10 - Menaruh Simpati

1512 Words
Sejak mengetahui jika Chisa menyimpan banyak luka di balik sikap menyebalkan dan cerobohnya, Orion merasa ada yang aneh pada dirinya. Ia seolah tidak bisa lagi berkata ketus pada Chisa, atau mengomeli gadis malang itu. Orion jadi lebih berhati-hati bersikap pada Chisa. Bahkan, saat ia hampir kelepasan memarahi Chisa, ia rela menahan napas sejenak untuk menyadarkan dirinya. “Maaf, aku benar- benar nggak tahu kalau ternyata tadi setrikanya belum mati. I- itu … nanti aku ganti, deh,” ucap Chisa. Ia baru saja membuat salah satu baju kesukaan Orion bolong karena terpanggang setrika. Orion memejamkan mata, mengehela napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya agar tak meledakkan amarahnya pada gadis di hadapannya. “Lupakan. Gimana sama setrikaannya? Masih bisa dipakai?” “Aku rasa enggak. Ada bagian yang nempel. Besok aku ganti juga deh setrikaannya. Tapi, baju kamu besok gimana, dong? Apa sekarang aja aku keluar cari setrika sebentar? Ini masih jam sembilan. Aku yakin masih ada toko yang buka,” ucap Chisa. Gadis itu seolah buru-buru ingin pergi, sebelum semua toko benar-benar tutup. Namun, Orion menahan lengannya. “Jangan bercanda! Ini udah malam.” “Belum terlalu malam, kok. Aku rasa masih sempat buat cari-” “Sssshh! Udah! Soal pakaianku, nggak perlu kamu pikirin. Aku bisa minta tolong Mbak Sany buat bawakan pakaianku besok,” kata Orion, sambil masih menahan lengan Chisa agar tidak beranjak dari hadapannya. “Tapi-” “Udah sana! Balik kerjain skripsi kamu aja! Kamu bilang, target minggu ini kelar bab satu, kan?” potong Orion, agar Chisa tidak terus keras kepala membantahnya. Chisa mengernyitkan alisnya, seolah menyadari ada sesuatu yang aneh. “Kamu kok tahu?” Selama ini, Chisa selalu menyimpan urusannya sendiri dari Orion. Termasuk, soal perkembangan skripsinya. Ia merasa, itu bukan sesuatu yang penting bagi Orion. Tidak ada gunanya juga Orion mengetahui perkembangan skripsi Chisa, kan? Orion menatap ke sembarang arah. Tanpa sadar, tangannya yang tadi memegang lengan Chisa terangkat untuk menggaruk pelipisnya. Ia lupa, tidak seharusnya ia membahas soal urusan pribadi Chisa. Harusnya Chisa tidak tahu, kalau selama ini Orion juga memperhatikan gerak-gerik gadis itu. “Aku nggak sengaja dengar kamu ngomong sendiri beberapa hari yang lalu. Aku pikir aku salah dengar. Ternyata benar?” ujar Orion yang masih gengsi mengakui jika ia memang memberi perhatian lebih pada gadis yang tinggal satu atap dengannya itu. Chisa mengangguk kecil. “Iya, sih. Dan sampai sekarang belum acc juga. Jadwal ketemu dosbing masih Kamis. Aku nggak tahu lagi kalau Kamis itu masih belum acc, bisa enggak Jumatnya aku bimbingan lagi. Kalau enggak, ya otomatis mundur dari harapanku.” Chisa mengatakan hal itu dengan raut wajah memelas. Bisa dibilang, baru pertama ini Orion melihat Chisa menunjukkan wajah sesendu ini di hadapannya. Selama ini, Chisa lebih senang menyimpan kesedihannya sendirian. Dan jika pun ia menunjukkan raut wajah sedihnya, itu hanya karena hal-hal sepele seolah ia ingin membuat Orion tidak tega memarahinya karena sesuatu yang kecil. “Ya udah, makanya sana buruan kerjain sebaik mungkin biar Kamis bisa acc, kalau kamu emang pengen bab satu kamu selesai minggu ini!” ucap Orion. “Tapi baju sama setrika kamu-” “Udah aku bilang, kan, nggak usah dipikirin! Aku punya manajer. Dia kerja buat bantu aku ngurus