Chisa merasa sangat gugup. Sebelumnya, ia tidak pernah tidur satu ranjang dengan lawan jenis. Satu pun tak pernah. Bahkan, Chisa lupa apakah ia dulu pernah tidur di kasur yang sama dengan sang ayah atau tidak. Bisa dibilang, Chisa sangat minim interaksi dengan lawan jenisnya. Mengobrol pun jarang. Dan kini, mau tidak mau, ia harus tinggal satu atap dan bahkan tidur satu ranjang dengan pria asing yang baru ia temui kemarin.
Chisa menggigit bibir bawahnya. Ia tidak berani merebahkan diri di samping Orion yang sudah terlelap. Namun, jika bukan di sana, ia harus tidur di mana lagi?
“Kamu tidak tidur?” Chisa terlonjak mendengar suara itu. Setahunya, Orion sudah tidur sejak sekitar satu jam yang lalu. Namun, saat ia menoleh, ternyata pria itu masih membuka matanya dan kini menatap ke arahnya.
“Tidur kok. Cuma sekarang belum ngantuk aja,” bohong Chisa.
Orion menarik tubuhnya untuk duduk bersandar. “Kamu keberatan kita tidur bersama di sini?”
Chisa terdiam. Ia pikir, apa sebaiknya ia jujur saja? Ia memang tidak terbiasa dan tidak juga tertarik untuk membiasakan diri tidur dengan pria asing termasuk Orion.
“Kalau keberatan, kamu bisa pulang sekarang. Belum terlambat kalau kamu mau membatalkan perjanjian kita, mumpung aku juga belum bayar kamu,” kata Orion.
Chisa tersentak meski Orion mengatakannya dengan nada biasa saja. Secara refleks. Chisa segera menaikan kakinya ke atas kasur lalu membungkusnya dengan selimut. Ia terlentang lalu memejamkan mata seolah siap untuk tidur.
Orion menatap Chisa dengan alis mengernyit. “Bukannya tadi kamu bilang kamu belum ngantuk? Kalau memang kamu-”
“Kan tadi. Kalau sekarang, aku udah ngantuk banget. Aku izin tidur dulu ya?” potong Chisa.
Dengan mata terpejam, gadis itu mengambil satu guling yang ada di sebelahnya, lalu meletakkannya di antara dirinya dan Orion, menggunakan benda itu sebagai pembatas untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.
Melihat tingkah Chisa, Orion hanya bisa tersenyum miring. Gadis di sebelahnya itu secara penampilan cenderung standar - jauh dibanding beberapa wanita yang pernah menyodorkan dirinya padanya. Namun, entah kenapa Orion merasa jika gadis itu benar-benar lugu dan bisa dipercaya.
‘Jangan sampai kau mengecewakanku, Chisa! Jangan menghancurkan ekspektasiku padamu, atau kau akan tahu akibatnya,’ monolog Orion dalam hati, sebelum ia menyusul Chisa untuk berbaring dan memejamkan matanya.
***
Di pagi hari, Chisa terkejut saat melihat sesosok pria terbaring di sebelahnya. Dia hampir saja berteriak histeris. Namun, untung saja ia segera teringat dengan kejadian apa saja yang terjadi padanya kemarin.
“Aku benar-benar harus berusaha membiasakan diri,” ucapnya, sebelum ia bangkit dan membersihkan diri.
Hari ini, Chisa harus berangkat kuliah. Ia harus mencari dosen pembimbing skripsi sesuai topik penelitian yang ia ambil. Dan ia harus melakukan itu secepatnya, sebelum dosen-dosen favorit yang mengampu topik tersebut mencapai batas maksimal mahasiswa bimbingan. Sebab, biasanya tiap dosen hanya mengampu maksimal lima mahasiswa tiap angkatan.
“Hm, not bad, but not good,” ucap Chisa setelah mencicipi nasi goreng buatannya. Biasanya saat membuat nasi goreng ia hanya menambahkan satu butir telur pada nasi dan bumbu rempahnya. Namun, melihat di kulkas Orion memiliki bahan yang begitu lengkap, ia mencoba mencontoh resep di youtube untuk membuat nasi goreng yang lebih menarik.
Ia menghidangkan nasi goreng buatannya di atas meja makan. Setelah itu, ia menuju ke kamar Orion. Baru ia akan mengetuk pintu, pintu itu sudah lebih dulu terbuka dari dalam, membuat kedua insan itu beradu tatap untuk beberapa saat.
“Apa?” tanya Orion dengan raut wajah dingin.
“Eh it-itu, sarapannya sudah siap,” kata Chisa gugup. Ia baru sadar, lelaki yang berprofesi sebagai aktor muda di hadapannya itu memiliki paras yang tampan alami. Bahkan, baru bangun tidur pun sosoknya tampak begitu memesona, tak kalah dibanding saat di layar kaca.
Chisa dan Orion duduk saling berhadapan di meja makan. Chisa merasa sangat gugup. Rasanya, ia ingin cepat-cepat berangkat ke kampus untuk menghindari tatap muka dengan pria tersebut.
Saat Orion tiba-tiba berdehem, Chisa langsung mendongak menatapnya.
“Hari ini kamu kuliah? Berikan aku nomor rekeningmu!” ucap lelaki itu.
Chisa mengambil ponselnya. Ia buka aplikasi mobile banking di ponselnya itu lalu menunjukkannya pada Orion. Tak lama setelah Orion mengembalikan ponselnya, sebuah notifikasi masuk ke ponsel Chisa. Pupil matanya membesar saat ia membaca isi dari notifikasi tersebut.
“I- ini apa?” tanyanya pada Orion.
“Bayaran kamu. Kamu harus bayar semesteran kamu, kan? Sisanya uang saku kamu,” jawab Orion santai.
“UKT aku cuma enam juta, sama tagihan-tagihan lain paling tujuh juta. Ini sisanya kebanyakan. Aku transfer balik aja, ya?” ujar Chisa gelagapan.
“Nggak perlu. Kamu bawa aja dulu. Lagi pula kamu juga butuh ongkos kan buat ngampus tiap hari?”
“Naik trans nggak semahal-”
“Mulai dari sekarang, pakai taksi online! Kamu itu tiap hari bakal keluar dari gedung ini. Kalau suatu hari ada wartawan atau semacamnya yang iseng, bisa bahaya kalau dia bisa dengan gampangnya ngikutin kamu,” potong Orion.
Chisa menghela napas panjang. Sebenarnya, itu menguntungkan baginya. Tentu saja menaiki taksi online akan terasa lebih nyaman meski terkesan boros. Namun …
“Tapi tetap saja ini kebanyakan banget. Dua puluh juta bisa buat aku hidup hampir satu tahun,” kata Chisa.
Orion mengangkat kedua bahunya tak peduli. Lalu, ia bangkit dari kursinya. “Membereskan ini dan cuci piring masih jadi tugasmu. Jadi, jangan berangkat sebelum semuanya bersih.”
“Terus ini uangnya?” bingung Chisa. Namun, Orion sudah lebih dulu meninggalkan ruang makan. Lelaki itu kembali masuk ke kamar mereka, seolah urusannya dengan Chisa pagi ini telah selesai.
Chisa meraih kembali ponselnya. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat nominal uang itu mengendap di rekeningnya. Bahkan, hanya lewat saja belum pernah. Rasanya masih seperti mimpi. Ia senang, tapi di sisi lain ia juga takut jika Orion akan meminta imbalan yang sebanding dengan nominal ini.
“Dua puluh juta? Pekerjaan seperti apa yang sebenarnya akan dia minta aku lakukan dengan bayaran sebesar ini? Bahkan dengan jual diri aja rasanya aku tetap tidak akan mendapat bayaran sebanyak ini,” gumam Chisa.
Chisa menggeleng kuat. Ia heran dengan isi kepalanya yang bisa sampai berpikir di sana. Dari sikap Orion sejak kemarin hingga pagi ini, tidak menunjukan gelagat aneh yang akan menyeret Chisa ke dunia itu. Lalu, apa yang sebenarnya pria itu inginkan dari Chisa, hingga ia berani membayar Chisa semahal ini?
***
“Cerita nggak?!” desak satu dari dua teman Chisa, yang kini sedang makan siang bersamanya.
“Cerita soal apa? Memangnya aku habis ngapain?” bingung Chisa.
“Kamu habis lunasin uang semesteran sama administrasi tugas akhir. Kamu banyak duit? Terakhir kamu cerita ke kita, saldo rekening kamu sisa nggak sampai tiga ratus ribu, kan?” tanya Bianca penuh selidik.
Bianca adalah salah satu teman Chisa. Mereka merupakan teman satu fakultas, tetapi beda jurusan. Keduanya sudah akrab sejak masih SMA. Dan satu teman Chisa yang lain, bernama Nanda. Dia satu jurusan bahkan satu kelas dengan Chisa. Sepertinya, Bianca tahu soal Chisa yang baru saja melunasi uang kuliahnya dari Nanda yang tadi mengantar Chisa ke bagian keuangan.
“Ayah aku kirim uang,” jawab Chisa.
“Nggak mungkin. Aku ingat banget waktu kamu sampai nyaris terusir dari kos, dan ayah kamu tetap kekeh nggak mau kasih uang,” sahut Nanda.
“Nah. Aku juga ingat banget saat kamu mohon-mohon mau minjam uang satu setengah juta buat lunasin uang semesteran kemarin sampai jauh-jauh nyamperin dia aja, kamu sampai diusir dan nggak punya ongkos pulang,” sambung Bianca. “Apalagi ini, uang semesteran dan administrasi yang semuanya enam koma delapan juta,” lanjut Bianca.
Chisa menghela napas panjang. Ia lupa kalau dua sahabatnya itu tahu hampir semua hal tentangnya selama ini. Termasuk, soal kedua orangtuanya yang sama sekali sudah tidak bertanggung jawab lagi atas dirinya.
Ya. Mereka masih hidup. Keduanya dalam keadaan yang sehat dan memiliki perekonomian yang tidak kurang. Namun, mereka seolah lepas tangan pada Chisa dan fokus dengan keluarga baru mereka masing-masing.
Mereka seolah menganggap Chisa adalah bagian dari masa lalu yang buruk sehingga enggan menjalin komunikasi lagi dengan Chisa.
“Ya terus menurut kalian, kalau nggak dari ayah aku, aku dapat uang itu dari mana? Kalian nggak mungkin mau nuduh aku mencuri, kan?” ujar Chisa dengan nada malas.
Chisa ingat dengan isi perjanjian yang telah ia tanda tangani bersama Orion. Ia harus menjaga kerahasiaan pekerjaan dan hubungannya dengan Orion, mengingat Orion memiliki nama baik yang harus dijaga.
‘Plis kalian percaya aja, ya! Aku nggak pintar membuat alasan kalau lagi bohong. Aku nggak tahu lagi harus beralasan apa kalau kalian sampai mendesak aku lebih jauh dari ini,’ batin Chisa was-was.
Bianca dan Nanda masih menatap Chisa penuh selidik. Sulit bagi mereka untuk mempercayai apa yang Chisa katakan. Terlebih Bianca. Ia yakin, Chisa menyimpan rahasia besar dari mereka. Bianca tidak percaya Chisa mendapat bantuan finansial dari sang ayah. Justru ia merasa semakin penasaran dari mana Chisa mendapatkan uang itu, hingga akhirnya mengakui jika itu pemberian sang ayah.