Jhon lantas berdiri dari kursinya, mengambil rokok dan pematik untuk kemudian meninggalkan Esme. Dia menuju ke balkon, bersandar pada dinding sambil menatap keluar. Pria itu menyalakan rokok dan menghisap benda beracun itu dalam-dalam. Jhon sebetulnya bukan seorang perokok ulung, tetapi disaat-saat tertentu dia membutuhkan nikotin yang pekat untuk menenangkannya.
Jhon sebenarnya enggan mengaku bahwa wanita yang menemuinya pagi ini sudah menggerakan sesuatu jauh di dalam dirinya. Ya, sebetulnya Jhon memiliki sebuah hasrat terpendam padanya. Dia menginginkan Esme lebih dari sekadar menjadi pemenuh kebutuhan fisik dan seksualitas tetapi disaat yang bersamaan dia menjadi sangat takut untuk lebih dekat dengan Esme. Perkataan Andy, malam itu cukup mengganggunya dan dia juga tidak mau merasakan pengalaman yang serupa dengan lelaki berdarah panas itu. Karena bila Esme mengecewakannya, Jhon rasa dia tidak akan sanggup untuk menanggungnya.
Melihat Jhon kembali menjauhinya, Esme memutuskan untuk menyusul pria itu dan berdiri di belakangnya. Menatap sang pria yang tampak menikmati kesendirian dengan sebatang rokok di tangan. Tanpa aba-aba, Esme merentangkan tangan dan merengkuh pria yang membelakanginya itu dalam sebuah pelukan. Jhon tersentak, rokok yang sedang dia nikmati terjatuh dari jepitan jemarinya.
“E—Esme?”
“Jhon, sekali saja tolong bukalah hatimu padaku. Apa aku sudah mengecewakanmu sebagai patner? Aku rasa aku tidak melakukan kesalahan apapun saat bersamamu. Jadi, percayalah bahwa aku bisa menjadi teman untukmu. Aku tidak akan membuatmu kecewa,” bisik wanita itu dengan sendu.
Sejujurnya Jhon cukup terkejut. Ini kali pertama ada seseorang memeluknya di luar dorongan nafsu. Kehangatan yang terpancar dari tubuh wanita ini membuat hati yang Jhon lindungi mulai mencair sedikit demi sedikit. Alarm berbunyi di kepala, Jhon tahu bahwa saat itu dia harusnya langsung mendorong Esme menjauh sebelum wanita itu betul-betul menghancurkan dinding tebal yang telah dia bangun sekian lama untuk melindungi apa yang tersisa di dalam dirinya. Namun Jhon nyatanya tidak bisa. Esme terdengar tulus, wanita itu tidak meminta apa-apa sebagai balasan dari penawarannya. Apakah sebuah keputusan yang benar buatnya untuk mempercayai perempuan ini? mengingat rumor yang mengikutinya, mengingat seberapa banyak hati pria yang telah berhasil dia remukan?
“Kenapa kamu berbuat sejauh ini? kenapa harus saya?” Suara Jhon terdengar agak bergetar. Emosi yang dia tekan saat ini tiba-tiba saja merangsek meminta untuk dikeluarkan.
“Kau mungkin tidak akan percaya dan menganggapku mengada-ngada. Tapi jauh dari yang kau kira, sebenarnya kita ini sama. Aku juga orang yang kesepian dan aku yakin bahwa kita bisa saling mengisi satu sama lain.”
Kini Jhon melepaskan pelukan wanita itu padanya dan memutuskan untuk berbalik. Mereka saling pandang untuk beberapa saat. Jhon bisa melihat adanya kebenaran yang tersimpan di kedua mata kelam Esme. Wanita yang tampak kuat dan bersinar ini ternyata juga menyimpan luka dan kerapuhan dibalik arogansinya yang selalu menyala setiap saat.
Esme sendiri tidak membayangkan bahwa dia bisa mengakui sisi rapuhnya secepat ini kepada Jhon. Dia tidak pernah merasa begitu telanjang secara metafora di depan orang lain. Baginya sangat memalukan untuk mengakui kelemahan dan kesepian saat banyak orang mengelilingi dan memujanya. Tetapi Esme merasa bahwa Jhon tidak akan mencibirnya lantaran pria itu juga tahu betul apa artinya hidup bersama orang-orang disekeliling dengan baik tetapi tidak memiliki ikatan yang pasti, atau hubungan yang berarti.
Tanpa diduga, Jhon menyentuh bibir Esme dengan bibirnya sendiri. Bibir wanita itu kontan sedikit membuka dan gemetaran tatkala menerima kecupan yang begitu lembut. Seolah-olah Jhon hendak menghapus seluruh ketakutan dan kemuraman yang Esme tutupi jauh di dalam dirinya. Esme menyembunyikan dirinya yang rapuh dan rentan, tetapi dengan sangat mudah Jhon menemukan rahasia itu.
Ciuman yang dia berikan berlangsung singkat tetapi meninggalkan bekas yang mendalam pada kesadaran mereka berdua. Esme menyentuh sisi wajah Jhon yang membiru gara-gara ulah si b******k padanya semalam.
“Terima kasih sudah melindungi dari Andy semalam, Jhon.”
Jhon menutupi tangan Esme yang berada di pipinya dengan tangannya yang jauh lebih besar kemudian menggenggam tangan sang nona yang jauh lebih kecil darinya. Menyentuhnya dengan erat.
“Pria harus melindungi wanita, bukan menyakitinya saat sedang emosi,” kata Jhon yang membuat Esme terkekeh.
“Lalu apa yang kau lakukan saat sesi b**m, Jhon?” Esme menaikan sebelah alisnya.
“Itu tidak bisa dikatakan sebagai saya menyakitimu karena emosi. Ketika saya memperlakukanmu demikian itu terjadi atas persetujuanmu sebelumnya. Lagipula kamu menginginkannya. Kamu jadi jauh lebih b*******h saat saya mengikatmu.”
“Kau benar,” sahut Esme dan kembali dia mendekatkan kepalanya untuk memastikan dia berada dalam dekapan d**a telanjang Jhon. Merasa begitu dekat dan Esme dengan mudahnya ada sesuatu yang memanas di dalam dirinya. Kata-kata yang Jhon ucapkan memancing sesuatu yang liar di dalam kepalanya. “Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang, Jhon?” bisik Esme di telinga pria itu dengan sedikit merayu.
Jhon menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman simpul sebelum mengelus puncak kepala Esme. “Sayang sekali, meskipun saya sangat ingin mengikatmu di tempat tidur dan melakukan hal yang sedang kau fantasikan di kepalamu. Saya harus pergi sekarang. Saya sudah punya janji dan saya tidak ingin membuat mereka kecewa dengan membatalkannya secara mendadak.”
Esme kini hanya bisa diam, dia berusaha untuk menelan kekecewaannya. Fantasi yang luar biasa tergambar di kepala secara perlahan memudar dan mulai menghilang. Tetapi sisi yang lain justru muncul kepermukaan. Dibalik tertolaknya dia di kesempatan kali ini, Esme justru mungkin bisa menghabiskan waktu dengan hal lain guna mengenal sisi lain seorang Jhon sebagai seorang teman. Bukan Jhon sang dominan.
“Boleh aku ikut?”
“Boleh saja, tapi itu bukan tempat yang kau akan sukai. Kamu mungkin tidak akan betah berlama-lama disana,” ujar Jhon mengingatkan.
Jhon hanya tidak ingin Esme terpaksa datang kesana, terlebih tempat itu memang tidak cocok untuk didatangi oleh Esme.
“Kau terlalu judgemental, Jhon,” sahut Esme.
Jhon menyeringai. “Saya tidak bisa menahan diri untuk itu, kau kan dibesarkan dengan kasih sayang dan uang yang berlimpah. Tentu saja tuan putri manja akan terkejut saat diajak ketempat yang tidak biasa dia pijak.”
“Oh, Shut up Jhon!”
“Kamu masih ingat isi kontrak kita kan?” tanya Jhon tiba-tiba.
Esme langsung menganggukan kepala. “Tentu.”
“Saya mau menggunakannya sekarang.”
Esme mendadak disapu oleh berbagai macam pertanyaan di dalam benak. Dia bertanya-tanya tentang apa yang sedang pria itu rencanakan. Apalagi dari pemaparannya tentang tempat yang dia bilang tidak akan disukai Esme membuat dia makin penasaran. Terlebih dia bilang punya janji dengan ‘mereka’, sebenarnya orang-orang macam apa yang punya janji temu dengan Jhon? Apakah semacam club yang isinya para penyuka b**m?
Jantung Esme berdebar-debar, sejujurnya dia sangat gugup sekarang. “Ayo berangkat sekarang.”