hal kayak gini juga kalau memang mendesak. Lagian, kamu pikir, pakaian buatku besok sama skripsi kamu, penting mana?” “Skripsi,” jawab Chisa dengan nada lirih. “Ya makanya itu. Buruan, gih! Sebelum makin malam terus nanti kamu alasan udah ngantuk!” tegas Orion. Chisa mengangguk. Ia kembali mengucap kata maaf, sebelum akhirnya beranjak dari hadapan Orion, lalu mengambil laptopnya di atas meja belajar. Ia membawanya keluar. Ia berniat mengerjakan skripsinya di ruang tamu, mengingat ini sudah masuk jam istirahat bagi Orion yang besok harus berangkat kerja sebelum jam tujuh pagi. Orion memperhatikan Chisa hingga gadis itu menghilang setelah menutup pintu kamar mereka dari luar. Ia menghela napas panjang, lalu mendudukkan dirinya di kursi terdekat. “Kalau dilihat-lihat, kasian juga dia. Wajahnya kayak penuh pikiran. Apa itu yang bikin progres skripsi dia lambat? Aneh nggak sih kalau aku peduli? Biar bagaimana pun kan uang semesteran dia semester ini aku yang bayarin,” gumam Orion. Jujur saja, Orion tidak bisa merasa tenang setelah kepergian Chisa. Ia merasa, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Apa gadis itu baik-baik saja? Kenapa sudah hampir dua jam dan aku sama sekali tidak mendengar suaranya? Atau jangan-jangan, dia benar-benar nekat membeli setrika baru?” Orion yang awalnya dalam posisi rebahan, sontak langsung bangkit saat memikirkan hal itu. Ini hampir tengah malam. Tidak mungkin, kan, Chisa nekat pergi begitu saja? Minimal, jika Chisa memang benar-benar mengerjakan proposal skripsinya, harusnya gadis itu sudah kembali sejak beberapa waktu yang lalu untuk tidur. Merasa tidak tenang, akhirnya, Orion memutuskan untuk mengecek gadis itu di ruang tamu. Orion membuka pintu dengan sangat pelan. Ia berencana hanya untuk mengintip, dan kembali masuk setelah memastikan jika Chisa baik-baik saja. Namun, Orion membuka pintu kamarnya lebar-lebar saat ia mendapati gadis yang ia cari kini tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Orion berjalan mendekat perlahan. Setibanya di dekat Chisa, ia melambaikan tangannya beberapa kali di hadapan gadis itu. Namun, gadis itu tampak tak terusik. Layar laptopnya masih menyala. Orion sadar, Chisa sepertinya tidak sengaja tertidur saat mengerjakan skripsinya. “Dia benar-benar tertidur? Bagaimana bisa dia tertidur dengan posisi seperti ini?” gumam Orion. Pasalnya, saat itu Chisa tidur dengan kepala bertumpu pada meja. Di bawahnya, ada sebuah buku tebal. Dan di depannya, laptop gadis itu masih dalam keadaan menyala, dengan menunjukkan halaman microsoft word yang bertuliskan proposal penelitian Chisa. Orion menghela napas panjang. Ia merasa tidak tega melihat posisi tidur Chisa yang sangat memprihatinkan. Orion yakin, jika tetap dibiarkan seperti ini, pasti gadis itu akan merasa kesakitan pada beberapa bagian tubuhnya esok pagi. Sementara untuk membangunkannya, Orion juga merasa tidak tega. Ia melihat gurat lelah yang sangat kentara di wajah gadis yang beberapa waktu terakhir ini hidup seatap dengannya tersebut. ‘Apa aku pindahkan saja ke sofa? Tapi, tidur di sofa juga pasti akan bikin badan sakit-sakit besok. Sementara jadwal kuliah dia padat besok,’ batin Orion. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Orion memutuskan untuk memindahkan Chisa ke kamar mereka, dengan cara menggendongnya. Sebelum itu, Orion terlebih dahulu membereskan barang-barang Chisa. Ia menyimpan file proposal Chisa, lalu mengumpulkan buku dan modul di sekitar gadis itu. Ia menyimpan semua itu dengan rapi sebelum akhirnya fokus pada Chisa. ‘Kalau tiba-tiba saja dia terbangun saat aku menggendongnya, dia pasti akan sangat besar kepala. Tapi aku tidak punya pilihan lain,’ batin Orion. Ia menegakkan tubuh Chisa, mendorongnya sedikit ke belakang dengan perlahan, lalu menyelipkan satu tangannya di antara perpotongan lutut gadis itu. Sedangkan satu tangan yang lain, dia letakkan di punggung Chisa. Ia mulai mengangkat gadis itu. Dan … berhasil tanpa membuat Chisa terbangun. Gadis itu sedikit menggeliat saat Orion berhasil menggendongnya. Namun, matanya masih tertutup rapat, membuat Orion segera mempercepat langkahnya menuju ke kamar. Orion membaringkan tubuh Chisa dengan perlahan, memastikan jika gadis itu tidak akan terganggu dengan pergerakannya. Dan syukurlah, mata Chisa masih memejam hingga Orion selesai menyelimutinya. Orion hendak beranjak. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia tidak tahu, dorongan apa yang membuat ia pada akhirnya malah mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. Ia mengusap kening Chisa yang tampak berkerut tidak nyaman. Gadis itu juga sempat bergumam tidak jelas, tetapi Orion segera menenangkannya. “Ssstt … Apa kamu bermimpi buruk? Tenanglah, ada aku di sini. Sekarang kamu sudah tidak sendiri lagi,” lirih Orion sambil mengusap pipi Chisa dengan lembut. Setelah melihat Chisa kembali tenang, Orion menghentikan usapan jemarinya pada pipi gadis itu. Namun, matanya masih menatap intens wajah manis di hadapannya. Ia merasa ada sesuatu yang rumit untuk ia jelaskan. Yang pasti, ia merasa betah lama-lama memandangi wajah yang sedang memejamkan mata itu. Orion sadar, wajah itu tampak sendu. Sangat berbeda dengan sosok Chisa di matanya selama ini. Gadis itu tampak lelah dan seperti banyak pikiran. Orion baru sadar. Bahkan, jika saat tidur begini saja wajah Chisa tampak seperti tidak tenang. Orion jadi teringat kembali dengan apa yang ia dengar beberapa hari yang lalu. Tentang Chisa yang menangis setelah berbicara dengan ayahnya. Dari percakapan itu, Orion menangkap fakta bahwa Chisa memiliki keluarga yang berantakan. Dan dia adalah korban utama dari kerusakan rumah tangga itu. Kedua orangtuanya sudah meraih kebahagiaan baru masing-masing. Sedangkan Chisa, gadis itu masih menderita dalam kesendiriannya. Tiba-tiba saja, d**a Orion terasa sesak. Ia tidak tega melihat gadis itu menderita sendirian. Sekarang, Orion mengerti kenapa Chisa yang merupakan gadis baik-baik, gadis yang masih bersih itu rela menjadi wanita bayaran yang tinggal bersama seorang pria asing. Chisa hanya memiliki dirinya untuk bergantung. Ia tidak punya siapa-siapa lagi yang akan menggenggam tangannya saat ia berada dalam kesulitan. Betapa egoisnya kedua orangtua gadis malang itu. Mereka bahkan masih bisa tertidur nyenyak di kasur yang empuk dan fokus pada keluarga barunya, dengan mengabaikan Chisa yang juga merindukan perhatian dan kasih sayang mereka. “Mulai sekarang, kamu bukan lagi gadis sebatangkara yang malang. Kamu punya aku, Chisa. Mulai sekarang, aku bukan lagi orang asing buat kamu. Jika mereka tidak bisa menjagamu, biar aku yang menggantikan peran mereka. Kamu layak untuk bahagia,” ucap Orion, sambil kembali mengusap pipi Chisa dengan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD