Who Are You?

1066 Words
Perjalanan diisi dengan lebih banyak keheningan, untungnya tidak ada kemacetan yang membuat mereka perlu terjebak di jalanan. Tetapi begitu melewati sebuah supermarket, Jhon meminta diturunkan disana. “Kau yakin ingin tetap ikut?” tanya Jhon yang tentu saja makin membuat Esme dibuat penasaran. “Tentu saja, aku ingin tahu tempat macam apa yang membuatmu tidak tergoyahkan dengan godaanku. Juga orang seperti apa yang akan kau temui.” Tolak Esme bersikeras ingin mengantar pria itu sampai tempat tujuannya. “Baiklah, saya hanya akan mengatakan ini sekali. Jika sudah tiba disana jangan merengek untuk pulang, oke?” “Fine, aku tidak akan melakukan hal itu.” Jhon menganggukan kepala lalu dia mulai melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Esme hendak melakukan hal yang sama, tapi pria itu mencegahnya. “Tunggu saja di mobil. Ini tidak akan lama.” Gerak gerik Jhon sangat mencurigakan, sungguh. Esme betul-betul dibuat mati penasaran dengan apa yang sedang direncanakan oleh pria itu. Tetapi karena Jhon sudah berpesan untuk tidak meninggalkan mobil, Esme menurut dan membiarkan pria itu menghabiskan waktu di dalam sana untuk membeli beberapa keperluan untuk pertemuannya. Esme sebenarnya hendak menyusul tetapi dia menguatkan diri untuk tetap berada diposisinya. Mencoba untuk bersabar sedikit. Untungnya hanya perlu sekitar kurang lebih setengah jam, akhirnya Jhon kembali dengan tangan yang sudah penuh dengan barang belanjaan. “Kamu benar-benar menunggu rupanya, padahal saya sudah cukup lama meninggalkanmu. Kamu cukup sabar, saya apresiasi hal itu,” kata Jhon ketika pria itu masuk ke dalam mobil dan menyimpan barang yang dia beli di jok belakang. “Aku tidak bisa berhenti ditengah-tengah. Sudahlah cepat masuk, tingkahmu benar-benar membuatku mati penasaran. Aku ingin pastikan sendiri tempat yang mau kau tuju.” Jhon terlihat sedikit gelisah ketika mobil kembali melaju di jalanan kota, tampak ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu-ragu. Hal itu jelas diketahui oleh Esme yang peka dengan lawan bicaranya. “Ada apa? Katakan saja.” “Belok kanan di pertigaan,” jelas Jhon. Untuk sesaat Esme melirik kearah kantong belanjaan pria itu. Dari ekor matanya dia melihat banyak sekali makanan dan kebutuhan rumah tangga terbungkus di kantong belanjaan sang pria. “Kalau boleh aku tahu, untuk apa kau membeli bahan makanan sebanyak itu?” Menyadari Esme melirik kantong belanjaannya, Jhon hanya tersenyum kecil. “Ini bukan punya saya, ini milik orang yang punya janji dengan saya. Itu sebabnya saya berkali-kali bilang kamu mungkin tidak akan suka ada disana.” Esme bungkam. Kini beragam pertanyaan baru muncul dikepala. Mulai dari apakah itu untuk keluarganya? Ataukah itu untuk istri dan anaknya? Semua benar-benar memusingkan. Jika benar salah satu diantara keduanya. Esme benar-benar tidak siap menghadapi mereka. Sepertinya ini bukan ranahnya lagi, apalagi mengingat status hubungan mereka. Karena itulah Esme memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut dan kembali melanjutkan perjalanan dipandu oleh Jhon yang sesekali memberikan arahan kepada sang nona. Jalanan yang mereka lewati mulai menyempit, situasi disekitar pun juga berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kawasan kota yang serba elit. Ini lebih seperti daerah pinggiran yang begitu semraut dan juga kumuh. Udara yang tercium juga berbau tidak sedap karena lokasinya tidak jauh dengan tempat pembuangan akhir sampah. ‘Apa yang mau Jhon lakukan ditempat kumuh begini?’ sisi dalam dirinya berbisik, mempertanyakan apa yang hendak si pria lakukan. Tetapi Esme menahan diri untuk tidak bertanya walau dia sebetulnya bingung dan sangat ingin tahu. Esme memarkirkan mobilnya dan turun mengikuti si pria berambut coklat di satu titik yang paling luas di tempat itu. Sebetulnya Jhon tidak menyuruhnya diam saja atau pun mengikuti. Namun dalam hal ini, Esme berinisiatif sendiri karena sejujurnya dia cukup penasaran dengan apa yang hendak pria misterius itu lakukan ditempat seperti ini. Mereka berjalan melewati gang sempit dan jorok. Dan langkah mereka kemudian terhenti di sebuah bangunan yang sangat tidak layak huni. Esme sejujurnya jijik dengan udara yang bau, dan suasana sekitar yang kotor. Tikus-tikus beberapa kali merayap dibawah sepatunya, pun juga dengan jalanan yang becek bau got menambah nilai minus dari wanita itu. Sampah dimana-mana dengan bangunan yang nyaris rubuh. Dia tidak pernah secara langsung melihat hal seperti ini. Ya, karena dia dibesarkan sebagai sang putri tunggal pewaris kekayaan, tentu saja ini jadi lebih seperti fenomena buatnya. “Hallo,” ujar Jhon berteriak. Tidak lama seorang remaja keluar dari bangunan yang gelap. Dia terlihat sangat lusuh, dengan pakaian yang robek di beberapa bagian. “Paman, akhirnya kamu datang. Kami sudah menunggumu.” Selang beberapa lama, anak-anak yang lebih kecil juga muncul dengan ekspresi yang girang. Kondisi mereka terlihat memperihatinkan, tetapi yang Esme herankan adalah mereka terlihat sumringah meskipun keadaan mereka jauh dari kata layak. “Apa yang Paman bawa hari ini?” tanya seorang bocah laki-laki kira-kira berusia tujuh tahunan sambil memandangi tas belanjaan yang ada ditangan kanan Jhon. Jhon segera menyerahkan bungkusan yang menarik perhatian anak itu dengan sukarela. “Aku bawakan makanan untuk kalian, maaf ya tidak begitu banyak.” “Hore!!” teriak anak-anak yang lainnya dengan lantang dan gembira. “Terima kasih Paman,” ujar mereka lagi berbarengan. “Oh ya Paman, apa hari ini Paman mau mengajari kami membaca lagi?” tanya si anak yang paling besar. “Maaf, hari ini aku hanya mampir sebentar saja.” Saat itulah mereka baru menyadari kehadiran Esme yang berdiri tidak jauh dari Jhon, wanita itu memperhatikan gerak-gerik sang pria yang bercengkrama dengan anak-anak jalanan. Wanita itu tampak terlihat tidak nyaman dengan keadaan sekitar, apalagi melihat dari cara berpakaian dan juga apa yang dia kenakan. Dia memang tidak cocok berada di lingkungan seperti ini. “Wah… Paman bawa pacar ya? Pacar paman sangat cantik,” komentar seorang bocah perempuan dengan boneka dipelukannya. Pipi Esme langsung bersemu merah mendengar pujian tulus nan jujur dari gadis cilik itu. Dia kemudian memperlihatkan senyuman manis kepada mereka yang terlihat ceria, walau dalam kondisi yang memprihatinkan. Jhon melirik sebentara kearah Esme sebelum kemudian berdiri untuk mengucapkan salam perpisahan kepada anak-anak. “Ah, Paman pulang dulu ya. Minggu depan paman janji akan datang berkunjung lagi,” ujar Jhon sambil tersenyum dan mengelus puncak kepala mereka satu persatu. “Oke, Paman. Jangan lupa bawakan kami makanan lagi ya,” sahut yang paling besar. Mereka melambaikan tangan untuk mengiri langkah Jhon dan Esme yang meninggalkan tempat itu. Itu memang sebuah perjalanan singkat, tetapi Esme mendapati sesuatu yang tidak terduga dari si pria. Entah karena dia memang tulus, atau sedang cari muka. Tetapi kalau dilihat dari gelagat anak-anak yang ada disana sepertinya mereka memang sudah sering bercengkrama. Mulai dari sini, Esme bertanya-tanya sebenarnya siapa Jhon ini sebenarnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD