Seperti apa yang perawat katakan kemarin, pagi ini Amanda Sharon atau ibunda Fhelicia pada akhirnya siuman setelah hampir 48 jam tidak sadarkan diri. Mengetahui sang ibu yang pelan-pelan mulai membuka mata, Fheli dengan tergesa langsung memanggil perawat jaga untuk melakukan pengecekan sekaligus pemeriksaan.
Menunggu sekitar 10 menit di luar ruangan, para petugas medis akhirnya memanggil lalu memperbolehkan Fheli untuk kembali masuk. Di atas tempat tidur, ia dapat melihat bagaimana sang ibu yang sudah 100% sadar dari tidur bahkan melambai ke arahnya.
"Ma ... " panggil Fheli sambil meraih pergelangan tangan sang ibu lalu menciuminya berkali-kali. "Fheli khawatir sama keadaan Mama. Syukur operasinya berjalan lancar."
Amanda mengangguk. Dengan sisa tenaga yang ada, wanita itu berusaha tersenyum. Menunjukkan sisi kuat kepada sang putri agar tidak terus khawatir dengan keadaannya saat ini.
"Perasaan Mama juga lebih enakan."
"Kata dokter, setelah menjalani operasi, umur jantung Mama bakal bertambah lama. Dan setelah ini, Mama nggak bakal ngerasain nyeri atau tiba-tiba anfal lagi seperti sebelumnya."
Amanda tersenyum. Jujur, ia turut merasa lega mendengar apa yang baru saja putrinya sampaikan.
"Makasih banyak ya, Fheli. Kamu harus kesusahan karena harus cari biaya operasi Mama."
"Nggak perlu gitu, Ma," sahut Fhelicia segera. "Apa pun itu, pasti bakal Fheli lakukan untuk kesembuhan Mama."
"Terus, kapan Mama bisa keluar dari rumah sakit?"
"Ma ... Mama bahkan baru aja sadar. Nggak mungkin saat ini juga pulang ke rumah. Paling nggak harus menjalani perawatan terlebih dahulu sekitar dua atau sampai tiga hari ke depan sampai kondisi Mama benar-benar stabil."
"Tapi kalau lama-lama di rumah sakit, biayanya pasti mahal, Fhe. Mama nggak mau biayanya makin membengkak. Mending uangnya dialokasikan untuk keperluan yang lain."
Fhelicia mengembuskan napas pelan. Ia paham dengan kekhawatiran yang sedang ibunya rasakan. Hidup di keluarga yang serba kekurangan membuat mereka setiap harinya harus memutar otak agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi Amanda hanya penjual kue. Sebagian besar penghasilannya dikumpulkan untuk membayar sewa rumah dan kebutuhan makan setiap harinya.
Beruntung Fhelicia juga bekerja di Bar. Maka penghasilan putrinya itu bisa ditabung untuk membayar kuliah berikut segala macam keperluan yang menyertainya.
"Mama tenang aja. Uang yang Fheli pegang masih cukup untuk Mama tinggal di rumah sakit sampai empat hari ke depan."
Memastikan kondisi sang ibu yang mulai berangsur normal, Fheli memutuskan untuk pergi keluar setelah Amanda kembali beristirahat. Seperti yang diperintahkan Rayden semalam, hari ini ia harus pergi ke Bar untuk mengurus segera perihal pengunduran diri yang mau tidak mau ia lakukan.
Anthony, manager Bar yang selama ini memang selalu bersikap baik padanya sempat merasa heran. Bingung saja dengan keputusan Fhelicia yang dinilainya begitu tiba-tiba.
"Kamu yakin mau berhenti? Apa gaji yang dikasih Magnola kurang? Kalau iya, saya bisa bantu buat rekomendasikan kenaikan gaji kamu," tawar Anthony dengan mimik wajah serius. Sebagai pekerja yang baik dan disiplin, tentu ia akan merasa sangat kehilangan kalau Fhelicia sampai mengundurkan diri dari Magnolia Bar yang saat ini ia pimpin.
"Seperti yang Pak Anthony tau, Mama saya lagi sakit keras, Pak. Setelah operasi kemarin, kondisinya belum stabil benar. Itu sebabnya, saya harus fokus jagain beliau sampai pulih."
"Tapi, ketimbang berhenti, kamu kan bisa ajukan cuti."
"Tetap aja nggak bisa lama-lama, Pak," sanggah Fhelicia. Setahunya, cuti pun maksimal diberikan pihak Bar hanya tiga hari berturut-turut kepada pekerja yang mengalami sakit atau keadaan darurat lainnya.
"Tenang aja. Nanti saya bantu ajukan cutinya. Kamu mau berapa lama? Seminggu? Atau dua minggu? Yang penting jangan berhenti," tawar Anthony sekali lagi. Susah payah pria itu berusaha untuk menahan Fhelicia agar tidak benar-benar mengundurkan diri.
Namun, tekad Fhelicia sudah sangat bulat. Ketimbang melanggar permintaan Rayden dan nantinya malah mengganti rugi sampai ratusan juta, lebih baik ia berhenti sementara waktu.
Toh gajinya juga diganti oleh pria itu. Paling tidak setelah kontrak dengan Rayden berhenti, Fheli masih punya simpanan uang untuk bertahan hidup sambil mencari pekerjaan baru.
"Pak Anthony, saya berterima kasih banyak atas tawaran dan bantuan yang bapak berikan. Tapi, mohon maaf sekali lagi. Keputusan saya sudah bulat untuk berhenti sementara waktu."
Anthony mengembuskan napas panjang. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untuk menahan Fhelicia agar tidak angkat kaki dari Bar yang ia kelola.
"Ya sudah kalau itu sudah jadi keputusanmu. Sebentar saya kasih gaji terakhir berikut pesangon yang bisa kamu dapatkan, Fheli."
Fhelicia mengangguk lega. Sambil menunggu Anthony menyiapkan uang gaji dan pesangon, ia tampak sesekali mengecek ponsel. Khawatir kalau Nicholas tiba-tiba menghubunginya.
"Ini gaji dan pesangon punyamu," ucap Anthony sembari menyerahkan selembar amplop cokelat kepada Fhelicia.
"Terima kasih banyak, Pak. Sekalian saya mau balikin seragam Bar juga."
Baru saja Fheli hendak meraih papper bag cokelat berisikan 2 pasang seragam yang selama ini ia pakai untuk bekerja, buru-buru Anthony menggeleng sambil menahan tangan gadis mungil itu.
"Nggak perlu dibalikin, Fheli," tolak Anthony. "Seragamnya kamu simpan aja. Kalau nanti kondisi Mamamu sudah jauh lebih baik dan kamu mau kembali bergabung di Magnolia, silakan datang. Saya dengan senang hati menerima kamu kembali di sini."
"Beneran, Pak? Jadi, kalau nanti saya mau kerja di sini, bapak masih mengizinkan?"
Anthony menggangguk yakin
"Tentu. Kapan pun kamu mau kembali bergabung, saya pasti akan langsung terima kamu."
Fhelicia tersenyum lebar. Sambil menjabat tangan Anthony, gadis itu tidak hentinya mengucap syukur. Paling tidak ia punya back up kerjaan kalau masa kontrak dengan Rayden selesai nantinya.
Setelah menyelesaikan segala sesuatu dan berpamitan dengan beberapa staff Magnolia, Fhelicia memutuskan untuk pergi. Baru saja melangkah keluar dari Bar, ponselnya berdering. Ada nama Nicholas terpampang nyata di sana. Ia meyakini, pasti manager Rayden itu menghubungi untuk mengajaknya segera bertemu.
***
Bagi Nicholas bukan perkara sulit menyiapkan apartemen untuk segera ditempati Fhelicia. Buktinya, siang ini seluruh perintah yang Rayden berikan semalam sudah selesai ia kerjakan.
Meraih ponsel dari dalam tasnya, detik itu juga Nicholas menghubungi Fhelicia. Ia memerintahkan pacar baru Rayden tersebut untuk segera datang menemuinya di Moonlight Residence.
"Fheli, tolong temui saya sekarang juga di Apartement Moonlight tower gravity, lantai 20, unit 208. Ada hal penting juga mau saya omongkan sama kamu."
Setelah memberi perintah, sekitar 30 menit setelahnya, Fhelicia benar-benar datang menghampiri Nicholas. Dengan wajah bingung gadis itu dipersilakan masuk dan diminta untuk duduk terlebih dahulu.
"Mas Niko. Ini sebenarnya ada apa saya dipanggil kemari? Apa ada tugas lagi yang harus saya kerjakan?"
Nicholas tersenyum kemudian menggeleng. Belum sempat pria itu memberi penjelasan, dari arah pintu muncul sosok Rayden yang mungkin saja baru pulang atau mungkin baru akan pergi ke lokasi syuting. Yang pasti, Fheli dapat melihat pria bertubuh jangkung itu tampak berkeliling ruangan layaknya orang yang sedang mengecek sesuatu. Setelah puas, barulah ikut duduk di sofa bersama Nicholas dan juga Fhelicia.
"Unitnya udah siap 100% di huni, kan?" Baru saja duduk, Rayden sudah melempar pertanyaan kepada Nicholas. Sedang Fhelicia yang tidak paham memilih untuk duduk mendengarkan.
"Udah," sahut Nicholas segera. "Semuanya tinggal huni dan pakai. Untungnya semua perabotan di sini udah lengkap. Jadi, tinggal bawa diri aja."
"Bagus," sahut Rayden lagi. "Kalau gitu, langsung serahin aja kuncinya."
Nicholas mengangguk setuju. Di detik berikutnya pria tersebut mengeluarkan cardlock untuk kemudian diberikan kepada Fhelicia.
"Ini kunci apartemenmu, Fheli. Jadi, mulai sekarang, kamu udah bisa pindah ke apartemen ini."
Fhelicia terkesiap. Rupanya apa yang semalam Rayden bahas benar-benar direalisasikan pria itu.
"A-apa? Jadi, saya harus tinggal di sini? Apartemen ini?"
Nicholas mengangguk berulang kali.
"Etapi karena sekarang kunci utama pintunya pakai smart lock, setelah ini kamu harus ganti kode dan sidik jarinya sekalian biar gampang dan nggak lupa."
"Ini harus banget saya pindah ke sini? Terus orang tua saya gimana, Mas?"
"Ya kamu ajak lah. Apartemennya kan besar. Ada tiga kamar di sini. Ajak aja semua anggota keluargamu buat pindah," seloroh Rayden dengan santai. "Orang tuamu masih lengkap?"
Fhelicia langsung menggeleng.
"Selama ini saya cuma tinggal bareng Mama. Mendiang Papa sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."
"Ya sudah. Sore ini, kamu langsung ajak Mamamu buat pindah ke sini."
"Tapi, Ray ---"
"Nggak ada tapi-tapi!" potong Rayden segera. Pria itu tidak membiarkan Fhelicia menyelesaikan terlebih dahulu kalimatnya. "Semalam kita udah sepakat, kan? Sekarang, tinggal gimana caranya kamu ajak orang tuamu untuk segera pindah ke sini. Kalian cukup bawa baju aja, karena semua perabotan di sini udah sangat lengkap dan tinggal pakai."
Fhelicia mengembuskan napas panjang. Ia baru tahu kalau sosok Rayden yang selama ini diidolakannya ternyata memiliki sifat otoriter. Suka sekali memberi perintah dan tidak suka dengan namanya bantahan. Benar-benar beda 180 derajat dari apa yang sering ia lihat di layar televisi. Padahal, selama ini ia mengidolakan pria itu karen terkenal dengan sikap ramah da lembutnya kepada para fans.
"Ternyata semua cuma kamuflase!"
"Oke, saya bakal pindah segera." Pada akhirnya Fhelicia menurut. Mau bagaimana lagi. Ia memang tidak punya pilihan lain. "Tapi, bisa nggak pindahnya setelah Mama saya keluar dari rumah sakit?"
Nicholas terperanjat. Ia benar-benar tidak tahu kalau orang tua Fhelicia ternyata dirawat di rumah sakit.
"Mama kamu sakit?" tanya Nicholas ingin tahu.
"Iya, Mas," angguk Fheli. "Baru kemarin selesai menjalani operasi jantung dan saat ini masih dalam perawatan intensif di rumah sakit."
"Ya Tuhan." Nicholas berseru. Ia yang pada dasarnya berhati lembut jadi tidak enak mendengar apa yang baru saja Fhelicia sampaikan. "Tapi, kondisi Mama kamu stabil aja, kan? Maksudnya nggak parah gitu?"
"Beruntungnya sih nggak kenapa-kenapa, Mas. Udah stabil. Sisa pemulihan aja."
"Syukurlah. Kalau begitu. Selesaikan aja dulu perawatan Mamamu. Kalau sudah siap, kamu harus langsung pindah secepatnya."
Fhelicia mengangguk paham. Untungnya Nicholas dari awal memang baik dan berusaha memahami posisinya saat ini. Berbeda jauh dengan Rayden yang dari awal ketemu saja sudah memasang sikap ketus bahkan ternyata sedikit menyebalkan.
"Karena udah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku balik dulu. Mau istirahat. Nanti malam ada syuting tambahan," kata Rayden kemudian pria itu bersiap bangkit dari duduknya.
"Tunggu dulu," tahan Fhelicia. Sebelum Rayden benar-benar bangkit, gadis itu berpindah posisi duduk. Mendekati Rayden sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Kamu mau ngapain?" tanya Rayden bingung.
Fhelicia tidak menjawab. Gadis itu malah merapatkan posisi duduknya. Tanpa terduga merangkul Rayden dengan mesra, lalu mengarahkan ponsel yang ia pegang untuk kemudian memgambil beberapa foto mereka berdua.
"Kamu pose-nya yang mesra dikit dong," ajak Fhelicia. "Ini tuh buat kepentingan kamu juga. Jadi, foto-foto kita berdua ini nanti di upload di sosial media. Biar netizen pada percaya kalau kita emang beneran pacaran."
"Nah, bener banget!" sahut Nicholas sambil menepuk keras tangannya. "Ide si Fheli emang patut banget di coba, Ray. Kan semalam kamu ngomong ke wartawan kalau selama ini sengaja jaga privasi. Dan sekarang, udah saatnya untuk publish hubungan kamu dan Fheli. Ya buat aja pencitraan kalau kalian emang pasangan mesra yang saling mencintai satu sama lain."
Rayden mendesah malas. Karena malas mendebat, kali ini pria itu tidak melayangkan protes. Menurut saja saat Fheli memintanya untuk berpose mesra di depan kamera. Lalu setelahnya mereka berdua mengupload ke instagramm masing-masing untuk dipamerkan kepada khalayak luas.
"Udah? Nggak ada lagi, kan?" tanya Rayden setelah selesai mengambil gambar. "Kalau udah nggak ada lagi yang perlu dilakukan, aku mau balik ke unitku sendiri."
Nicholas lantas mempersilakan Rayden untuk pergi. Lalu setelahnya kembali fokus kepada Fhelicia.
"Kamu sendiri ada yang mau ditanyakan nggak? Atau barangkali ada yang kurang paham?"
"Sepertinya udah jelas, Mas. Lagi pula, saya harus segera balik ke rumah sakit."
"Ya sudah. Kalau begitu kamu boleh pergi. Kalau next time kamu butuh apa-apa, Rayden tinggal di unit apartemen yang letaknya di paling ujung. Kamu bisa ke sana buat minta pertolongan sama dia."
Setelah panjang lebar mendengar penjelasan Nicholas, Fhelicia memutuskan untuk pergi. Sekarang, ia pusing dan dilema sendiri. Perlukah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada sang ibu? Mengingat sangat tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di rumah kontrakan lama. Sedang membawa pindah ke apartemen sekali pun, Amanda pasti akan meminta penjelasan lebih dan mengeinterogasinya sampai ke akar-akar.