BAB 4 - Tentang Vanya dan Musa

1273 Words
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Empat hari sebelum menghilangnya Valerie. "Anjing!" Tubuh gadis itu langsung terhempas ke lantai, tepat setelah punggungnya menabrak dinding dengan keras. Desir nyeri yang menjalar dari bahu hingga tulang ekornya terasa begitu menyakitkan. Tabrakan antara bagian belakang tubuh gadis itu dengan semen dingin di belakangnya tersebut berhasil membuat dadanya ikut sesak. Kepalanya tiba - tiba menjadi pening, pemandangan di sekitarnya berubah kabur. Namun penderitaannya tidak berhenti sampai di sana. Belum waktunya untuk beristirahat. Karena pria dengan tubuh besar dan tato yang memenuhi lengan kanannya itu –Baron– langsung bergerak mendekati gadis itu. Ia menjambak rambut panjang sang gadis yang mulai kehilangan tenaga, hingga wajahnya mendongak, mempertemukan netra hitam kecokelatannya yang sayu dan bengkak pada pandangan bengis milik Baron. "Lu udah berani ngelawan gua sekarang, hm?" "A –ampun, Bang," ujarnya lirih. Bahkan dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia masih berharap keajaiban itu datang. Dan gadis itu tidak sendirian di sana, seorang teman bernama Musa –yang juga bernasib sama seperti dirinya– ikut memohon. Ia berusaha memegangi kaki kiri Baron dan menatap mata pria itu penuh harap. “Bang, ampun, Bang. Kasihan Vanya, Bang. Dia bisa mati kalau begini caranya, Bang.” Namun dengan cepat, Baron menepis tangan Musa dari kakinya. Ia juga melihat kedua anak buahnya yang bernama Moang dan Gobal di sisi ruangan, memberikan mereka tanda untuk tidak diam saja melihat tingkah Musa. Moang dan Gobal segera bergerak, keduanya menarik tubuh Musa menjauh. Kemudian membantingnya ke dinding di sisi yang berbeda. Baron ingin menunjukkan bahwa tak ada yang mampu menghalangi keinginannya, termasuk bocah ingusan tak berdaya seperti Musa. "Bacot!" Baron melanjutkan aksinya. Ia menoyor kepala gadis itu dan mendorong tubuhnya ke lantai. Sekali lagi, dengan cukup kasar dan tanpa perasaan sama sekali. Membuat Vanya merintih di atas permukaan lantai yang dingin, saat akhirnya rasa yang lebih sakit kembali menjalari tubuhnya. Baron kemudian berkacak pinggang dan meludah di sembarang tempat. Ingin sekali kekuasaannya diakui oleh semua orang. Tatapan marah dari kedua matanya yang sangar tak sedikitpun luntur dari wajahnya yang memang sudah kusut karena sisa alkohol semalam. "Lu pikir gue nampung lu di sini karena gue ini orang baik, hah?!” Semakin tinggi suara Baron, semakin gemetar pula tubuh Vanya. Sementara Musa tak bisa melakukan apa-apa. Meski jauh di dalam hatinya, laki-laki yang usianya sama dengan Vanya itu ingin membantu, atau setidaknya membuat Baron berhenti, gerakannya sudah lebih dahulu dihalangi oleh antek-antek preman itu. Vanya masih terduduk di sana, merasakan sisa - sisa kesakitan di tubuhnya yang menyisakan lara. Hatinya hampa, ada lubang besar yang menganga di dalam sana. Matanya mulai memanas dan air di pelupuk matanya yang sudah membiru, tak tertahankan lagi. Jatuh membasahi kedua pipi yang juga sama memarnya. Kini gadis itu bahkan kesulitan untuk sekadar melihat kedua kaki Baron karena mata kanannya benar - benar bengkak dan perih. Pandangannya mulai kabur dan berbayang, tetapi Baron memberi tanda bahwa semua penderitaan ini belum berakhir. "Kalo lu mau tetap ada di sini, ya lu harus bisa cari duit buat gue!" lanjut Baron tanpa sedikitpun merasa kasihan pada lawan bicaranya. Ia hanya berbalik badan dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Sekarang lu pergi, lu ke jalan, lu ngemis ke orang - orang dengan kondisi lu yang sekarang. Gua jamin lu bakal dapat duit banyak, Nya!" "I ... iya, Bang," balas Vanya seadanya. Gadis itu melihat Musa, seorang teman yang nasibnya tak lebih baik. Ia hanya diam di sana, wajahnya juga bengkak karena dipukuli. Meski kondisinya tak separah Vanya. Napasnya seolah tercekat di tengah-tengah tenggorokan, ia menangis dalam diam. Penderitaan ini terlalu menyakitkan untuk dirasakan sendirian. "Gua gamau tahu, sore nanti, lu harus kasih gue banyak uang