, besok sekalian aja dipikirin,” gumam Chisa, sebelum akhirnya bangkit.
***
Untuk menu makan malamnya dengan Orion, Chisa memasak menu utama berbahan dasar ikan yang tersedia di kulkas. Sebenarnya, ia tidak terlalu ahli mengolah lauk pauk hewani seperti ini. Namun, dengan mengandalkan video tutorial, Chisa nekat mencoba.
“Kamu nggak bisa masak?” Sebuah suara membuat Chisa sontak menoleh ke belakang. Dilihatnya, pria yang tinggal satu atap dengannya sejak kemarin itu berjalan mendekat dengan pakaian santai serta tangannya yang ia masukkan ke kantong celana.
“Lah ini aku lagi masak. Dan dapur kamu aman, kan, nggak kebakar?” balas Chisa.
“Cuma bikin kayak gitu aja sambil lihat tutorial,” kata Orion.
Chisa tak bisa menyangkal. Akhirnya ia pun berkata jujur. “Aku belum pernah mengolah ikan sebelumnya. Jadi, ini masih sambil belajar. Nanti kalau kurang enak, harap maklum, ya!”
Tampak Orion menghela napas panjang, seperti tidak terlalu suka dengan apa yang Chisa katakan. Setelah itu, pria itu berlalu menjauh dari tempat Chisa berdiri. Ia menuju ke kulkas untuk mengambil air dan meneguknya.
“Jadi, sekarang ceritanya aku lagi modalin kamu buat belajar masak? Mana cuma bermodal video tutorial lagi,” ujar Orion.
“Ya maaf. Tapi aku yakin kok kalau ini bakalan enak,” balas Chisa. Namun, seketika ia ragu. Ia saja belum mencicipinya. Bagaimana bisa ia mengatakan jika ini akan enak? Bagaimana jika ternyata tidak? “Seenggaknya nggak akan jadi makanan berbahaya waktu kamu makan. Dari keadaannya juga kayaknya ini nggak akan gosong.”
Orion tampak tidak terlalu peduli. Pria itu kini sudah duduk sambil memainkan ponselnya. Di apartemen ini, ruang makan dan dapur memang menyatu. Itu pun dengan ukuran yang cukup minimalis mengingat tempat ini memang hanya untuk kapasitas satu hingga dua penghuni.
Setelah masakannya matang, Chisa segera menghidangkannya ke hadapan Orion. Lelaki itu meletakkan ponselnya. Ia menatap hasil masakan Chisa dengan ragu, seolah tidak yakin jika itu akan aman masuk ke pencernaannya.
“Aku tadi udah nyicip kuahnya, nggak buruk, kok,” kata Chisa takut-takut.
Chisa segera berpindah ke tempat duduk di seberang Orion. Ia mengambil nasi untuk dirinya sendiri, lalu diam-diam mencuri pandang ke arah Orion yang seperti akan mulai mencicipi masakannya.
Satu suap berhasil masuk ke mulut pria itu. Orion tampak mengunyahnya pelan, sebelum akhirnya terbatuk dan menelan paksa makanan di mulutnya.
‘Apa seburuk itu?’ batin Chisa. Ia segera menyodorkan air untuk lelaki di hadapannya.
“M- maaf,” cicit Chisa.
Orion mengatur napasnya. Ia melempari Chisa dengan tatapan kesal dan seolah tak habis pikir. Chisa bingung. Apakah kesalahannya begitu besar? Apa masakannya tidak layak makan?
“Kamu!” Orion menjeda ucapannya. Lelaki itu masih tampak kacau setelah menelan paksa sesuatu yang tidak ia sukai tersebut. “Mulai besok, aku akan mengajari kamu cara memasak yang benar. Dan setelah itu, aku nggak akan mentolerir lagi kalau ada kejadian seperti ini.”
“Memang salah aku apa?” Saat ia mencicipi kuahnya tadi, Chisa merasa tidak ada yang salah dengan masakannya. Meski tidak bisa dibilang enak, tapi hasil masakannya juga tidak buruk.
Orion menyodorkan mangkuk berisi mangut nila miliknya. Lalu, ia menunjukkan pada Chisa hasil temuannya. Dengan garpu, ia membuka bagian dalam daging ikan itu yang tampak pucat dan sedikit merah. “Ikanmu belum matang, dan bumbunya sama sekali tidak meresap.”
Chisa tertawa garing. Padahal sebelumnya ia sudah bilang pada Orion untuk memaklumi apabila ada yang salah dengan masakannya. Ini adalah kali pertama ia mengolah ikan.
Chisa akan sangat berterima kasih jika ada orang yang mengajarinya memasak. Ia memang tidak terlalu ahli dalam hal tersebut. Namun, kenapa orang itu harus Orion?
‘Berhadapan dengannya begini aja rasanya udah ngeri-ngeri sedap. Apalagi kalau harus menghadapi dia dalam mode serius?’
Chisa merasa ngeri sendiri membayangkan kegiatan belajar memasak mereka besok. Ia akui. Orion memiliki paras tampan menawan. Tubuhnya tinggi, tegap dan memiliki rahang yang tegas. Sepintas saat ia berjalan di depan Chisa, Chisa juga mencium aroma wangi maskulin di tubuhnya. Membayangkan mereka akan berada di dapur berdua selama beberapa jam untuk membuat suatu hidangan bersama, dan tak mustahil akan melakukan beberapa kontak fisik, membuat kepala Chisa berdenyut.
Bagaimana jadinya kalau yang terjadi malah seperti yang ada pada drama-drama, dan interaksi mereka besok malah akan membuat Chisa jatuh dalam pesona seorang Orion Erlangga?