Kesepakatan

1355 Words
Esme melangkahkan kakinya menuju ke meja bar. Kala itu belum terlalu malam, jadinya bukan hingar bingar musik yang memekakan telinga melainkan hanya alunan musik jazz semata. Aroma tembakau melambung di udara, sedikit lebih tenang dibandingkan dengan malam minggu, tetapi Esme lumayan suka juga dengan atmosfer seperti ini. Ketika telah memposisikan dirinya duduk pada salah satu kursi, Esme mendapati pria yang dia cari sedang membersihkan gelas martini. Wanita berambut panjang itu tiba-tiba merasa jengkel, lantaran melihat Jhon yang baik-baik saja padahal seminggu kebelakang Esme menanti untuk dikabari. Menyadari ada seseorang yang menatap, Jhon langsung melirik dan mendapati Esme ada disana. Ekspresi wajahnya sangat tidak ramah, Jhon menduga bahwa wanita itu pastinya sedang marah. Walau Jhon sendiri tidak yakin karena apa. “Selamat malam, Ms. Gorgeous. Mau minum apa?” sapa Jhon sambil menyunggingkan senyum manisnya sebagai pembantu pemikat perhatian para pelanggan terutama wanita. “Beri aku sesuatu yang keras,” sahut Esme ketus yang hanya dibalas anggukan. Tadinya Esme mau bersikap so misterius, tetapi karena melihat Jhon bahkan tidak bertanya apa-apa membuat sisi kesabaran dari Esme langsung menguap entah kemana dan kekesalan yang dia rasakan makin ingin meledak. “Jhon!” panggil Esme lagi yang membuat pria itu melirik sebentar padanya. “Ya?” “Kenapa kau tidak mengontakku sama sekali? apa kau sudah melupakan b***k-mu yang cantik ini?” tanya Esme keras-keras, membuat beberapa orang yang duduk disekitarnya langsung terkesiap atas pernyataan tidak terduga dari si nona cantik. Jhon agak sedikit panik, pria itu kemudian menghampiri sang nona besar untuk sekadar mendekat. “Tolong jangan bersikap seperti itu, saat ini saya sedang bekerja.” “Aku tahu kau sedang bekerja, jadi kenapa kau tidak meneleponku sama sekali?” “Saya ingin menghubungi, tetapi sayangnya saya cukup sibuk akhir-akhir ini,” ujar Jhon cukup lugas meskipun sebetulnya dia sedang berdusta. Sebenarnya Jhon sendiri ragu untuk menghubungi Esme. Sejak dia diberi kartu nama wanita itu, dia berpikir bahwa rasanya masih seperti mimpi untuk bisa dia yakini bahwa orang seperti Esme mau menanggapi serius kesepakatan mereka. Jadinya Jhon cukup tahu diri dan lebih suka menganggap kalau Esme hanya sedang bercanda (seperti kebiasaan orang kaya pada umumnya yang suka mempermainkan orang-orang miskin untuk kesenangan) ketika wanita itu setuju menjadi submissive-nya. Namun melihat kedatangan wanita itu ke bar ini sekarang dan dengan berani mengenakan kalung yang Jhon pasang dilehernya, Jhon meyakini bahwa persepsinya salah dan wanita ini sedang serius sekarang. “Kau masih berminat main-main denganku kan, Jhon?” tanya Esme dengan ekspresi yang cukup serius. Jhon cukup peka bahwa wanita itu sedang tidak berada dalam kondisi yang sama seperti kemarin. Malah dia tampak seperti seseorang yang sedang linglung dan dipenuhi banyak masalah. “Kita bicarakan soal ini nanti. Kebetulan shift saya sudah hampir berakhir. Tunggulah lima belas menit lagi,” ujar Jhon sebagai konfirmasi akhir dan Esme menganggukan kepala. Wanita itu tidak lagi bicara dan dia membiarkan Jhon fokus dengan pekerjaannya setelah Jhon memberinya segelas wine dengan kadar alcohol cukup tinggi sebagai teman menunggu. Tetapi Esme bahkan menghabiskan minuman itu dalam satu kali tegukan. Sepertinya Esme benar-benar sedang sangat kacau. Lima belas menit berlalu, sesuai dengan janjinya Jhon langsung berganti pakaian dan menggandeng Esme untuk keluar dari bar. Esme sendiri tidak berkomentar banyak dan mengikuti Jhon keluar. Ketika mereka berada di pelataran parkir barulah kini Jhon mengajaknya bicara lagi. “Apa yang sedang terjadi sebetulnya?” tanya Jhon, pria itu tidak memperlihatkan ekspresi khawatir atau apa pun tetapi Esme lebih suka berandai-andai kalau pria ini sedang mencemaskannya. “Ayahku tiba-tiba saja menjodohkan aku, padahal aku sama sekali tidak mau menikah, Jhon,” sahut Esme. Kabar itu cukup mengejutkan buat Jhon. Tetapi hal tersebut lumrah dan memang sering sekali Jhon dapati dari para perempuan kaya yang dulu pernah menjadi lawan mainnya. Tetapi untuk sekarang, entah bagaimana bayangan soal Esme yang diikat oleh pria lain membuat pria itu merasa kesal. Seolah Esme memang miliknya sejak awal dan dia hendak direbut oleh oranglain. “Lantas kamu ingin saya bagaimana?” Walaupun Jhon merasa kesal, tetapi dia masih cukup punya kewarasan dan akal pikiran jernih. Dia tidak mungkin mengambil sikap gegabah apalagi bila lawannya adalah orang kaya. Terlebih jika dia menceburkan dirinya bukankah sama saja dengan dia melanggar sumpahnya untuk tidak terlibat secara rasa dengan perempuan ini? “Tolong aku,” ujar wanita itu dan kali ini dia bahkan terlihat sangat putus asa. “Bagaimana saya bisa menolongmu?” “Pura-puralah jadi kekasihku di pesta pekan raya.” Permintaan yang keluar dari mulut Esme malah makin terdengar tidak masuk akal. Jhon mengerutkan keningnya, ini sudah bukan perkara mudah. Wanita ini malah akan memperumit segalanya. “Dengar, Gorgeous. Ada batas dimana kamu bisa meminta bantuan seseorang. Permintaanmu kali ini sangat tidak masuk akal. Meskipun saya menyanggupi, memangnya akan ada perbedaan besar? Ayahmu pasti tidak akan sudi menerima seorang pria yang bekerja hanya sebagai bartender di club malam tanpa latar belakang yang jelas. Itu tidak akan cukup membantu” “Oh ayolah, semua hal bisa diatur setelahnya. Kalau kau mau membantu aku akan melakukan apa saja untukmu,” timpal Esme. Alasan mengapa dia sedikit memohon seperti ini karena dia melihat Jhon tampaknya tidak keberatan menjadi kekasih pura-puranya. Esme yakin ayahnya tidak akan bisa memaksanya menikahi Arthur Shelby kalau Esme kepalang jatuh cinta. Ayahnya mungkin saja akan tergugah, mengingat pria itu tahu soal masa lalu Esme yang buruk dalam hal cinta yang membuat dia menutup diri dari hubungan romansa. “Saya akan mempertimbangkan untuk membantu, tetapi harus ada perjanjian yang perlu kamu tanda tangani, kalau begitu.” Esme menelan salivanya sendiri. Rasa hangat berkumpul dibawah perutnya dan ada alarm tanda bahaya yang berdentang di kepala. Pandangan mata Jhon kala itu seperti dia adalah seorang predator yang sedang menelanjangi mangsa dan tubuh wanita itu terasa menggelenyar. “Aku tidak keberatan, asal aku bisa lepas dari perjodohan memuakan itu,” balas Esme yang menatap balik pada si pria dengan tatapan panasnya. *** Persiapan dilakukan secara mendadak, tetapi dengan sedikit bantuan dari ‘ibu peri’ sang pangeran selesai di dandani. Begitu pula dengan sang putri. Kini mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di lobby sebuah hotel mewah bintang lima, tempat dimana pesta yang Esme bicarakan dihelat. Hotel tersebut bergaya abad pertengahan, sangat klasik diantara banyaknya pilihan hotel yang tersedia di Jakarta. Melihat hotel ini sesaat dapat mengingatkan pada penampang kastil-kastil di benua Eropa. Sebelum turun dari mobil, Esme mengulurkan sebuah topeng pada Jhon. “Untuk apa ini?” “Ini adalah pesta topeng, Jhon. Kau harus memakainya.” Esme sendiri memasang topeng miliknya, topeng tersebut berwarna hitam dengan ornament sulur dan bunga berwarna merah yang menutupi nyaris separuh wajahnya. Meski begitu, topeng tersebut tidak cukup menutup kecantikan sebenarnya dari si pemakai. Malah, topeng itu membuat Esme kelihatan jadi lebih elegan, anggun, dan juga misterius. Jhon menyukai tampilan Esme yang seperti ini, lain kali mungkin dia akan menyarankan Esme mengenakan topeng seperti ini dalam sesi intim mereka berdua. Jhon mengulurkan lengan layaknya seorang gentleman. “Mari, Gorgeous,” tutur pria itu berkelakar. Esme sempat mendengus dengan tidak anggun tetapi pada akhirnya dia tetap meraih lengan Jhon. Mereka berdua mulai berjalan menyusuri tangga dalam posisi saling bergandengan tangan. “Apa kau takut, Jhon?” “Ini bukan soal saya takut atau tidak, tetapi saya sedang mempertimbangkan apakah saya layak untuk terlibat dalam masalah hanya karena wanita.” Kedua mata Esme langsung memicing. Dengan impulsive, Esme lantas mengalungkan kedua tangannya dileher Jhon. Hanya sebentar dan sekarang mereka berdua sudah menjadi pusat atensi semua orang. “Kau harus tahu kalau aku bukan sembarangan wanita, aku tahu kalau jauh dilubuk hatimu kau juga menginginkan aku. Kau tidak ingin membagi aku dengan siapapun,” bisik Esme rendah di telinga si pria berambut coklat. “Saya tidak memungkiri hal tersebut. Kamu memang wanita yang istimewa Esme, tetapi situasinya saat ini adalah kamu yang membutuhkan saya.” “Lalu apa yang harus aku perbuat untuk mendapatkan kemurahan hatimu?” “Dance with me,” ujar Jhon dengan suara husky-nya yang khas. Dia kemudian membimbing Esme menuju ke tengah lantai dansa dan beberapa orang dengan otomatis memberikan waktu dan tempat untuk pasangan itu menari bersama. Tanpa mereka sadari, interaksi yang terjadi diantara Esme dan Jhon ternyata tidak lepas dari pantauan sepasang mata gelap yang berkilauan keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD