BAB 3 - Masa Lalu

1042 Words
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Bahkan setelah melewati beberapa jam untuk tidur, Edwin dan Wina, orang tua Valerie belum juga kembali. Hal ini sudah sering terjadi selama beberapa bulan ke belakang. Entah bagaimana mulanya, tapi yang jelas, Valerie merasa sesuatu yang salah telah merusak keharmonisan keluarga tersebut. Gadis bertubuh langsing itu lantas mengangkat ransel lilac nya dari atas meja makan. Ia bahkan hanya menghabiskan sepotong roti dengan selai stroberi yang disiapkan oleh Bi Inah. s**u vanilla yang terisi penuh dalam gelas transparan hanya diminum sedikit, tidak sampai seperempatnya. Bi Inah yang sedang menyapu lantai pun menyadari betapa buruknya pola makan sang anak majikan. Ia buru-buru menghampiri Valerie yang bersiap untuk pergi. "Non, non, kok makannya sedikit sekali, Non? Nanti kalau di sekolah pingsan gimana, Non?" Namun gadis itu langsung membalikkan tubuhnya, membiarkan wajahnya terlihat di depan Bi Inah. Kedua sudut bibir Valerie yang tampak merah muda karena dihiasi pelembap bibir pun sedikit terangkat naik. "Makasih ya, Bi, udah khawatir sama aku. Aku harap Mama sama Papa bisa ngelakuin apa yang bibi lakuin," katanya. Yang justru membuat Bi Inah merasa sedih. Ia pun mendekat dan menatap gadis remaja yang jauh lebih tinggi darinya itu dengan prihatin. "Kalau Non Val merasa berterima kasih sama Bibi, Non Val makannya yang banyak atuh. Bibi nggak mau kalau Non Val sampai sakit atau kenapa-napa." Valerie hanya menepuk pelan bahu kanan Bi Inah dan kembali berkata, "Bibi tenang aja. Aku nggak bakal kenapa-napa." Lalu tubuhnya berlalu melewati sang asisten rumah tangganya tersebut. Jauh di dalam lubuk hati Bi Inah, ia sungguh mencemaskan hidup Valerie. Terlepas dari Edwin dan Wina yang mungkin akan memarahinya karena tak bisa merawat Valerie dengan baik, gadis berusia enam belas tahun itu sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Bahkan meski mereka tidak memiliki ikatan darah apapun. Valerie kemudian masuk ke dalam mobil, dimana Pak Jaka sudah siap di balik kemudinya. "Eh, selamat pagi, Non," sapa pria itu dengan ramah, seperti yang biasa ia lakukan. "Sudah sarapan hari ini?" "Udah, Pak. Ayo jalan." Seperti perintah anak majikannya tersebut, Pak Jaka langsung mengarahkan mobil yang sudah sedari tadi dipanaskan mesinnya keluar dari rumah besar tersebut. Pintu gerbang sudah dibuka oleh Jaka dan nantinya akan ditutup oleh Bi Inah. Seperti itulah sistem penjagaan di rumah itu sementara sekuriti baru belum datang. Orang tua Valerie terpaksa mencari penjaga keamanan baru karena sekuriti lama mereka memilih untuk memundurkan diri dan kembali ke desa. Alasan klasik, menjaga orang tua yang sakit. Sedikit kecewa karena kepulangannya yang tiba-tiba, Edwin dan Wina pun meminta Pak Jaka dan Bi Inah untuk saling bekerja sama dalam menjaga rumah sementara. Lagipula, kawasan rumah mereka itu masuk ke dalam daftar perumahan yang aman. Ada sekuriti di pos jaga depan, yang senantiasa berkeliling selama satu kali sehari di sana. Namun bagi Edwin, memberikan penjagaan lebih, memiliki sekuriti sendiri di rumah mereka, adalah suatu nilai plus. Perjalanan lima belas menit pun ditempuh Valerie dengan mobil. Ia kemudian sampai di depan sekolahnya. Suasana sekolah dari luar gerbang sudah membuatnya muak, tapi mau bagaimana lagi, inilah hidup yang harus dijalani olehnya. "Makasih, Pak." Valerie kemudian turun dari mobil dan kendaraan berwarna hitam itu langsung berputar arah, meninggalkan pelataran sekolah dan kembali ke rumah. Sementara gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Di jam-jam ini, banyak murid yang belum datang. Kebanyakan dari mereka biasa pergi ke sekolah di menit terakhir bel pertama berbunyi. Maklum, kebanyakan dari mereka memang dimanja oleh orang tua yang kaya. Bagi mereka, pendidikan hanya formalitas saja. Namun bagi Valerie, membuat Edwin dan Wina bangga adalah sebuah prioritas utama. Ia kemudian berjalan ke kelas, tidak ada siapapun di sana selain dirinya dan seorang murid pemalas bernama Ardito. Valerie pun duduk di kursinya, sebelum kemudian melirik Dito yang sedang asyik memainkan ponsel. "Aneh ngeliat lo pagi-pagi udah di sini. Mereka ngancam lo apa kali ini?" Mendengar nada sinis dan menyindir dari Valerie, Ardito pun menoleh. Ia meletakkan ponselnya ke dalam saku celana dan berjalan menghampiri gadis itu. Langkah milik laki-laki muda itu sempat membuat Valerie gugup karena mereka hanya berdua di dalam kelas. Namun pada detik selanjutnya, setelah Ardito duduk pada satu kursi kosong di depan Valerie, perasaan itu menjadi lebih buruk. "Lo nggak suka ngeliat murid pemalas kaya gue bakal jadi saingan terberat lo?" Kedua alis Valerie pun mengernyit. "What? You must be joking, Dit." "Gue serius," kata Ardito singkat. "Gue bakal serius belajar kali ini dan ... posisi lo sebagai nomer satu di sekolah bakal berubah." "Lo ngancam gue?" Namun Ardito menggeleng cepat. "Gue cuma memperingatkan." Alih-alih merasa takut atau cemas, Valerie justru tertawa kecil di kursinya. Ia melihat Ardito sekali lagi, sebelum kemudian menyilang kedua tangannya di dadaa. "Let's see." Tubuhnya yang beranjak, hendak pergi dari kelas, membuat Ardito sedikit panik. Ia buru-buru menahan lengan Valerie dan membuat gadis itu terkesiap. "Apa-apaan? Lepasin." "Kenapa sekarang kita jadi sejauh ini ya, Val? Kita seolah-olah jadi musuh padahal dulu-" "Jangan bahas masa lalu, Dit," potong Valerie tak suka. Ia juga melepaskan tangan laki-laki berambut pendek itu dari lengannya. Wajahnya tampak dingin. Tiba-tiba saja Ardito merasakan sebuah benteng yang dibangun di antara mereka. Menghalanginya untuk bisa masuk lebih jauh melihat hati Valerie. "Kita udah nggak hidup di masa lalu. Dan ... kita juga nggak mungkin balik lagi ke sana." Ardito beranjak dan menatap Valerie serius kali ini. "Kenapa? Apa yang salah?" Namun manik hitam milik Valerie menatapnya lurus-lurus. Ia mengembuskan napas berat sebelum akhirnya turut berkata, "Karena lo pecundang yang payah. Lo ninggalin gue waktu gue jatuh terlalu dalam buat lo. Itu juga kalau lo tahu arti dari kata jatuh itu kaya apa." Kemudian tubuh Valerie melintas melalui Ardito. Membiarkan lawan bicaranya terdiam, terpaku di tempatnya tanpa bisa berkata apa-apa. Kejadiannya memang sudah lama. Namun Ardito tak menyangka bahwa kebodohannya di masa lalu, masih sangat membekas di dalam hati Valerie. Benar, ini semua adalah kesalahannya. Namun, Ardito bertanya-tanya, apakah mereka sungguh tak bisa kembali ke masa lalu barang sebentar saja? *** Terima kasih sudah membaca karya saya. Jika kalian sangat menyukainya silakan tekan tombol love dan tinggalkan komentar ya. Sampai jumpa besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD