Crossed The Line

1271 Words
Mata elang Arthur Shelby tidak lepas dari pasangan yang cukup lengket dibawah sana. Setiap pergerakan kecil, setiap kata demi kata yang Arthur sendiri tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tidak ada yang terlewatkan. Arthur pun dapat melihat ada ketegangan seksual yang terpancar dari bahasa tubuh sang calon tunangan dengan lelaki yang dia gandeng ke pesta malam ini. Pria itu tanpa sadar mencengkram gelasnya dengan lebih erat, bahkan benda tidak bersalah itu betulan pecah hanya dengan genggaman tangannya saja. Amarahnya langsung meluap hanya dengan melihat pemandangan itu. Kenapa melihat Esme bersama dengan pria lain begitu mengganggunya? Mengapa hanya melihat senyuman yang tercipta pada wajah wanita itu membuat Arthur tidak rela membaginya dengan siapa pun? Apa menariknya pria itu daripada dirinya yang sudah memiliki segalanya? Kenapa Esme mengacuhkannya dan malah memilih dia? Andara yang sedari tadi berada disekitar Arthur memandang khawatir pada ekspresi Arthur dan juga tangannya yang bisa saja berdarah gara-gara terkena pecahan kaca. Raut muka Arthur yang selalu tenang kini terlihat sangat resah dan penuh amarah. Tetapi pria itu mengesampingkan terlebih dahulu dan fokus pada pecahan kaca yang melukai telapak tangan Arthur yang berharga. “Arthur, tanganmu berdarah,” ujar pria kemayu itu sambil menangkap tangan Arthur secara refleks yang membuat Arthur tersadar dan menyadari bahwa gelas di genggaman tangannya sudah berubah bentuk dan remuk. Cairan merah wine dengan darahnya bercampur. “Kita harus membalut lukanya.” “Tidak perlu.” “Jangan seperti itu, ini bisa infeksi bila dibiarkan, ayo cepat kita obati dulu aku tidak mau dengar penolakan apapun,” sahut Andara tegas dan menyeret pria itu menjauhi tempat pesta dan mereka menuju ke tempat peristirahatan keluarga. Arthur tidak lagi merespon dan melawan dia membiarkan Andara melakukan semua hal yang dia suka. Termasuk membersihkan tangannya dan merawat luka yang dia sebabkan secara tidak sadar. “Sebenarnya ada apa denganmu, Arthur? Kenapa kau terlihat sangat marah?” “Entahlah,” jawab Arthur pendek sambil memperhatikan ketika Andara membalut luka di tangan kanannya dengan telaten. Sejujurnya dia juga tidak tahu mengapa dia sangat marah, dan mengapa kebersamaan Esme dengan pria itu membuatnya terganggu dan tidak suka. “Jujurlah padaku, Arthur. Aku bukan orang kemarin sore yang bersamamu. Kita sudah bersama sejak masih belia,” timpal Andara yang kini sudah selesai membalut luka sang kekasih dan pria itu mencium tangan Arthur yang luka. Melihat ketulusan dari Andara, Arthur merasa bahwa dia memang tidak akan bisa menyembunyikan apa-apa dari pria yang selalu berada disisinya ini. “Dara, bisakah kau membantuku?” “Apa yang bisa aku bantu?” “Bisakah kau menyelidiki pria yang dibawa oleh Esme kemari?” Andara tampak diam sebentar sebelum dia memutuskan menjawab pertanyaan pria itu. “Bisa saja, tetapi kau harus jujur padaku. Apakah alasanmu menyuruhku mencari informasi tentang pria itu adalah karena kau tertarik dengan Esme?” Andara perlu tahu soal motifnya. Sebab selama dia mengenal Arthur, pria itu tidak pernah sekalipun pernah menunjukan rasa cemburu ataupun bertindak impulsive seperti sekarang. Bahkan Arthur saja tidak pernah bersikap posesif padanya atau pada orang-orang yang pernah terlibat secara intim dengan pria itu di masa lalu. Ini adalah hal baru, dan Andara menangkap adanya pertanda kurang baik dari gelagat Arthur saat ini. Setahunya Arthur tidak pernah peduli kalau dia menjalin hubungan dengan oranglain, makanya ketika Andara melihat pria itu kehilangan kesabaran dan ketenangannya hanya karena seorang perempuan itu jadi mengganggunya. Apakah sebenarnya Arthur diam-diam memiliki perasaan pada calon tunangannya? Jika begitu jelas ini tidak sesuai dengan toleransinya. Andara rela bila pria itu membagi dirinya secara seksual dengan siapa pun. Tetapi bila urusan hati, Andara tidak bisa terima itu sampai kapan pun. Sebab cinta dan nafsu adalah dua hal berbeda yang terkadang terlihat serupa tapi tidak sama. “Aku tidak tertarik soal dia, aku hanya tidak terima karena dia melukai harga diriku dan kenapa orang seperti dia menjadi alasan Esme menolakku.” “Selera orang berbeda-beda, Arthur.” “Tapi Esme harus menjadi istriku, hanya dia perempuan yang cocok dengan gaya hidupku. Jika aku gagal kali ini, Ayah mungkin akan mencabut seluruh kerja kerasku begitu saja.” “Kenapa tidak mencari wanita yang lain saja? toh sama saja kan siapapun pasanganmu asal kau menikah,” saran Andara yang tidak terlalu suka balasan Arthur terhadap pertanyaannya. Tetapi Arthur malah mendesah lelah dan memijit pangkal hidungnya, sebuah kebiasaan ketika dia merasa sudah sangat kewalahan. “Tidak mudah, Dara. Ayah menginginkan seorang gadis yang berasal dari keluarga terkemuka. Kau tahu sendiri bila perjodohanku dengan keluarga Enderson gagal, ayah mungkin akan menjodohkanku dengan perempuan lain yang lebih merepotkan dibandingkan dia.” Meski terdengar seperti sebuah alasan saja, tetapi Andara merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Arthur masuk akal dan dia bisa menerimanya. Memang benar, jika dipikir Esme itu tipe perempuan yang liar dan tidak akan mengganggu hubungannya dengan Arthur. Apalagi melihat gelagat wanita itu yang lebih seperti membenci Arthur ketimbang ingin menjadikannya sebagai patner hidup. Buat Andara sebenarnya hubungan Arthur dan Esme sudah sangat ideal dan tidak akan merepotkannya. "Kau mau kemana?" Andara langsung bertanya begitu menyadari bahwa sang kekasih mengambil langkah menjauh dari sisinya. "Menyapa calon tunanganku." Sekarang tampaknya betul-betul jadi masalah. Andara sedikit takut bila Esme justru malah mengubah hati kekasihnya. Dia takut Arthur jatuh hati pada pesona wanita itu. *** Esme menatap kedua mata Jhon dengan penuh kejutan. Tangannya saat ini sudah berada di dalam genggaman pria itu, sementara tangan Jhon yang bebas sudah berada dipunggungnya yang telanjang, membimbing si wanita berambut panjang untuk berdansa mengikuti alunan irama musik yang dimainkan di ruang pesta. Jhon tampak begitu terampil mengikuti lantunan irama waltz dan terus terang Esme dibuat kagum atas kepiawaian pria itu dalam menari. “Wow, aku tidak menyangka kalau kau bisa berdansa,” ujar Esme masih belum dapat lepas dari kekagumannya terhadap Jhon. “Apa kamu pikir hanya orang kaya saja yang bisa berdansa seperti ini, Gorgeous?” “Ugh … kau selalu saja sarkastik,” “Saya memang pria yang sinis dan sarkastik, apa kamu tidak menyadarinya sejak awal kita bertemu? ups … hati-hati Gorgeous, jangan sampai kamu menginjak kaki saya,” ujar Jhon yang menyadari bahwa kakinya hampir saja jadi korban sepatu high heels lancip yang Esme kenakan, perempuan itu langsung terkekeh. “Aku memang berusaha menginjak kakimu, tapi kau cukup terampil menghindari setiap seranganku.” “Saya tidak ingin kesakitan, karena sepatumu cukup seram untuk dihadapi,” timpal Jhon yang kembali menerbitkan senyuman di wajah Esme. “Ngomong-ngomong kenapa kau belajar berdansa?” Esme yang cukup penasaran kembali membawa topik tersebut untuk dibicarakan. Dia menyadari bahwa walau Jhon tinggal di apartment kumuh dan bekerja sebagai bartender tanpa latar belakang yang jelas. Agak aneh baginya untuk mempelajari sesuatu seperti ini, dan sejujurnya Esme merasa bahwa Jhon terbiasa dengan situasi mereka yang berada ditengah orang-orang elit. Bagaimana pun juga dia tampak terpelajar dan memang seperti bagian dari mereka. “Tuntutan pekerjaan,” jawab Jhon singkat. Dia tidak mencoba untuk berbohong dan tidak juga menutupi, jika hanya sebatas itu Esme pun tampaknya bisa paham. Kalau digali ke masa lalu, sebenarnya Jhon memang sudah banyak sekali belajar tatakrama dan lain-lain ketika bersama si tua bangka. Kakek tua yang juga adalah ayahnya itu tidak mengizinkannya bermain, tetapi sebagai gantinya dia dididik dengan keras untuk menjadi seperti kalangan orang-orang elit. Satu hal yang tidak pernah bisa dia lupakan adalah ‘menutup emosi serapat mungkin agar orang-orang tidak bisa menebak apa yang ada dikepala’ dan hingga kini ajaran itu membekas dan menjadikan Jhon yang sekarang. Pria misterius dengan raut muka stoic yang tidak mudah ditebak gerak-geriknya. “Pekerjaan yang mana maksudmu?” sahut Esme yang membuat Jhon kembali ditarik ke masa sekarang. Ya, dia mulai kembali memposisikan dirinya sebagai patner dansa sang nona. “Kenapa kamu sangat ingin tahu tentang masa lalu saya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD