Esme berbaring di ranjang, dia masih cukup lelah untuk menghadapi hari baru setelah apa yang terjadi semalam. Kedua matanya berkedip, mencoba beradaptasi dengan cahaya pagi yang masuk dari jendela. Erangan keluar dari celah bibirnya yang terbuka sebelum akhirnya memijat pelipisnya sendiri. Dia terlalu banyak minum alkohol, dan itu membuatnya sakit kepala. Bukan tanpa alasan dia minum-minum, toh terlalu banyak kejadian yang bagai mimpi buruk dan membuat Esme ingin keluar dari mimpi buruk itu segera.
Adu mulut dengan Arthur bukan apa-apa buatnya, justru yang membuat Esme tidak suka adalah saat Jhon meninggalkannya dan kemudian ada satu moment dia bertemu lagi dengan Andy dan pria itu hendak memukulnya. Beruntungnya, Jhon datang disaat yang tepat. Bila tidak mungkin Esme sudah terluka lantaran dipukul pria gila itu. Mungkin ini karmanya juga karena terlalu banyak mempermainkan perasaan lelaki, makanya situasinya jadi berbalik begini. Mungkin sebaiknya dia mulai berhati-hati dengan lelaki yang dia pilih nanti. Jangan sampai dia terjebak dengan pria psycho.
Esme melempar selimut yang semula menutupi tubuhnya secara sembarangan. Dengan langkah gontai tempat yang dia tuju pertama kali adalah kamar mandi. Suasana hatinya makin buruk ketika dia melihat dirinya sendiri dari balik pantulan cermin. Kedua matanya sembab, dan mukanya terlihat lusuh. Memang benar Jhon sempat mencoba menghiburnya sebelum kemudian memutuskan pulang, dia juga menyuruhnya tidur dan melupakan semua kejadian buruk itu. Tetapi pria itu tidak berada disisinya, dia malah pergi begitu saja tanpa kata-kata. Membuatnya harus berjuang sendirian mengarungi malam. Dan pagi ini Esme akan berkunjung ke kediamannya, sekadar untuk melihat apa pria itu baik-baik saja.
Esme tidak punya cukup tenaga untuk menyiapkan dirinya sehingga tampak lebih menawan. Dia memilih tampil apa adanya dengan Sweater kebesaran dan celana pendek yang tenggelam dibalik sweaternya. Esme juga melewatkan ritual make up dan langsung saja mengambil sisir untuk mengikat rambut panjangnya asal-asalan. Langsung meraih kunci mobil dan dompetnya sebelum kemudian bergegas menuju ke apartment Jhon.
Dua puluh menit kemudian, Esme tiba dan pria itu membuka pintu untuknya. Dia tampak terkejut akan keberadaan Esme di pagi hari. Itu sebenarnya reaksi normal sebab mereka memang tidak membuat janji temu saat itu.
Esme mengamati Jhon yang kini berdiri diambang pintu. Tanpa sadar dia menggigit bibir bawahnya. Sekarang dia menyesal datang kemari, karena mungkin saja dia akan di cap aneh dan mengganggu aktivitas Jhon. Pria itu pun membuka pintu dengan kondisi bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana tidurnya. Rambutnya yang kini lebih pendek acak-acakan. Jhon tampak tidak senang pula. Bibirnya mengatup membentuk garis lurus dan tajam. Pipi kirinya yang kena pukul sudah mulai terlihat bengkak dan membiru, tentu saja hal itu membuat Esme makin merasa bersalah.
“Oh Tuhan … pipimu—”
“Esme, kenapa kau ada disini? saya tidak memintamu datang,” potong Jhon cepat yang serta merta langsung membuat Esme terdiam.
“Apa aku tidak boleh kemari?”
“Kita tidak punya janji temu,” sahut Jhon cepat.
“Baiklah, kurasa aku memang bertemu disaat yang tidak tepat,” timpal Esme. Dia hendak berbalik pergi sampai tiba-tiba perutnya berbunyi. Memang dia buru-buru kemari jadi tidak sempat memasukan apapun ke dalam perutnya.
Mendengar hal itu Jhon mendesah, lalu dia membuka lebar pintu rumahnya. “Sudahlah, ayo masuk dulu. Saya buatkan sarapan untukmu. Mestinya kamu mengabari saya dulu sebelum mampir, siapa tahu kan saya tidak ada dirumah.”
Alih-alih menjawab, Esme memilih mengikuti Jhon masuk ke dapurnya. Dia meja tampak sudah tersedia roti bakar dan telur yang belum tersentuh. Mungkin Jhon hendak sarapan ketika Esme muncul di depan pintunya.
“Kalau kau mau kopi, kamu bisa ambil sendiri. Kebetulan saya buat banyak.”
Pria itu pun dengan cekatan membuat sarapan untuk satu orang lagi. Sementara Esme mengambil sebuah mug bersih dan mengisinya dengan cairan hitam kental yang sudah tersedia dia atas bar dapur.
“Apa kau punya gula atau krimer?” tanya Esme sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru mencari benda yang dia sebutkan.
“Sayangnya tidak, saya selalu minum kopi hitam jadi tidak ada yang seperti itu di dapur saya. Kalau kamu tidak suka kopi hitam murni kamu bisa tambahkan dengan s**u. Itu ada di kulkas.”
Esme langsung membuka kulkas dan menuangkan cairan putih tersebut ke dalam kopinya. Kopi s**u lebih sesuai dengan seleranya. Dia tidak terlalu suka kopi hitam karena bagi Esme itu terlalu pahit. Setelah s**u ditambahkan ke kopinya, Esme kembali ke meja untuk menikmati sarapan yang sudah dibuatkan Jhon untuknya.
“Esme, kenapa kamu tidak memakai kalung yang saya berikan?”
Esme berhenti mengunyah dan menatap lelaki itu dengan lekat. “Aku kemari bukan untuk seks, Jhon.”
“Ah, I see … tapi, sejujurnya kita tidak punya alasan lain untuk bertemu selain untuk seks.”
Esme mengepalkan tangannya, entah mengapa perkataan Jhon sekarang sedikit mengusik hati dan juga mengganggunya.
“Apa aku tidak boleh jadi temanmu saja? tidakkah kita bisa menikmati hal-hal yang lebih normal berdua, tentu saja diluar konteks hubungan kita sebagai patner ranjang?” tanya Esme mencoba untuk mengutarakan isi hatinya.
Jhon tidak segera menjawab.
Alasannya sangat mudah, sebab pria itu sudah terbiasa sendirian. Satu-satunya teman yang dia punya mati mengenaskan karena dulu pernah mencoba untuk melindunginya dan dia sudah bersumpah untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Dia memang cukup bisa ramah, pandai menyenangkan orang lain, dan menjalin hubungan dengan orang-orang disekitarnya dengan modal itu. Tetapi semua itu terasa artfisial dan hanya membuat dirinya merasa semakin kosong. Orang-orang kebanyakan hanya mengecewakan, dan berharap pada manusia adalah hal yang salah. He never fit in.
Jhon paham bahwa dia adalah orang yang sulit dan berbeda, tetapi terkadang di satu titik dia memang kerap mengharapkan ada seseorang yang mencoba meraihnya. Memahami sosok yang berada di balik topeng yang sudah dia kenakan sehari-hari dan menyebut kepalsuan itu sebagai sebuah kepribadian. Dia tahu rasa kesepian yang sejati, meskipun dia sendiri mengabaikan hal itu supaya bisa bertahan untuk mempertahankan diri. Sebab perasaan itu nyata dan mencekiknya secara perlahan-lahan.
“Terserah kamu saja, tapi jangan memanfaatkan kebaikan saya hanya karena kamu berpikir bahwa kita adalah teman.”
Wajah Esme menjadi sendu seketika. “Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu sampai kau menjadi pribadi yang tertutup dan penuh prasangka seperti ini?”
“Bukankah sudah saya bilang padamu? Saya tidak akan membagi masa lalu saya denganmu. Jadi tolong simpan rasa kasihanmu itu, saya tidak butuh itu. Saya baik-baik saja seperti ini.”
“Apa kau yakin Jhon? Bagaimana bisa kau menutup dirimu begitu lama. Apa kau takut membiarkan seseorang dekat denganmu seperti aku yang saat ini sedang mencoba melakukannya? apa karena itu kau lebih memilih menjadi seorang dominan dan menjadikan aku sebagai objekmu saja karena dengan begitu kau bisa menjaga jarak secara emosional. Kau sengaja melakukan itu agar aku tidak punya kesempatan untuk mendekatimu lebih dari ini.”
“Kamu sudah salah mengartikan. Saya sudah mati rasa dan saya tidak membutuhkan keterikatan untuk membuat hidup yang saya jalani berarti. Memangnya apa yang kamu dapatkan dari saya dengan hubungan sebagai teman?”