Setelah melihat-lihat apartemen bersama Nicholas, Fheli memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Memasuki ruangan, ternyata ada Adhelia yang sedang menjenguk sang ibu.
Di mata Fheli tampak sekali sahabatnya itu tengah asyik berbincang. Entah topik apa yang keduanya bahas. Yang pasti, sang ibu terlihat begitu nyaman dan menikmati.
"Akhirnya kamu pulang juga. Gimana? Semua urusan udah beres?" sapa Adhel saat melihat sosok Fhelicia yang baru saja datang.
"Udah. Btw, kamu sejak kapan ada di sini? Kok nggak kabar-kabarin dulu mau jenguk hari ini? Ku pikir, kamu tanya soal ruangan karena pengen jenguknya besok-besok."
Adhel tersenyum. Gadis itu kembali menanggapi.
"Kamu gimana, sih. Kan hari ini jadwal kita off kerja. Dari pada nunggu minggu depan, mending aku jenguk Tante Amanda hari ini aja."
"Terus, sekarang udah puas ngobrol sama Mama aku?" tanya Fheli seraya berjalan mendekati tempat tidur.
"Puas banget," angguk Adhel. "Aku bahkan tadi juga udah temenin tante Amanda makan segala macam."
Fheli tersenyum. Gadis itu lantas melempar tatapan ke arah sang ibu.
"Mama udah minum obat?"
Amanda mengangguk pelan.
"Udah. Tadi dibantu sama perawat."
"Karena semuanya udah dilakuin, sekarang waktunya Mama istirahat. Nanti, Fheli izin keluar lagi buat ambil beberapa pakaian di rumah. Selama Fheli nggak ada, nanti ada perawat yang bakal temenin Mama sebentar."
Amanda mengangguk patuh. Tidak membantah apa yang Fhelicia pinta dan sampaikan padanya barusan.
Setelah sang putri membantu memperbaiki posisi tubuhnya agar, Amanda lantas pelan-pelan mulai memejamkan mata. Lagi pula, obat yang ia minum sebelumnya memang memiliki efek kantuk. Hal ini yang membuatnya sedari tadi menguap tanpa hentiz
Sementara sang ibu mulai beristirahat, Fhelicia lantas mengajak Adhel untuk berbincang di luar ruangan. Ia yakin, pasti ada yang sahabatnya itu ingin bicarakan kepadanya.
"Fheli, kamu hutang penjelasan sama aku," ucap Adhel saat keduanya sudah duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan Amanda.
Fhelicia menghela napas pelan. Sebenarnya, ia sudah mengantisipasi hal ini. Yakin saja tujuan lain dari kedatangan sahabatnya itu ke rumah sakit karena ingin mengkonfirmasi sesuatu.
"Mau tanya soal apa? Soal Rayden? Atau soal yang mana?"
"Ya itu, soal Rayden," balas Adhel sambil mengangguk berulang kali. Telunjuknya terarah tepat ke wajah Fhelicia. "Kamu harus jelasin apa maksud dari kedatangan Rayden kemarin di kampus dan soal berita yang nyebutin kalau kamu dan dia selama ini ternyata pacaran diam-diam. Ini sebenarnya ada apa, Fhe? Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?"
Lagi, Fhelicia menarik napas dalam-dalam. Gadis cantik itu bingung sendiri mau menjelaskan dari bagian mana dulu kepada Adhelia. Ia tahu, pasti sahabatnya itu akan mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
"Ceritanya panjang, Dhel. Aku aja bingung mau cerita dari mana."
"Persingkat aja, Fheli. Nggak usah bertele-tele. Langsung cerita ke intinya aja," kata Adhel kemudian. Ia gemas sendiri melihat Fhelicia yang masih enggan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. "Oh, ayolah, Fheli. Buruan cerita sama aku apa yang sebenarnya terjadi," kejar gadis itu kala melihat Fhelicia yang bukannya bercerita malah tampak bergeming diam di posisinya.
"Kamu ingat soal perkelahian di Bar beberapa malam lalu, kan? Soal aku yang bantuin Rayden saat diganggu sama salah satu wartawan?"
Adhel mengangguk. Ia tentu ingat kejadian saat itu.
"Iya. Mana mungkin juga aku lupa. Emangnya kenapa?"
"Semuanya berawal dari peristiwa itu, Dhel."
Adhel menarik wajahnya dalam. Kening wanita itu berkering sanking bingungnya dengan apa yang baru saja Fhelicia sampaikan.
"Maksud kamu?"
"Jadi, setelah melihat aku yang bisa bela diri, Nicholas atau manager nya si Rayden ngajak aku untuk kerja sama. Kan, kita berdua sama-sama tau soal Rayden yang terlibat skandal sama Valeria Tan."
Adhel kembali mengangguk.
"Terus? Hubungannya skandal Rayden sama kamu itu apa?"
"Dengerin dulu!"
"Oke, bawel. Lanjutin."
"Dengan alasan yang katanya aku jago bela diri, si Nicholas ini kepikiran buat minta tolong sama aku untuk pura-pura jadi pacarnya Rayden selama beberapa bulan. Bahkan, aku dijanjikan akan dikasih uang dengan nominal yang sesuai kalau setuju. Hal ini sengaja dilakukan manajemen Rayden untuk menghalau berita skandal yang lagi merebak di masyarakat."
"Terus, kamu terima tawaran itu?"
Fhelicia lantas menggeleng. Sebenarnya ia tidak membual. Awalnya, Fhelicia juga tidak setuju dengan tawaran yang sangat menggiurkan tersebut. Walaupun begitu mengidolakan Rayden, malas saja sebenarnya kalau harus melakukan kebohongan di depan publik. Beda cerita kalau Rayden ingin menjadikannya kekasih sungguhan. Mungkin, tanpa perlu berpikir lama, Fheli akan langsung setuju.
"Sebenarnya aku udah tolak secara baik-baik tawaran itu ----"
"Pasti ada tapinya, kan?" potong Adhel seakan dapat menebak apa yang akan Fhelicia sampaikan kepadanya setelah ini.
"Iya. Sayangnya, di malam yang sama waktu pulang ke rumah, Mama tiba-tiba anfal. Saat dibawa ke rumah sakit, dokter udah mewajibkan Mama untuk segera menjalani operasi kalau mau bertahan hidup lebih lama. Dan, ya, seperti yang kamu duga. Biaya operasi sudah diprediksi bakal selangit. Karena nggak punya siapa-siapa dan nggak tau mau pinjam uang ke mana mengingat nominalnya yang nggak sedikit, mau nggak mau pada akhirnya aku terima tawaran managernya Rayden."
Adhel tampak mendengarkan dengan seksama. Memerhatikan serta menatap lekat wajah Fhelicia yang begitu serius dan hati-hati menceritakan seluruh kronologi atas kejadian yang baru-baru ini gadis itu jalani.
"Terus, setelah kamu terima tawaran itu, dapat kompensasi berapa banyak dari mereka?" selidik Adhel ingin tahu. Penasaran juga berapa pihak Rayden memberi Fhelicia komisi atas kerja sama yang terjalin.
"500 juta untuk jadi pacar pura-pura selama enam bulan."
"GILAAA!" seru Adhel dengan suara terdengar nyaring. Beberapa detik setelahnya, gadis itu refleks menutup mulut dengan telapak tangannya sendiri. Melirik kanan kiri, baru kemudian berbicara dengan nada berbisik. "Rayden kasih kamu 500 juta? Ini namanya dapat durian runtuh dong, Fhe. Bayangin aja, udah jadi pacar pura-pura, eh dapat duit banyak pula."
"Ah, entahlah," desah Fheli dengan nada suara terdengar malas. Seolah lelah memberi penjelasan kepada sahabatnya itu. "Kalau kamu tau, Rayden bahkan pinjamin aku apartemen selama jadi pacar pura-puranya. Bukan itu aja. Dia juga minta aku buat berhenti kerja sementara waktu. Dan seluruh uang gaji yang harusnya aku dapat setiap bulan, dia ganti dan akumulasikan sampai enam bulan ke depan."
Pupil mata Adhel nampak melebar mendengar apa yang Fhelicia sampaikan barusan. Ia pikir, kejadian-kejadian random seperti ini hanya ada di sintetron atau ftv. Rupa-rupanya bisa juga terjadi di kehidupan nyata dan bahkan dialami oleh sahabatnya sendiri.
"Astaga, Fheli, ini sih namanya rejeki nomplok. Udah dapat pacar pura-pura yang ganteng. Dikasih fasilitas apartemen walaupun sementara. Eh, dapat duit banyak pula. Kalau gini ceritanya, aku juga mau."
"Dasar mata duitan," decak Fheli lalu mencebikkan bibirnya. "Asal tau aja, sekarang aku malah lagi bingung sendiri, gimana cara jelasinnya ke Mama. Dari awal, aku udah cerita seluruh biaya operasi dan pengobatan dapat minjam sama pak Andrew. Sedang nanti, waktunya keluar dari rumah sakit, aku mau nggak mau harus bawa Mama untuk segera pindah ke apartemen yang udah Rayden kasih. Nggak mungkin juga kalau aku tinggalin Mama sendirian di rumah kontrakan lama."
Adhel mengangguk paham. Ia turut merasakan kegundahan hati yang saat ini tengah Fhelicia alami. Adhel yakin saja, pasti Amanda akan berpikiran macam-macam kalau sepulang dari rumah sakit, bukannya dibawa pulang ke kontrakan lama, Fheli malah membawa Amanda ke apartemen yang sudah Rayden siapkan untuk sementara waktu.
"Nggak ada cara efektik selain menceritakan yang sejujurnya sama Tante Amanda."
"Itu sama aja bunuh diri, Dhel. Yang ada, Mama bakal ceramah tujuh hari tujuh malam."
"Nggak bakal," geleng Adhel sambil terus menenangkan. "Aku yakin kalau kamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Tante Amanda pasti bisa ngertiin posisi kamu. Lagi pula, udah nggak ada cara lain. Mending jujur sekalian ketimbang terus-terusan bohong. Nanti yang ada kamu malah kualat."
Fheli menarik napas dalam-dalam. Menimbang baik-baik usulan yang baru saja Adhel sampaikan. Kalau dipikir-pikir, dari pada pusing cari alasan terus menerus yang jatuhnya malah bohong, ada baiknya ia menceritakan kepada sang ibu secara jujur apa yang sebenarnya terjadi baru-baru ini.
"Aku bakal coba saranmu, Dhel. Nanti, kalau kondisi Mama udah jauh lebih baik dan stabil, aku bakal pelan-pelan kasih tau dan jelasin semuanya."
Adhel mengangguk setuju. Sedikit lega setelah melihat Fhelicia yang tadinya terlihat sekali kusut, kini berubah lebih santai den sedikit cerita.
"Tapi, omong-omong ... " lanjut Adhel berbicara. "Ini fix kamu berhenti kerja di Bar, dong?"
"Iya, Dhel," angguk Fhelicia. "Per hari ini, aku udah resign dari Magnolia. Tapi, begitu urusanku dengan Rayden selesai, mungkin aku bakal balik untuk kerja di sana."
"Apa pun itu keputusanmu asalkan baik, aku pasti bakal dukung, Fhe."
Merasa sudah menceritakan semua yang mengganjal di hatinya, Fhelicia lantas bangkit dari duduk. Menoleh ke arah Adhel, gadis itu memberikan kode sembari mengajak berbicara.
"Karena udah tau cerita yang sebenarnya, sekarang kamu ikut aku ke rumah buat kemasin beberapa pakaian. Terus, selanjutnya kita pergi sama-sama ke apartemen baru yang Rayden kasih pinjam ke aku."
Adhel mengangguk setuju. Gadis itu tak lama setelahnya ikut bangkit dari duduk. Mengekor ke mana Fhelicia melangkah, membawanya pergi.
***
Rayden mengempaskan tubuhnya yang lelah di sofa ruang televisi. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja pulang dari lokasi syuting.
Sambil membuka satu per satu kancing kemeja yang menutupi tubuhnya, terdengar suara bel menggema dari arah pintu. Menggeram malas, pria itu lantas bangkit. Detik kemudian menyeret kakinya dengan malas menuju pintu utama. Begitu dibuka, Rayden mendapati sosok Valeria di sana.
Tanpa dipersilakan, wanita yang nasih cantik diumurnya yang sudah kepala empat itu langsung menerobos masuk. Berjalan ke arah ruang tengah, lalu setelahnya duduk di sofa depan televisi.
"Rayden, apa maksud semua pemberitaan hari ini? Kamu bahkan nggak angkat satu pun telponku dari semalam."
Rayden ikut menyusul duduk. Mendekati Valeria, lalu memberikan penjelasan.
"Ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Terus apa? Yang terjadi sebenarnya apa? Jangan coba-coba mempermainkan aku, Rayden!"
"Sayang ... " panggil Rayden dengan lembut. "Jangan marah-marah dulu. Sudah aku bilang, ini nggak seperti yang kamu bayangkan. Soal pemberitaan yang lagi rame di media, itu semua settingan yang udah diatur sama Nicholas."
Valeria terkesiap. Menautkan kedua belah alisnya, wanita itu meminta penjelasan lebih dari pacar berondongnya tersebut.
"Settingan gimana maksud kamu?"
"Ya, soal berita yang kamu dengar hari ini, itu semua udah diatur Nicholas. Dia sengaja lakukan ini semua untuk mematahkan pemberitaan skandal di antara kita berdua yang sempat merebak."
"Jadi, perempuan itu bukan pacar kamu?"
Rayden malah terdengar tertawa lalu menggelengkan kepala. Ia yakin kekasihnya itu sedang cemburu berat saat ini.
"Bukan sama sekali. Lagi pula, pacar aku cuma kamu, kan? Wanita yang aku suka dan cinta juga kamu seorang."
"Dasar gombal," decak Valeria.
"Aku serius, sayang. Jadi, Nicholas yang atur soal pacar settingan ini. Kamu nggak perlu cemburu, marah, atau kesal. Ini semua nggak lebih dari pura-pura."
"Kamu janji nggak bakal macam-macam?"
Rayden lantas mengangguk berkali-kali. Berusaha meyakinkan sang kekasih kalau di dunia ini tidak ada wanita lain yang ia cinta selain Valeria Tan.
"Aku nggak bakal macam-macam di belakang kamu."
Valeria tersenyum senang. Merapatkan tubuhnya, detik kemudian wanita itu mengalungkan kedua tangannya pada tengkuk leher sang kekasih. Memajukan wajah. Bermaksud untuk melabuhkan ciuman di bibir Rayden.
Namun, belum lagi sempat niatan itu terealisasi, pintu apartemen Rayden terdengar di ketuk berkali-kali. Bahkan, semakin lama terdengar semakin nyaring.
Merasa terganggu, dengan kesal Rayden bangkit. Begitu membuka pintu, ia mendapati sosok gadis yang begitu familiar di matanya.
"Fhelicia, mau ngapain kamu malam-malam ke sini?"