atau lu bakal gua gebukin lagi kaya sekarang. Gua nggak peduli gimana caranya lu cari duit buat gua. Paham?" Baron menoleh sedikit ke belakang, memberikan delikan sinis yang mengintimidasi kepada Vanya dan Musa sebelum akhirnya kembali berjalan keluar meninggalkan gudang sembari berseru, "Awas aja lu, Nya!" Vanya mendongak, memastikan bahwa laki - laki yang memimpin di rumah penampungan khusus anak terlantar atau anak jalanan tersebut benar - benar sudah pergi meninggalkan gudang. Gadis dengan rambut hitam panjangnya itu dapat bernapas lega untuk sesaat. Ia telah dipukuli dan disika sejak beberapa menit yang lalu, tidak ada ruang baginya untuk sekadar menghirup oksigen saja. Matanya membengkak karena ini bukan pertama kalinya ia dipukuli. Ini adalah hari ketiga gadis itu menerima perlakuan kasar serta kekerasan fisik dari Baron karena alasan yang sama;Vanya tidak mendapatkan uang di jalanan. Anggap saja keputusannya meninggalkan panti asuhan adalah sebuah pilihan yang buruk--bahkan lebih buruk dari apapun. Ia meninggalkan kandang harimau hanya untuk masuk ke dalam kandang singa. Sungguh nasib yang ironi. Namun bagi Vanya, disiksa terasa lebih baik daripada menerima pelecehan seksual di panti asuhan. Tidak tidak, Vanya belum sempat disetubuhi oleh si b******k kepala panti asuhan itu. Ia sungguh masih suci, berkat keberaniannya mengendap - endap di malam hari, menaiki pagar pembatas dan melompat dari ketinggian yang cukup membahayakan dirinya. Ia bahkan harus menerima beberapa bekas luka di kakinya karena menghantam banyak batu-batu kecil di bawah pagar. Katakan bahwa Vanya memang nekat, karena jika tidak seperti itu, dia akan menjadi b***k seks seperti yang lain di rumah yang katanya berguna untuk menjaga anak - anak tersebut. Menjaga apanya, persetan dengan itu semua. Panti asuhan hanyalah kedok. Semua yang ada di sana menggunakan topeng mereka masing-masing. Ingin terlihat baik adalah tujuan mereka. Uang donator adalah ambisi terbesar mereka. Bermodalkan belas kasihan dan rasa prihatin, pemilik panti asuhan itu dapat menggenggam dunia di tangannya. Vanya kemudian berpegangan pada kursi kayu di dekatnya agar bisa bangkit dan melanjutkan pekerjaannya. Ia harus mencari dan mendapatkan uang. Tidak peduli bagaimana caranya, dengan menunggu belas kasihan orang lain atau meminta secara paksa, yang dibutuhkannya sekarang adalah uang yang dapat menyelamatkannya dari si b******k Baron. “Kamu nggak apa-apa, Nya?” Musa buru-buru berlari, menghampiri Vanya dan membantunya berdiri. Ia dapat bergerak bebas karena akhirnya Moang dan Gobal mau melepaskannya. Kedua antek-antek Baron itu pun menyusul sang tuan, bak anak anjing yang selalu mengekor di belakang induk mereka. “Gue harus ke jalan lagi, Sa,” kata Vanya lirih. Namun Musa menggelengkan kepalanya. “Enggak, enggak. Jangan. Kita obtain dulu luka kamu.” “Kalau Baron balik lagi dan gue belum punya duit, dia bakal pukulin gue lagi!” timpal Vanya. “Kita –kita pokoknya kita harus cari duit sekarang.” “Vanya.” “Kita harus keluar.” Vanya menatap manik hitam milik laki-laki muda itu intens. Dan di sanalah, akhirnya Musa menyadari betapa dalamnya luka yang tergores di sana. “Kita harus cari uang, Musa.” “Vanya, berhenti! Jangan begini.” “Tapi, musa –“ “Udah, Vanya.” Musa menatap Vanya lekat-lekat. Kali ini ia berharap lawan bicaranya itu mau mendengarkan, mau memahami. “Sekarang, kita obtain dulu luka kamu ya. Kalau udah selesai … kita keluar dan cari uang lagi, ya?” Ada sesuatu di dalam diri Vanya yang bergemuruh. Tangisnya kembali pecah. Tak tertahankan lagi. Kesakitan dan kesedihan telah memenuhi diri itu seutuhnya. Pipinya yang belum kering, justru bertambah basah karena air mata. Ia menangis sejadi-jadinya dan bidang hangat milik Musa menjadi tempat terbaik bagi Vanya untuk melampiaskan itu semua. Musa merengkuh tubuh Vanya perlahan, menepuk-nepuk punggung gadis itu dengan sangat hati-hati. Ia prihatin, meski nasibnya juga tak berbeda jauh dengan gadis itu. “Kamu harus sabar, Vanya. Jangan takut … ada aku di sini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD